Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Alula Maheswari. Dengan sangat berat hati, kamu saya pecat."
"Apa, Pak? Kenapa tiba-tiba saya dipecat, Pak? Memangnya saya salah apa?" tanyaku beruntun. Kaget sudah pasti. Bagaimana tidak kaget coba, tiba-tiba saja aku mendengar pernyataan yang sangat menakutkan bagi para karyawan rendahan sepertiku. Padahal seingatku, aku tidak melakukan sebuah kesalahan.
Jantungku sudah berdegup cukup kencang. Harapanku ini semua hanya prank.
Tapi, prank untuk apa? Ini bukan bulan April, jadi sudah jelas bukan April mop. Kalau diingat-ingat, ini juga bukan hari ulang tahunku.
Lalu ini semua maksudnya apa?
Laki-laki paruh baya yang tengah duduk di hadapanku itu menghela napasnya berat. Dia tak kunjung juga menjawab pertanyaan dariku. Hanya menatapku penuh iba.
Sebenarnya aku benci ditatap seperti ini, seolah-olah aku adalah orang yang perlu dikasihani, padahal kan aku hanya butuh jawaban.
"Pak, ini pasti cuma prank, kan?" Aku memastikan. "Aduuh ... ternyata Bapak bisa bercanda juga ya. Hahaha ...."
Aku masih bisa tertawa meski mungkin terlihat palsu, dan orang di depanku ini masih memasang wajah seperti tadi.
Lagi-lagi atasanku yang bernama pak Bambang itu menghela napasnya. Lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi goyang nan empuk yang tengah ia duduki, sembari menatapku yang masih sedikit tertawa.
"Alula, ini bukan sebuah lelucon, apalagi prank seperti yang kamu bilang tadi," ucap pak Bambang.
Perasaanku yang tadinya sudah mulai sedikit tenang, tiba-tiba kembali merasa terancam.
"Maksud Bapak, saya beneran dipecat, Pak?" tanyaku hati-hati.
Pak Bambang mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah amplop berwarna kecoklatan. Kalau aku tebak sih, itu pasti uang pesangon.
Berapa ya, pesangonku?
Sepuluh juta?
Duapuluh juta?
Atau bahkan seratus juta?
Ih, apaan sih, posisi sedang terancam seperti ini malah sempat-sempatnya mikirin duit. Dasar Aku!
"Apa ini, Pak?" tanyaku setelah amplop berwarna kecoklatan itu kuterima. Meski berharap isinya uang, tapi tetap saja aku harus pura-pura tidak tahu.
"Itu surat pemecatan kamu, Alula. Maaf, saya tidak bisa memberi pesangon untuk kamu, sebab perusahaan melarangnya."
Apa?!
Jadi aku serius dipecat, dan tanpa pesangon?
Benar-benar tragis nasibku sekarang. Atasanku ini juga seperti tak berbelas kasihan.
Untuk memastikan perkataan pak Bambang, aku pun membuka amplop itu, lalu membacanya.
Dan benar saja, aku dipecat dari perusahaan ini. Padahal tiga tahun yang lalu aku harus bersusah payah berusaha agar bisa diterima bekerja di sini, dengan mengalahkan banyak pesaing yang juga ingin mendapatkan pekerjaan.
Lalu tiba-tiba saja dipecat?
"Tapi alasannya apa, Pak? Seingat saya, saya tidak pernah melakukan kesalahan fatal."
"Ya, benar, Alula. Kamu memang tidak pernah melakukan kesalahan apa pun pada perusahaan. Tapi kesalahanmu pada pak Susilo, selaku direktur di perusahaan ini," jelas pak Bambang.
Oke, kalau kesalahanku pada si tua bangka seperti yang dikatakan sama pak Bambang tadi memang benar adanya, tapi kenapa harus berimbas pada pekerjaanku sih?
"Tapi itu namanya tidak profesional, Pak. Urusan saya sama pak Susilo itu kan ranah pribadi, bukan masalah pekerjaan, kenapa imbasnya ke karir saya?" Aku mencoba membela diri, kali saja berguna.
"Saya tahu, Alula. Tapi, apa iya saya harus membantah perintah dari pak direktur? Tentu itu mengancam posisi saya Alula."
Huft!
Baiklah, kali ini aku harus mengalah, kembali mendebat juga percuma.
==============================
Keluar dari ruangan pak Bambang, aku berjalan lesu menuju ruangan divisi tempatku bekerja.
Setelah ini aku harus membereskan barang-barang, dan juga berpamitan pada teman-teman seperjuanganku.
"La, ada apa? Kok lemes gitu sih, keluar dari ruangannya pak Bambang. Habis diomelin ya?" tanya Arin, begitu melihatku masuk ke ruang divisi ini.
Suara Arin yang cukup keras tadi, tentu saja membuatku jadi pusat perhatian. Pasalnya, semua orang yang ada di ruangan ini otomatis melihat ke arahku. Pasti mereka kepo dengan jawaban yang akan aku utarakan.
"Gue dipecat," ucapku sambil berjalan menuju meja kerja tempat di mana biasanya aku mengerjakan tugas demi tugas yang diberikan oleh perusahaan. Ah, tepatnya kini menjadi mantan meja kerja.
Kalau namanya sudah berubah menjadi mantan, berarti wajib dilupakan. Seperti aku yang rajin banget melupakan barisan para mantan. Eh.
"Hah? Serius lo, La? Jangan bercanda deh," celetuk Tedi.
"Iya, La, nggak lucu tau bercanda kek gitu," timpal Gisel.
Dan banyak lagi celetukan-celetukan yang lainnya yang tak aku pedulikan.
Dibandingkan menjawab keingintahuan mereka, aku lebih memilih membereskan barang-barangku.
Melihatku yang tengah beres-beres, teman-teman satu ruangan ini beranjak menghampiri.
"Lo serius, La?" Arin memastikan, dan aku pun mengangguk.
"Aaarggh ... Alula ... gue sedih kalau lo pergi."
"Gue juga sedih, La."
"Apalagi gue, La. Kalau lo pergi, entar siapa dong yang bakalan jadi partner ghibah kita? Huhuhu ...."
Selanjutnya, suasana berubah menjadi sendu, dan penuh linangan air mata. Teman-teman bergantian memelukku sebagai tanda perpisahan.
Tadinya sih, aku tidak mau nangis, tapi karena terbawa suasana, jadinya ikutan nangis deh.
Tak dipungkiri ini cukup membuatku sedih. Selain kehilangan pekerjaan, aku juga harus berpisah dengan teman-teman yang selama ini melewati masa-masa susah senang bersama.
=============================
Keluar dari kantor dengan predikat dipecat secara tidak terhormat, membuat kepalaku sedikit mendidih. Untung saja tidak sampai meledak. Coba deh, kalau benar-benar meledak, pasti akan terlihat mengerikan.
Ah, aku harus mendinginkan pikiran. Sedih boleh, frustasi jangan. Apalagi sampai depresi. Ih, jangan sampai. Bukan Alula namanya jika terus-terusan meratapi nasib.