Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Demi cinta aku rela meninggalkan rumah

Demi cinta aku rela meninggalkan rumah

chihanajnazhi

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Kisah cinta Alice dan Justin mungkin terdengar klise, tetapi bagi mereka, cinta itu nyata dan tulus. Namun, ketika kakak Alice tidak setuju dengan hubungan mereka, mereka harus menghadapi banyak konflik dan rintangan. Mereka bahkan harus mengambil keputusan besar untuk nikah lari agar bisa bersama. Namun, keberuntungan akhirnya datang kepada mereka ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk memiliki rumah sendiri. Inilah kisah tentang perjuangan cinta sejati dan kekuatan keluarga yang dapat mengatasi segala rintangan. Semoga kisah ini dapat menginspirasi dan memberikan harapan bagi pembaca yang sedang menghadapi konflik serupa dalam kehidupan mereka.

Bab 1 Amarah sang kakak

Alice terperanjat saat membuka pintu masuk rumahnya, dihadapannya sudah berdiri sang kakak yang tengah melihatnya dengan tatapan nanar, bahkan raut mukanya juga terlihat sangat gusar. Hingga, gadis itu merasa takut dan memilih menundukkan kepalanya.

"Dari mana saja kau jam segini baru pulang? Kau pasti menemui pria itu lagi, kan?" Shinta berkata dengan nada bengis.

"Ma-af kak, tadi aku..."

"Jangan banyak alasan!" Alice Bahkan tak di beri kesempatan untuk melanjutkan ucapannya.

"Maaf kak, besok aku tak mengulanginya lagi." Gadis itu akhirnya pasrah sambil berkata lirih. Ia waspada karena takut Shinta akan menggunakan kekerasan padanya.

"Alice, aku ingatkan sekali lagi, jangan berhubungan dengan pria itu. Apa kamu masih belum mengerti? Aku sudah menasihatimu berkali-kali, tapi kamu masih tak mendengarkan." Shinta menjeda bicaranya sambil mendesah panjang,

"Jika saja ayah dan ibu melihat kelakuanmu saat ini, mereka pasti akan kecewa." Matanya tampak menerawang jauh ketika berbicara tentang orang tua yang telah tiada.

Tiba-tiba sebuah keberanian muncul dalam diri Alice, gadis itu menegakkan kepalanya, lalu berbicara. "Maaf kak, aku tahu sudah membuatmu kecewa. Tapi, biar bagaimanapun kakak melarangku bertemu dengan Justin, aku akan akan tetap menemuinya, karena kami saling mencintai. Justin adalah pria yang bertanggung jawab kak."

"Apa? Cinta? Apa kau bisa makan dengan modal cinta?" Suaranya tiba-tiba meninggi, wanita single yang sudah berusia 30 tahun itu mendesah panjang, seperti memikirkan sesuatu.

Justin yang dimaksud menurut kakaknya adalah preman jalanan dan yang suka berkelahi, pemuda itu berpenampilan santai dengan topi dan gitar yang selalu bersamanya.

"Kak, aku mohon tolong restui hubungan kami. Lagipula dia tak seperti yang kakak bayangkan. Dia bukan preman kak," ucap Alice dengan wajah memelas, gadis itu sedikit terisak berharap kakaknya mengiyakan permintaannya.

Shinta menatap sosok adik yang sejak lahir disayanginya, sudut bibirnya gemetar menahan semua perkataan yang tak bisa di lanjutkan.

"Alice, jangan bercanda lagi oke, kenapa kamu malah rela membela pria seperti itu? Ingat, usiamu kamu masih muda, hilangkan pikiran untuk pacaran dan kembalilah bersekolah. Ingat, wanita akan berdiri ketika ia memiliki sebuah karir agar tak di injak-injak oleh pria." tegas Shinta yang langsung berlalu pergi meninggalkan Alice sendirian.

Alice melihat ke bawah sambil berjalan pelan menuju kamarnya,

"Alice..." namanya kembali dipanggil, langkahnya langsung terhenti.

"Lihat kakak! Jangan biarkan orang lain berbicara buruk tentangmu, dan tentang keluarga kita, tolong jaga harga diri. Jangan perlihatkan kalau kita tak punya, orang tua lagi, siapa yang akan memberi nasehat jika kau tak patuh padaku." Shinta berkata dengan penuh penekanan.

Ini bukan pertama kalinya Alice di tegur Shinta, namun gadis itu masih saja bersikeras. "Kak, kuharap kamu memahami perasaanku. Jika kamu setuju, aku bahkan bersedia bertahan sampai ke jenjang pernikahan dan menjadi istrinya."

Setelah berbicara, gadis itu menunduk sambil memejamkan matanya. Astaga, darimana aku dapat keberanian itu... batinnya dalam hati.

Shinta melebarkan matanya saat mendengar pernyataan yang tak di duga ya sama sekali. "Alice, kamu masih remaja, jangan pernah berpikir kamu bisa menikah dengan pria yang belum jelas asal usulnya hanya karena nafsu belakamu saja. Itu sama sekali tak pantas!"

