Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pamer Menantu

Pamer Menantu

Meirose

5.0
Komentar
2.4K
Penayangan
62
Bab

Cerita ini mengisahkan seorang ibu yang beranggapan bahwa memiliki menantu dari kota itu jaminan hidup bahagia dan akan bergelimang harta. Jadi apakah benar atau malah justru sebaliknya?

Bab 1 Honeymoon

"Alhamdulillah, akhirnya kalian sampai juga," ujar Ningsih yang akrab disapa Bu Ning itu dengan senyum merekah lalu menutup pintu kala sang anak dan menantunya sudah masuk.

Nadia namanya, anak semata wayangnya yang telah resmi menjadi istri seorang laki-laki yang berasal dari Jakarta dan kini mereka baru saja pulang dari bulan madunya. Alasan Ningsih begitu antusias menyambut mereka karena memang baru cuma anak dan menantunya saja di kampung ini yang setelah menikah lalu berbulan madu.

"Ibu sudah masak 'kan? Kita laper banget, nih," tanya Nadia sang putri semata wayang Ningsih.

"Sudah dong. Ibu sudah masak banyak buat kalian. Ayo," ajak Ningsih seraya menuntun putrinya menuju meja makan dan sang menantu langsung mengikuti dari belakang.

"Wah, banyak banget, Bu. Ada gulai ayam dan rendang kesukaan aku dan Mas Nino lagi," seru Nadia antusias kala membuka tudung saji yang menutupi banyak makanan enak.

"Ini Ibu masak khusus buat putri tercinta dan menantu tersayang loh ..." jawab Ningsih dengan raut muka yang begitu bahagia.

"Terima kasih ya, Bu. Ya sudah, ayo kita makan sama-sama, Bu," ajak Nino yang sedari tadi belum mengeluarkan suara seraya menarik kursi meja makan dan langsung mendudukinya.

"Kalian saja, Ibu sudah kenyang. Pokoknya harus sampai habis. Ibu mau menyimpan koper kalian dulu," jawab Ningsih.

"Eh, nggak usah Bu, biar sama aku saja nanti," cegah Nadia cepat sebelum ibunya keburu pergi.

"Udah nggak apa-apa kalian makan saja." Lagi-lagi Ningsih memperlakukan anak dan menantunya itu dengan sangat baik. Hingga Nadia dan Nino merasa tak enak tetapi untuk saat ini mereka sangat lapar. Jadi, mereka memutuskan untuk mengisi perut dulu sebelum membereskan barang bawaannya.

* * *

'Loh, kok baju kotor semua? Oleh-oleh buatku mana?' batin Ningsih ketika telah mengetahui isi dari dalam dua koper itu baju kotor semua.

'Apa mungkin mereka memberikannya nanti? Biar jadi kejutan gitu? Asyik, senangnya bakal dapat kejutan dari mantu tersayang,' batinnya lagi seraya menghayal lalu mengeluarkan semua baju dalam koper itu dan bergegas menuju mesin cuci.

Setelah selesai, perutnya keroncongan minta diisi, sebenarnya tadi dia belum makan, cuma baru minum secangkir teh hangat, karena pikirnya sang putri akan membawa banyak makanan. Sayang jadinya, kalau banyak makanan tetapi perutnya sudah nggak muat untuk diisi lagi.

"Hah? Habis semua? Apa mereka nggak ingat Ibunya yang sedang mencuci baju? Mentang-mentang aku bilang sudah makan. Sudah lah, lebih baik aku jemur baju saja dulu," ujar Ningsih dengan sedikit kesal.

"Tumben, Bu Ning baru jemur baju jam segini? Mana banyak lagi," tanya Lela yang sedang lewat di depan rumahnya bersama Siti ketika Ningsih sibuk menjemur.

"Oh, ini tuh sengaja nyucinya sekalian sama pakaian anak dan mantuku yang baru pulang honeymoon jadi aja banyak. Kalau Bu Lela pasti belum pernah kan dengar kata honeymoon? Haha ... Ya, iyalah, kan anaknya nggak diajakin honeymoon sama suaminya," cibir Ningsih seraya masih sibuk menjemur.

"Honeymoonnya dari Yogyakarta 'kan? Wah, nggak mungkin dong kalau nggak beli bakpia pathok sama batik buat oleh-olehnya," sela Bu Siti dengan mata berbinar apalagi bakpia pathok itu kesukaannya.

"Tenang saja, bukan hanya Bu Siti dan Bu Lela yang saya bagi tetapi sekampung saya bagi sekalian," ujar Ningsih dengan nada angkuh. Sedangkan Siti dan Lela hanya mengiyakan saja semua yang diucapkan Ningsih.

"Pokoknya ditunggu ya Bu Ning, oleh-olehnya," goda Siti sebelum akhirnya mereka pamit pergi, yang langsung mendapat acungan jempol dari Ningsih pertanda meng-iyakan.

* * *

Hatinya yang tadi sangat dongkol akibat perut lapar namun makanan habis, kini berganti dengan kebahagiaan yang tiada terkira, usai dia bisa memamerkan sang menantu pada Lela dan Siti. Apalagi Siti, kalau ada berita yang sudah sampai ke telinganya, maka dapat dipastikan semua warga di kampung bakal mengetahuinya dengan cepat.

Kruk ... Kruk ....

"Sampai lupa kan kalau ini perut belum aku isi," ujar Ningsih yang langsung bergegas masak dengan sisa bahan yang ada.

Pukul 11.00, Nadia keluar kamar. Tenggorokannya terasa kering pertanda membutuhkan asupan cairan. Tadinya selesai makan dia mau langsung mencuci semua bajunya tetapi ternyata sudah keduluan sang ibu. Akhirnya karena kecapekan di perjalanan, Nadia memutuskan untuk istirahat sebentar di kamar bersama sang suami.

"Nad, mana oleh-oleh buat Ibu? Udah lah nggak usah pakai acara kejutan segala macam." Ningsih terbangun ketika mendengar pintu kamar Nadia terbuka setelah dia mengisi perutnya tadi, dirinya ketiduran di kursi depan tv.

"Sebentar Bu." Nadia terpaksa balik lagi ke dalam kamar daripada mendengar ibunya mengomel.

"Ini aku beliin batik sama bakpia pathok Bu, maaf tadi capek banget sampai lupa ngasih," ucap Nadia dengan tulus.

"Pas!" jawab Ningsih yang membuat Nadia heran. Karena Nadia pikir ibunya akan mengucapkan terima kasih. Sebagaimana kita kalau menerima pemberian dari orang lain.

"Pas apanya, Bu?" Dengan raut muka heran, Nadia memberanikan diri untuk bertanya.

"Ya ... ini pas. Kamu beli batik sama bakpia pathok, tadi ada Bu Siti si ratu gosip itu tuh, minta oleh-oleh," jawab Ningsih dengan santainya seraya langsung mencicipi bakpia pathoknya.

"Terus, Bu?" tanya Nadia lagi dengan rasa penasaran.

"Ya, Ibu bilang bukan hanya mereka saja yang akan Ibu bagi, melainkan orang sekampung." Ningsih masih menjawab dengan nada santai seraya sibuk menikmati bakpia pathok.

"Apa, Bu? Ibu jangan aneh-aneh deh, aku beli cuma buat Ibu saja, ngapain ngasih ke orang sekampung? Aku bukan sultan, Bu!" tegas Nadia yang tak habis pikir dengan apa yang telah ibunya lakukan.

"Tetapi suamimu kan orang kota, lagian Ibu sudah terlanjur bilang, malu lah kalau sampai mereka nggak dikasih." Lagi-lagi Ningsih menanggapi pertanyaan sang anak dengan santai.

"Salah Ibu sendiri sih, Ibu itu kebanyakan pamer tau nggak?" ucap Nadia dengan nada dan raut muka sebal.

"Heh, Ibu itu bukan pamer tetapi membanggakan anak dan menantu. Pokoknya, Ibu nggak mau tahu, si Nino harus beli lagi batik sama bakpia pathok sesuai jumlah warga yang tinggal di kampung ini bagaimana pun caranya. Suamimu kan orang kota, nggak kaya si Putri anaknya si Lela yang cuma dapat orang kampung," bentak Ningsih seraya mengambil sisa bakpia pathoknya dengan kasar lalu menuju kamar tanpa menunggu jawaban dari Nadia.

Brak! Pintu kamar ditutup dengan kasar.

'Astagfirullah, Ibu. Punya uang darimana lagi Mas Nino buat beli oleh-oleh untuk dikasih ke orang sekampung?' batin Nadia seraya memijat pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing. Rasa haus yang sejak tadi dirasa pun tiba-tiba hilang entah kemana.

"Astagfirullah ...." Nadia memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya ke sofa.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku