Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
New York Universty, Gerbang Kampus.
Ara memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Sesekali dia akan menyapa mereka yang dikenalnya dengan ramah dan terdiam di detik berikutnya. Helaan napas panjang kembali terdengar. Kepalanya menunduk, menatap sepasang flat shoes putihnya yang mulai kotor. Kira-kira sudah berapa lama dirinya berdiri seperti patung di tepi jalan seperti ini?
Ara mengutuk sifat pelupanya yang tidak bisa hilang. Tadi malam setelah berkabar dengan sang kekasih dan mengobrol panjang lebar, dia malah lupa tidak kembali mengisi daya benda pipih itu dan membuat ponselnya mati di saat urgent seperti saat ini.
Dia tidak bisa menghubungi sang kakak untuk menjemputnya. Sedangkan menunggu sang kekasih, sepertinya hanya akan membuang waktu saja. Entah untuk alasan apa lagi saat ini. Ara lelah berdiri, perutnya sudah lapar. Dia butuh segera pulang dan istirahat secepat mungkin.
Di sela menunggunya, sebuah motor merah dengan warna yang sangat menyilaukan mata berhenti di depannya. Ara tersentak, kakinya mundur spontan. Dia mengamati gerakan si pengendara yang membuka helm fullface-nya. Sepertinya dia tidak asing dengan postur tubuh si pengendara. Dan benar saja, Ara langsung membulatkan tatapannya melihat siapa yang tengah berada di depannya dengan wajah super tengil.
“Sendiri?”
“Athes?” pekik Ara tanpa sadar. Kedatangan pria itu seperti dewa penolong baginya. Senyumnya merekah, dia menatap pria itu dengan binar mata yang sangat cerah.
Athes mengorek telinga, seakan terganggu dengan pekikan yang Ara lakukan tadi.
“Athes mau nganter Ara?”
Pria itu mengerutkan kening dan menggeleng setelahnya. Hal yang sukses membuat wajah Ara kembali meredup.
“Kata siapa aku mau nganter?”
“Tapi Athes tadi tanya—”
“Cuma tanya, bukan berarti mau nawarin tumpangan,” potong Athes dengan wajah yang sangat menyebalkan.
Ara mengerucutkan bibirnya, tatapannya menyiratkan rasa sebalnya pada pria yang masih duduk di atas motornya. Sama sekali tidak memiliki rasa kasihan padanya yang sudah lelah berdiri seperti orang jalanan.
Athes Madison, pria yang beberapa semester ini selalu menjadi teman sekelasnya. Meski cukup tampan dan kaya, tapi sifat menyebalkannya sering membuat orang-orang kesal. Athes bukan pria yang irit bicara atau dingin, malah pria itu cukup cerewet dengan mulut pedasnya. Lebih baik menghindar ketimbang mendapatkan kata-kata mutiara yang membuat hati terluka. Namun, saat ini Ara butuh Athes untuk membawanya pulang.
“Ara tidak bisa pulang,” beritahu Ara dengan suara pelan, berusaha menarik simpati pria itu. Wajahnya dipasang semelas mungkin yang biasanya selalu ampuh pada keempat kakaknya.
Athes yang pada dasarnya memiliki nol simpati, hanya mengedikkan bahunya acuh. Dia menatap lurus ke depan, seakan tengah memikirkan sesuatu setelahnya kembali menatap Ara. “Kamu masih punya dua kaki, kan?”