Tak ada yang mengira, kalau Alice akan berpikir sejauh itu. Siapa pun itu, pasti akan menolak jika seorang pria belum di rasa cukup umur dan bertanggung jawab menghidupi adiknya.

"Tapi kak..."

Plakk...! Sebuah tamparan mendarat di wajah mulus Alice. "Kau tak usah banyak alasan..! Aku bisa saja melakukan kekerasan fisik padamu lebih dari itu, jika kau tak menurut apa yang aku katakan. Mau makan apa kalian nanti?"

Alice masih ingin menjawab, namun lidahnya kelu. Tak ada harapan lagi Shinta akan mendengarkan adiknya yang malang ini. Bibirnya terkatup rapat seakan sudah terkunci dengan gembok.

Shinta terlihat benar-benar geram, ia segera mengambil langkah cepat dan pergi dari sana.

Hufft... Alice terlihat frustasi sekarang. Gadis itu merasa hubungannya dengan sang kekasih terlalu banyak cobaan, di tambah lagi saudara satu-satunya tak mendukung hubungan mereka sama sekali.

Kakinya terasa berat seolah tengah terjepit dengan sesuatu saat akan masuk ke kamarnya.

"Jika kamu pergi menemuinya lagi, aku tak akan segan menghajar kau dan pria itu di tengah jalan!" Dari arah ruang tamu suara teriakan Shinta terdengar begitu nyaring hingga Alice terpaksa harus menutup telinganya dengan tangan.

Hufft... Kemana lagi aku harus mengadu.

Alice kini menatap sebuah benda pipih yang baru saja ia beli. Sebuah smartphone bermata dua itu adalah hasil dari gaji yang di dapatnya setelah mengumpulkan tiga bulan gaji pertamanya yang di tabung.

Gadis pekerja paruh waktu di toko aksesoris itu menyambungkan ponsel tadi pada kebel pengisi daya. "Kuharap, baterainya cepat terisi." bisiknya pelan.

Tak ada yang bisa di lakukannya selain berbaring di tepi ranjang memikirkan semua perkataan kakaknya. Krukk...

Alice menyadari perutnya berbunyi, "Astaga, dari tadi aku belum makan."

Segera, ia bangkit dan mengeluarkan isi tas kerja miliknya. "Nasi bungkus dengan lauk sayuran."

Alice langsung membukanya dengan hati-hati menampakkan ekspresi senang dari wajahnya. Setiap hari ia sengaja membeli nasi bungkus karena takut menyentuh makanan apapun di rumahnya karena semuanya akan berpengaruh terlebih dengan suasana hati Shinta...

Selesai makan...

Alice memeriksa ponsel yang masih mengisi di depannya. Matanya terlihat berat dan malah tak mampu di tahan lagi.

"Aku lelah dan mengantuk..."

***

Suara ribut membangunkan Alice dari lelapnya. "Suara apa itu tadi?" Pandangannya langsung terfokus ke pintu kamar yang ternyata belum di kunci semalam.

"Ya ampun, lagi-lagi aku lupa mengunci pintu." Gadis itu segera beranjak, melihat keluar kamar memastikan suara yang di dengarnya barusan.

"Tak ada siapa-siapa."

Ia langsung menutupnya begitu saja dan berbalik kembali ke dalam. Pandangannya mengarah pada benda yang tergeletak ponsel dan masih terpasang kabel pengisi daya. Alice menghidupkan layarnya untuk melihat jam. "Sudah pukul 05.05 malam! Tapi kenapa baterainya belum penuh? Apa jangan-jangan chargernya tidak tersambung?" dalam kebuntuan situasi, ia memeriksa kabel pengisi daya.

"Aneh, semalam aku memasang charger tak seperti ini, tapi kenapa sekarang malah putus? Apa ini ulah kak Shinta?" semua masih menjadi pertanyaan Alice.

Gadis itu mengerutkan keningnya mencoba tak berburuk sangka pada kakak satu-satunya, dan tetap mencari potongan kabel pengisi daya itu di sekitarnya. "Kemana perginya?"

Azan subuh terdengar, namun Shinta masih tertidur pulas di kamarnya, Alice melangkah mundur dan kembali ke kamarnya. Saat itu ia merenung, sebuah ide terlintas di benaknya membuat Alice segera meraih ponsel yang berada tak jauh dari sana.

(Pagi Bang, Justin. Aku di marahi lagi, Kak Shinta melarang kita bertemu.)

Alice langsung mengirim ketikannya tadi ke nomor Justin.

Masih centang satu, Alice bergumam.

Gadis itu merasa tak tenang saat belum menerima balasan pesan, kali ini ia kembali menekan layar ponselnya hingga bunyi panggilan tersambung terdengar.

Angkat... angkat...

Alice mondar-mandir di depan kamarnya sambil menatap layar ponsel tanpa berkedip.

"Ya, halo!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku