Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Boom!
Terdengar suara dentuman yang sangat keras di lantai rumah, itu berasal dari sebuah tas yang dilemparkan. Seorang gadis muda meringkuk, bergetar ketakutan. Sudut bibirnya terlihat mengeluarkan darah karena sebuah tamparan yang sangat keras.
“Dasar anak tidak tau diri kurang ajar!” Pria paruh baya berteriak, mencambuk gadis yang meringkuk tidak berdaya dengan menggunakan sabuk.
“Hentikan, Johnny!” Suara perempuan paruh baya terdengar menghentikannya.
“Leah, lebih baik kau segera tinggalkan rumah ini. Lihatlah dirimu?” Wanita paruh baya itu menatap gadis yang meringkuk. Gaun tipis yang membalut tubuhnya sedikit robek, rambutnya yang berantakan karena sejak tadi menerima pukulan dari dua orang itu.
“Aku sungguh malu memiliki anak sepertimu! Membawamu ke sini adalah musibah!”
Leah Willstone adalah anak pertama dari Johnny Willstone dan juga Ivana Stanfold. Beberapa tahun lalu, kedua orang tuanya bercerai saat ayahnya tiba-tiba datang ke rumahnya dengan membawa seorang perempuan bernama Rose White dan juga gadis berusia sekitar 17 tahun pada saat itu yang bernama Angela Willstone.
Mendengar namanya saja, sudah dipastikan kalau Angela adalah anak Johnny dengan wanita selingkuhannya. Hal itu saja sudah membuktikan kalau mereka sudah sangat lama menjalin hubungan.
Leah dan juga ibunya sangat terkejut dengan hal itu. Sang ayah dengan sangat kejam mengusir mereka dengan tuduhan kalau Ivana Stanfold, ibunya, telah berselingkuh dengan seorang sopir. Hal itu jugalah yang membuat Johnny berani datang bersama seorang perempuan yang menurutnya jauh lebih baik dari sang ibu.
Leah kembali ke rumah keluarga Willstone setelah lima tahun berlalu karena sang ayah menjemputnya. Pria paruh baya itu mengatakan, asal Leah mau ikut dengannya, maka pengobatan ibunya akan terjamin. Hal itu, dilakukan Johnny bukan tanpa alasan, pria itu berniat untuk mencalonkan diri sebagai walikota. Tentunya, dia tidak ingin publik mempertanyakan di mana anak tertua keluarga Willstone berada.
“A-ayah.” Suaranya bergetar terdengar, Leah mengeluarkan seluruh sisa tenaganya untuk bangun dan melihat orang tuanya. “Jangan usir aku, ke mana aku harus pergi?” lirihnya, air mata sudah membanjiri seluruh bagian wajahnya, ada bekas tangan di pipi kirinya.
Rose mendengkus. “Seharusnya sebelum kau melakukan hal bejat, kau tahu bagaimana konsekuensinya!?”
Beberapa jam yang lalu, tiba-tiba saja Leah terbangun di salah kamar hotel bersama seorang pria yang tidak dikenalnya. Entah apa yang terjadi, dia tidak mengingat apa-apa.
Setelahnya, ayahnya dan juga Rose datang menerobos masuk ke dalam kamar dengan wajah sudah sangat merah. Pria yang sudah pernah mengusirnya itu menatap Leah penuh amarah.
Leah diseret keluar dari kamar hotel, tidak sedikit pun diberikan kesempatan untuk menjelaskan. Bahkan, dia belum sempat melihat wajah pria yang tidur bersamanya semalam. Leah hanya ingat, kalau semalam dia di sebuah bar dan Angela mengatakan kalau dia akan memberikan pekerjaan untuknya, wanita itu memberikan minuman, setelahnya tidak ada yang Leah ingat sampai dia bangun di sebuah kamar hotel. Sekarang, di sinilah dia berakhir, di rumah besar keluarga Willstone, mendapatkan pukulan, cambukan, dan juga tendangan dari ayah dan juga istrinya.
Leah yang kini terduduk dengan pasrah tertawa lemah, dia menatap ayahnya dengan mata berkabut. “Memang apa yang aku lakukan sampai harus menanggung konsekuensi?” Leah berucap menantang, dia memang tidak mengingat semua yang terjadi. Satu-satunya yang diingatnya adalah Angel yang memberikan minuman, tapi orang tuanya sudah pasti tidak akan percaya.
“Masih berani bertanya kau melakukan apa?” Mata Johnny melotot, tangannya terangkat tinggi siap melayangkan kembali sabuk ke tubuh putri pertamanya.
“Aaaaa!”
Leah terbangun, peluh mengucur dari pelipisnya, napasnya terengah. “Ternyata hanya mimpi,” gumam Leah, lagi-lagi dia bermimpi mengenai kejadian tiga hari yang lalu saat ayahnya menyiksa dirinya.
Leah mengelilingkan pandangannya ke rumah kecil yang disewanya. Hanya ada kamar dan juga dapur kecil yang disekat oleh asbes, kamar mandi kecil di belakangnya. Leah memegang kepalanya yang terasa pusing, tubuhnya masih terasa sakit akibat cambukan yang diterima beberapa hari yang lalu karena dia sama sekali tidak mengobatinya. Leah sudah kehabisan uang saat ia harus membayar rumah yang disewanya setelah keluar dari rumah keluarga Willstone.
Hari ini, kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik setelah dia beristirahat. Leah harus segera pergi menemui ibu kandungnya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit jiwa.
Ya, setelah mengetahui kalau suaminya berselingkuh. Ivana sangat terpukul. Wanita berusia 45 tahun saat itu selalu melamun dan juga menangis, terkadang ibunya juga mengatakan kalau Johnny hanya khilaf, dia pasti akan kembali kepadanya dan menjemput mereka, lalu meninggalkan wanita selingkuhannya.
Bukannya datang menjemput mereka. Johnny malah datang membawa surat perceraian dan juga beberapa surat aset yang dimiliki ibunya. Pria kejam itu memaksa Ivana untuk menandatanganinya, mengalihkan seluruh kekayaan atas namanya kepada Rose White, selingkuhannya. Hal itulah yang membuat jiwa Ivana terguncang dan berakhir di rumah sakit jiwa. Leah yang saat itu masih berusia sekitar 19 tahun harus berjuang sendiri, bertahan hidup. Mencari pekerjaan apa saja untuk makan dan juga pengobatan ibunya
Leah menghela napas berat, dia menyeka air mata yang tanpa permisi merembes dari matanya. “Aku harus segera menemui ibu.” Setelah kembali ke rumah ayahnya, Leah memang tidak pernah diizinkan untuk menemui ibunya di rumah sakit.
Leah segera ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, membutuhkan waktu hanya setengah jam untuk bersiap. Leah segera bergegas meninggalkan rumah kontrakannya yang kecil.
Menempuh perjalanan hampir dua jam karena Leah harus berjalan sekitar satu kilometer menuju halte dan dilanjutkan dengan menggunakan bus untuk menuju rumah sakit tempat di mana ibunya dirawat.
Leah menghela napas berat, memandang lurus pada bangunan rumah sakit. Hatinya seperti diremas setiap kali melihat bangunan rumah sakit itu. Bukan hanya karena melihat kondisi ibunya yang semakin memburuk–mengamuk setiap hari dan dikurung di kamar isolasi, Ivana juga tidak mengenali Leah sebagai anak kandungnya, wanita itu selalu menolak untuk bertemu dengannya, membuat Leah mau tidak mau hanya bisa melihat kondisi wanita yang sudah melahirkannya dari balik pintu ruang isolasi.
“Permisi,” ucap Leah pada salah satu perawat yang berjaga di bagian resepsionis.
Perawat yang berjaga mengangkat kepalanya dan langsung menatapnya sinis. “Ada apa lagi kamu ke sini?” tanyanya.
Leah sama sekali tidak tersinggung, ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu, beberapa perawat memang tidak menyukai dirinya, lantaran Leah selalu menunggak biaya pengobatan sang ibu. Sedangkan Ivana harus mendapatkan perawatan ekstra karena kondisinya yang selalu mengamuk.
“Aku ingin menjenguk ibuku. Apakah, dia, dia masih di ruang isolasi.”
“Heh!” Perawat itu bangkit berdiri. “Apa kau sedang bercanda?”