Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Apa?!" Mira terkejut bukan main mendengar permintaan bapaknya. Bahkan mulut Mira sampai menganga lebar dengan mata terbelalak.
"Bapak yakin meminta Mira jadi istri kedua Mas Alka?" tanya Mira dengan suara bergetar menahan gemuruh di dadanya. Dia menjeda ucapannya sesaat, lalu kembali berkata, "Mira tidak mau, bahkan Mira juga tidak sudi menjadi istri kedua untuk siapapun!"
Tidak bisa menahan rasa terkejut sekaligus rasa sedih dan kecewa yang bercampur aduk menjadi satu, tanpa disadari Mira berbicara dengan nada tinggi pada bapaknya. Bahkan seumur hidupnya, baru kali ini intonasi tinggi itu keluar dari mulut Mira ketika berbicara dengan orang tuanya.
Kedatangan Tuan Maheer Wiraatmadja dan Nyonya Salma kali ini bagaikan malapetaka bagi Mira. Bagaimana tidak, Mira yang tidak pernah bermimpi ingin menjadi madu untuk perempuan lain, malah kini dia diminta bapaknya untuk menikah dengan pria beristri.
"Mira!" hardik Pak Darma yang tidak terima anaknya melawan dengan suara keras seperti itu.
Pak Darma melangkah ke depan mendekati Mira, sedangkan wanita itu mundur ke belakang menghindari bapaknya.
"Kamu sudah berani melawan Bapak?" tanya Pak Darma menatap tajam pada anaknya.
"Mira bukan melawan Bapak, tetapi Mira tidak mau jadi istri kedua! Bapak mau melihat Mira dihujat orang-orang dengan diberi gelar sebagai pelakor? Apalagi Mira belum pernah bertemu dengan Mas Alka, bagaimana kalau dia bukan orang baik-baik?" ungkap Mira mengutarakan isi hatinya.
"Jaga mulutmu, Mira! Selama ini kau juga telah mengenal mereka lebih dari warga lainnya, tidakkah kau lihat mereka itu sebagai keluarga baik-baik?" bentak Pak Darma.
Pak Darma maupun Mira tidak pernah bersitegang seperti ini sebelumnya. Apalagi saling bersahutan dengan intonasi tinggi. Sekarang mereka seakan berada di luar karakter diri masing-masing.
Mata Mira menganak sungai, dadanya terasa sesak bagaikan menahan beban yang begitu berat. Tidak bisa terbayangkan olehnya posisi sebagai istri kedua, apalagi pria itu tidak dikenalinya sama sekali.
"Mira sangat menghormati Bapak, Mira juga akan selalu menuruti perintah Bapak, tetapi Mira mohon jangan meminta Mira menikah dengan pria yang masih berstatus suami orang. Mira tidak mau jadi istri kedua, Pak," mohon Mira dengan suara bergetar, bulir bening yang sedari tadi dia tahan keluar begitu saja dari pelupuk mata gadis itu.
"Kita berhutang budi pada keluarga Tuan Maheer Wiraatmadja. Sudah banyak jasanya yang kita terima. Mereka tidak meminta kita membalas dengan setimpal, hanya meminta kamu jadi menantu mereka. Bahkan permintaan itu suatu kehormatan bagi keluarga kita!" ungkap Pak Darma, terlihat jelas kalau dia ingin anaknya mau menikah dengan anak Tuan Maheer.
Mira tersenyum getir, hatinya bagaikan tersayat ribuan belati ketika bapaknya berbicara soal jasa keluarga Tuan Maheer pada mereka.
"Jasa dan hutang budi?! Apa di mata Bapak jasa mereka pada keluarga kita atas uang dan hadiah yang selalu mereka berikan itu setimpal dengan hidup Mira? Lalu ... Bapak tega memberikan putri Bapak sebagai alasan balas budi tersebut, mengikhlaskan Mira menjadi istri kedua dalam keluarga itu? Secara terang-terangan Bapak telah memberi peluang pada orang lain untuk menindas Mira sebagai anak Bapak. Sekejam itukah bapakku?" Mira terisak, tangisnya yang dia tahan akhirnya pecah juga. Bulir bening menghujam keluar dari pelupuk matanya.
"Jika keluarga mereka adalah keluarga baik-baik, maka mereka tidak akan meminta yang namanya balas budi. Apalagi meminta putri Bapak untuk menjadi istri kedua buat anaknya yang masih punya istri sah sampai sekarang. Itu artinya, ada rencana besar yang tengah mereka siapkan ketika memberi keluarga kita hadiah. Pikiran mereka terlalu licik, mereka tidak tulus memberi kita hadiah, mereka bukan keluarga baik-baik, mereka–"
"Mira!" potong Pak Darma berteriak menghentikan ucapan anaknya.
Mendengar perkataan Mira, retak sudah kesabaran Pak Darma. Hingga dengan begitu ringan, sebelah tangannya terangkat dan melayang tepat di pipi sebelah kiri anaknya.
"Bapak tak pernah mengajarimu berkata buruk seperti itu, Mira!" bentak Pak Darma penuh amarah pada Mira yang meringis merasakan sakit dan panas di pipinya.
Mira memegang pipi putihnya, di sana sudah ada cap merah akibat tamparan dari bapaknya yang begitu keras. Rasanya begitu sakit dan perih, tetapi lebih sakit lagi hati Mira yang mendapat perlakuan kasar dari bapaknya.
"Tapi benar 'kan, Pak? Mereka itu licik. Mereka memberi keluarga kita uang dan hadiah lainnya, dibalik itu semua mereka punya rencana besar yang telah mereka susun. Apa yang mereka berikan pada keluarga kita bukan dengan keikhlasan. Buktinya mereka sekarang meminta Mira untuk menjadi istri kedua anaknya. Bapak tahu? Mbak Amina, menantu mereka yang sekarang itu mandul!!"
Mira menjeda ucapannya sesaat, sedangkan Pak Darma mengepalkan tangannya begitu marah pada pemikiran anaknya yang dia rasa sangat singkat.
"Mereka bukan menginginkan Mira untuk menjadi menantu yang akan mereka sayangi, Pak. Mereka hanya ingin rahim Mira untuk melahirkan keturunan! Bukankah mereka sering mengatakan kalau mereka sangat menginginkan cucu dari Mas Alka? Apa Bapak tidak paham maksud mereka?" Air mata Mira kian berderai, merasakan pedih di pipi dan juga di hatinya.
"Cukup! Bapak tahu mana yang terbaik untukmu." Pak Darma menatap tajam pada Mira, kepalanya terasa sakit dan pusing ketika Mira terus membantah dan berani menantangnya sebagai orang tua.
"Jika Bapak tahu mana yang terbaik untuk Mira, tidak mungkin Bapak mau menikahkan Mira untuk jadi istri kedua hanya karena balas budi," sahut Mira membuat Pak Darma makin marah.
"Cukup, Mira! Cukup!" teriak Pak Darma dengan suara membentak.
"Jika kamu tidak mau menikah dengan anak Tuan Maheer, jangan anggap Bapak ini orang tua kamu lagi. Bapak tidak sudi punya anak pembangkang seperti kamu!"
Hancur, itu lah yang dirasakan Mira ketika mendengar pernyataan bapaknya. Pikiran Mira berkecamuk, dia bahkan menyimpan sesal yang teramat dalam. Hanya karena ingin balas budi, bapaknya tega menghancurkan masa depan Mira yang nantinya akan menjadi istri kedua. Yang namanya istri kedua, tidak akan pernah mendapat tempat terbaik di manapun. Itu lah yang kini menggelitik hati dan pikiran Mira.
"Silahkan pilih, mau menikah dengan anak Tuan Maheer atau pergi dari rumah ini dan tidak menganggap bapak orang tuamu lagi, serta adik-adikmu juga bukan lagi keluargamu!"
*****