"Enggak! aku nggak mau pulang. Asal kamu tahu, ya. Aku udah punya pacar!" Tiba-tiba, Annara menggandeng asal lelaki di sebelahnya. Laki-laki yang bahkan tak ia kenal. Bagi Annara Syahira, lebih baik mengucap kebohongan daripada menerima perjodohan dengan pria yang lebih tua 13 tahun darinya. Apalagi Annara tidak pernah sekalipun bertemu sosok calon suaminya itu. Dalam larutnya rasa kesal dan kecewa. Di sebuah kedai 24 jam setelah dirinya gagal bunuh diri, Annara mencium pria yang sama-sama pelanggan kedai. Tanpa Annara sangka, dia adalah Nakula Abrisam. Calon suaminya sendiri! Sosok yang menyembunyikan jati dirinya di balik topeng dingin nan cuek itu.
Remang suasana malam menemani langkahnya yang gontai menapaki pinggiran jalan yang tidak terlalu besar itu. Tangan kanannya menenteng tas selempang berwarna cokelat, sementara satunya bersembunyi di dalam kantong jaket panjang yang ia pakai.
Kondisi jalanan malam ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mobil pun sepeda motor yang lewat menerangi tubuh semampai perempuan itu. Setiap kali wajahnya tersorot lampu mobil, terlihat jelas bekas sembab di kedua matanya.
Ketika kondisi benar-benar sunyi, hanya deru angin yang terdengar. Kakinya berhenti tepat di tengah-tengah jembatan. Memegang erat pagar jembatan yang tidak terlalu tinggi. Dia menengadah, memejamkan matanya seraya menghela napas gusar.
"Hah ... Muak aku sama kalian semua!" jeritnya seketika. Ia lontarkan semua marahnya di pinggir jembatan sepi, dan di tengah malam pula.
"Awas aja, tungguin arwahku gentayangan buat neror orang yang udah bikin perjodohan konyol itu!" Bibirnya cemberut, dia menaruh tas selempang di bawah.
Perlahan, secara bergantian kedua kakinya berusaha menaiki pembatas jembatan yang memiliki lebar tidak lebih dari satu telapak orang dewasa. Rasa dingin menerpa seluruh tubuhnya yang gemetar ketika ditebas angin.
Annara menelan saliva, kini jantungnya berdegup cepat karena rasa takut akan ketinggian tiba-tiba muncul. Di bawah jembatan tidak bisa ia lihat jelas karena minimnya cahaya. Hanya kilau yang mungkin ditimbulkan oleh perairan yang sesekali ditangkap penglihatannya.
Saat ini yang ada di pikiran Annara adalah mengakhiri hidup. Suntuk mendengar celoteh orang rumah yang melulu menyuruhnya mengiyakan pernikahannya. Mana ada Annara setuju, toh, pernikahan ini hanya sebuah perjodohan kurang ajar, pikirnya.
Dikiranya Annara setuju, terlebih dia harus menikahi seorang pria yang sama sekali belum dilihat batang hidungnya. Kaya sekalipun, tak akan Annara terima jika orang itu sudah tua!
Gadis itu belum sempat berdiri tegap di atas pagar jembatan. Agak membungkukkan badannya, dia menoleh pelan-pelan ke belakang. Bergantian menelisik keadaan di bawah jembatan pun di jalanan aspal.
Dengan penuh ketakutan, setelah menimbang-nimbang cukup lama. Fokus Annara masih dalam pilihannya. Dia telan ludahnya kasar, mengembuskan napas berulang sebelum dia jatuhkan satu kakinya mengambang di udara.
Sebelum tubuh itu mengalihkan pijakan, lamun Annara pecah karena suara teriakan seseorang dari belakangnya. "Hei! Mau ngapain kamu?" Suaranya terdengar berat, menjadikan Annara kembali menapak bagian atas pagar jembatan.
"Bukan urusanmu!" Annara menoleh sedikit, dan mengernyitkan dahi.
"Aku mau pinjam uang! Aku kalah taruhan, uangku udah habis." Dia menatap sendu Annara yang masih ada di atas pembatas. Sendu sorot matanya melihat punggung kecil Annara.
Bukan main, Annara tidak bisa berkata-kata. Ia diam seribu bahasa, tidak habis pikir dengan kelakuan manusia jaman sekarang. Annara mengulum bibirnya, dia berdecak kesal. Bisa-bisanya hidup Annara dipenuhi oleh orang-orang konyal seperti ini.
"Gila! Kamu gak liat aku mau bunuh diri? Tapi malah pinjem duit, gak waras nih orang!" Refleks tubuhnya menoleh cepat, menghilangkan keseimbangan yang selama ini Annara jaga.
Secepat kilat, kaki jenjangnya keluar garis aman. Dia tidak merasakan kedua kakinya itu menapak besi pembatas. Annara terpejam erat, semua bayangan masa lalu tiba-tiba memutar di relung kepala. Annara sudah pasti akan mati, dengan cara seperti ini.
Tanpa kekasih selama 23 tahun hidupnya, membawa sedih dan kecewa karena paksaan orang tua sendiri. Annara akan menemui ajalnya. Rasanya dia terhempas, belaian angin lembut ia rasakan. Tiba-tiba rasa takut itu muncul lagi, sekuat tenaga Annara berteriak sekencang-kencangnya.
"Ah ...!" Semakin erat dia terpejam, dan semakin kencang suaranya terdengar. Tubuh Annara jatuh! Anehnya, dia tidak merasakan sakit sedikit pun.
Tetap memejamkan matanya, Annara membuka suara. "Aku-aku mati? Tapi, sejak kapan sungai jembatan ini terasa begitu hangat?"
"Ekhm, bisakah kau minggir, Nona?" Annara mendengar jelas suara lelaki tadi, terasa ada di sekitar tubuhnya yang jatuh. Sampai Annara pikir jika lelaki itu sebenarnya adalah malaikat maut.
"Kau menindihku, bisakah cepat berdiri? Tubuhmu sedikit berat." Sial! Annara mengutuk dirinya sendiri, dia bukan mati, melainkan jatuh di atas tubuh laki-laki yang ingin meminjam uangnya itu.
Sontak, Annara bangkit. Merapikan rambutnya yang terikat separuh. Dia menepuk-nepuk jaket panjangnya seraya tersenyum kikuk. Tangannya mengarah ke belakang kepala, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Fyuh ... Aku gak jadi mati ternyata," celetuk Annara mengucap syukur. Toh, dia sebenarnya belum siap dengan semua ini. Masih ada impian yang ingin dia capai, hanya saja kondisi keluarganya benar-benar memuakkan.
Lelaki itu beranjak dari tidur terlentangnya. Kini tubuhnya berhadapan dengan tubuh pendek Annara, di keremangan malam yang sunyi. Mereka berdua beradu tatap, tidak terdengar suara bicara dari kedua orang ini.
Hingga lelaki di depan Annara melangkahkan kakinya lebih dekat ke tempat Annara berdiri. Tidak bisa gadis itu lihat jelas bagaimana rupa laki-laki ini, hanya garis wajahnya yang tegas dan tubuh tinggi dengan dada begitu lapang.
"Aku mau pinjam uangmu dulu, teman-temanku sudah menunggu di kedai." Dia membisik.
Annara melongo, dia menggeleng pelan. Pasrah dengan kelakuan lelaki antah-berantah yang entah munculnya dari mana ini. Alhasil, Annara mengambil tasnya yang tergelatak. Merogoh isi tas untuk mengambil dompet berhias bunga lotus yang ia bordil sendiri.
Tangan lentik perempuan itu mencabut beberapa lembar uang, menyodorkan mata uang tersebut kepada pria di depannya. Disambar cepat oleh pemilik telapak besar nan berjari panjang itu. Lalu, dia memacu langkah. Kembali ke kedai 24 jam yang tidak jauh dari jembatan ini terbentang.
Tanpa pikir panjang, karena takut juga Annara mengikuti laki-laki itu. Setiap langkahnya melihat punggung bidang yang melenggang di depan sana. Semakin dekat jarak Annara dengan kedai berhias lampu warna-warni di pinggir jalan. Semakin jelas dilihatnya bagaimana rupa lelaki itu.
Tubuhnya tinggi, rambut hitam legam berkilau tersinar cahaya lampu. Celana hitamnya tampak sempurna menempel pada kaki panjangnya, jaket parka abu-abu menghias tubuhnya yang bidang. Annara tak hentinya menilik setiap inci dari lelaki itu.
Di dalam kedai Annara melihat sekeliling, beberapa meja kosong dan ada satu meja sedikit lebar yang menarik perhatiannya. Meja itu dipenuhi dengan piring-piring bekas makanan, tiga orang laki-laki duduk sambil menatapnya heran.
Setelah tiga orang itu melihat ke arah Annara, dia mendelik pada lelaki di samping Annara. "Lha! Kau balik lagi tapi sambil bawa cewek. Nemu dari mana, hah?" tanya salah satu dari mereka.
Lelaki itu mengabaikan, segera dia mendekati bangku kosong di meja itu. Melepas jaket parkanya dan menyodorkan lembar uang yang telah diberikan oleh Annara. Beriringan dengan lambaian tangan yang mungkin adalah teman lelaki ini.
"Duduk sini, nggak usah malu-malu," katanya memecah kecanggungan.
Annara mengikuti ajakan si pria, menyeret kursi dari meja lain untuk ia duduki. Di sebelah lelaki tadi, meskipun tetap menjaga jarak agak jauh. Annara tersenyum menyapa mereka. Dia diam cukup lama karena tidak ada bahasan yang bisa ia bicarakan.
Sekitar lima belas menit dalam diam, terdengar suara mobil yang menghentikan lajunya tepat di depan kedai. Langkah kaki dari dua orang memasuki kedai kecil ini. Annara tidak peduli, dia bahkan tidak mau repot-repot menengok untuk melihat siapa yang datang di tengah malam seperti ini.
Sebelum benar-benar larut dalam lamunnya lagi. Annara tercekat, dia mendengar suara yang amat familier di telinganya. Perlahan-lahan Annara memutar, melihat siapa orang itu. Betapa kagetnya ketika manik Annara menangkap sosok yang berdiri di ambang pintu.
"Annara ...? Kamu ngapain di sini? Ini udah malem, lho. Keluarga kamu bakal cariin." Dia mendekati Annara, rambut pendek wanita itu terguncang seiringan dengan langkahnya. Dibuntuti oleh seorang pria seumuran di belakang.
"Tante ... Ngapain di sini?" Annara balik bertanya, berlagak tidak tahu apa-apa. Padahal, yang ia rasakan saat ini adalah kecemasan karena kenapa harus bertemu kakak sang ibu dalam keadaan seperti sekarang?
"Kamu cepet pulang sana, Annara. Kamu sebentar lagi, kan mau ni-"
Annara menyela ucapan wanita itu. "Ogah! Suruh cari anak lagi kalo mau! Aku gak mau Tante. Oh! Asal Tante tahu, ya. Aku sudah punya ... Pa-pacar!" katanya tergagap-gagap.
Tanpa aba-aba, tangan Annara melingkar pada lengan laki-laki di sebelahnya. Membuat reaksi kebingungan orang-orang itu. Tidak terkecuali lelaki ini, dia mengangkat satu alisnya. Melihat Annara yang tampak seperti orang bodoh.
"Ya Allah! Annara ... Tante ini baru aja pulang kampung cuma mau lihat hari bahagiamu. Juga mau lihat rupa menantu nanti, jangan bikin orang tua kamu sedih, Nak." Blak-blakan wanita itu berkata panjang lebar. Masih tidak percaya pada keponakan satu-satunya ini.
Annara mendengus, dia menggigit bibir bawah. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Dengan solusi apa Annara bisa keluar dari semua masalah tak berujung ini?
Entah apa yang telah merasuki gadis yang sebentar lagi akan mengadakan pameran lukisannya itu. Pasalnya, Annara menelan ludah berulang kali. Kemudian, dia mendekatkan wajah nya pada lelaki di samping. Sedikit menaikkan tubuhnya karena tinggi mereka terlampau jauh.
Sepersekian detik, dengan setengah kesadarannya. Bibir Annara mengecup milik lelaki itu. Membuat merah padam wajah keduanya. Satunya membelalakkan mata, sementara si gadis memejam rapat. Reaksi lima orang lainnya? Jangan tanya, mereka sama-sama kagetnya.
Setelah melakukan perbuatannya itu, Annara sedikit menjauh. Seraya menganga, dia menyesal menatap laki-laki yang berwajah datar tanpa ekspresi. Sedingin kutub, rautnya menghanyutkan, namun terlihat mengerikan.
Kini, Annara dan laki-laki itu saling pandang. Tangan lelaki ini mengepal erat, kukunya menancap pada telapaknya sendiri. Bibir tipis yang ternyata memiliki tahi lalat kecil di atas bibirnya itu mengatup. Membekas merah lipstik Annara yang menempel pada bibirnya.
"Apa yang coba kau lakukan? But, her lips so soft," batinnya dalam hati.