Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Cakra, ini gajimu bulan ini. Kerja dan sekolah juga yang benar. Biar jadi manusia bermanfaat buat banyak orang," Pak Tejo mendekati Cakra yang sudah bersiap pulang, ia mengulurkan tangan berisi amplop putih, tipis. Namun, begitu berarti bagi seorang Cakra.
Ia adalah anak yatim piatu yang berusaha membiayai pendidikannya seorang diri. Setiap hari ia bekerja paruh waktu di rumah makan Sanjaya, sebuah rumah makan yang cukup terkenal di Pacitan.
Cakra menerima uluran amplop itu dengan mata berbinar. Terkadang ia heran sendiri, bekerja paruh waktu, tetapi mendapatkan gaji lebih dari yang lain.
"Makasih, Pak. Saya janji akan sekolah dengan benar. Sekali lagi terima kasih," ucapnya disertai senyuman hangat. Senyum meneduhkan selalu menghiasi wajah tegas milik Cakra. Pembawaannya yang ramah dan supel itu membuatnya mudah bergaul dengan siapa pun.
"Memangnya, kurang berapa semester lagi kuliahmu?" tanya pak Tejo lagi. Pemimpin rumah makan Sanjaya itu selalu bersikap baik pada semua karyawannya, terlebih kepada Cakra. Namun, Cakra sadar sebagai seorang yatim piatu, mungkin membuat orang-orang menaruh simpati kepadanya.
"Sekarang sudah semester enam, Pak. Setahun lagi saya lulus, doakan jadi lulusan terbaik, Pak," jawabnya sambil menggendong tas ranselnya. Sepulang dari kampus tadi siang, ia memang langsung menuju ke tempat kerja.
"Oh, ya pasti. Anakku dulu juga lulusan terbaik. Setahun lulus dari sekolah, tes CPNS langsung lolos," celoteh pak Tejo. Ia merasa bangga menceritakan anak lelakinya yang saat ini hidup enak dengan menjadi pegawai negeri di luar daerah.
"Wah, nasibnya bagus banget ya, Pak?” tukas Cakra
"Tapi ya harus pinter dulu, kan, biar bernasib baik?"
"Hehe ... iya, Pak. Ya sudah, saya pulang dulu," kata Cakra dengan sopan.
"Iya," Pak Tejo menjawab sambil tersenyum bangga, melihat punggung menjauh itu. Pegawai yang terbilang baru, tetapi memiliki disiplin kerja cukup tinggi.
Di luar, Cakra naik ke atas motor butut yang ia beli setahun lalu dari salah satu temannya. Dengan motor itu, ia membelah jalanan ramai malam hari, menuju kediaman rumah Pamannya yang terletak di dekat pasar Arjowinangun.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di depan rumah Pamannya itu, ia mengarahkan motor memasuki halaman berpagar besi setengah badan. Suasana di luar masih ramai, tetapi rumahnya itu telah sepi. Mungkin Paman dan Bibi telah tertidur, pikirnya.
Ia membuka pintu depan, mendapati ruang tamu yang gelap. Meyakinkan dugaannya, bahwa semua orang di rumah ini telah tertidur. Memang yang ia tahu, selama ini paman dan bibinya akan tidur lebih awal, dan bangun tengah malam untuk memasak nasi pecel dan lainnya. Usaha sang Bibi yang digelutinya selama ini.
Cakra menuju ke dapur karena merasa tenggorokannya mengering, "Baru pulang, Mas?" Mata berat menahan kantuk, terpaksa kembali melebar karena sapaan tiba-tiba di dekat pintu menuju dapur. Seketika lampu menyala, menampakkan wajah sepupu, menatap dengan pandangan tak suka.
"Iya. Memang aku selalu pulang malam, kan?" Cakra menyahut santai.
"Yang penting jangan sampai lupa sama tugas malammu di sini," Seloroh Anggara. Sirat matanya penuh kebencian yang tak pernah Cakra tahu apa sebabnya. Hanya satu kemungkinan yang ia duga, karena selama ini selalu menumpang hidup di rumah itu.
"Tuh! Tau, kan?" Anggara menunjuk ke arah dapur, perabotan kotor menumpuk di sana.
"Iya. Memang sudah jadi tugasku."
"Bagus kalo paham!" seru Anggara sambil melenggang pergi. Bukannya ke kamar, pemuda itu malah keluar entah kemana. Membuat Cakra menggeleng tak habis pikir. Sudah sedewasa itu, tetapi belum mengenal pekerjaan apa pun, kecuali nongkrong hingga larut malam. Tak peduli bagaimana orangtuanya bersusah-payah mencari uang untuk kebutuhan hidup dan pendidikannya.
Cakra melanjutkan langkah menuju dapur. Di sana, setiap malam tumpukan perabotan kotor selalu setia menunggu kepulangannya. Mungkin memang ia satu-satunya petugas cuci piring di rumah ini. Bahkan sebanyak itu, seperti bekas makan sejak tadi pagi tetap dibiarkan begitu saja. Hingga ia pulang kerja. Tak peduli lagi bagaimana lelahnya akibat beraktivitas seharian penuh.
Mengingat kondisinya yang hanya menumpang hidup orang rumah ini sejak kecil, ia tak ingin ribut. Segera menyelesaikan pekerjaan meski rasa lelah membuat matanya berat.
Krumpyang!
"Haduh, gelas kesayangan Bibi, pecah?" Seketika matanya melebar, menyadari kesalahan fatal yang dilakukan tanpa sengaja.
"Apa lagi yang kau pecahkan?!"
Sebuah suara melengking, membuat Cakra menoleh. Di belakang, ternyata sang bibi telah berdiri sambil berkacak pinggang. Wanita itu mendekat, dan membeliak ketika melihat gelasnya pecah.
"Gelasku!" pekiknya, “Kamu bisa kerja nggak, sih?!”