/0/23599/coverorgin.jpg?v=ed918f85207337f1a3fe2e5fd61a4091&imageMogr2/format/webp)
Gadis keciiiilll..." Suara lengkingan kak Rika kembali memekakkan sepasang telingaku.
Mau marah? Protes?
Tentu saja tidak, karena memang itulah teriakan yang selalu aku tunggu setiap menjelang malam seperti ini. Teriakan yang menjadi tanda bahwa seorang pria yang setiap akhir pekan kutunggu kedatangannya, sudah datang dan siap mengentaskan rindu bersamaku.
Arfino Hesta namanya, aku biasa memanggilnya Bang Pino, alih-alih Fino seperti yang lain memanggilnya. Iya sih aku baru mengenalnya hampir satu tahun belakangan ini. Belum terbilang lama. Entah kenapa, aku nyaman ketika berdekatan dengan pria jangkung ini. Senyumnya, tatapan hangatnya, suara ramahnya, tutur katanya, sopan santunnya. Semuanya.
Kalau kata Kak Rika aku sedang terserang sindrom cinta pertama. Maka dari itu semua hal yang ada pada Bang Pino selalu aku puja tanpa secuil cela. Entahlah, aku memang masih awam soal cinta, jadi aku iyakan saja pendapat dari Kak Rika.
"Bang Pino ya?" tanyaku memastikan sekali lagi.
"Iya lah, emang siapa lagi kalau bukan si Abang kesayanganmu itu ." Kak Rika terkekeh pelan seraya menggelengkan kepala. Mungkin perempuan cantik itu tak habis pikir dengan tingkah norakku setiap kali pria itu datang ke tempat tinggal kami.
"Aku udah oke kan?" aku merapikan lagi blouse sewarna biru langit yang baru kali ini aku kenakan. Special, khusus untuk hari ini.
Kak Rika meletakkan spatula yang tadi sibuk ia gerak-gerakkan di atas penggorengan, lantas menoleh ke arahku. Mata bulatnya menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Udah oke, sip, mantep, cantik kece badai. Udah siap banget buat say bye sama si Abang," komentar Kak Rika sambil mengangkat ibu jarinya ke udara.
Ck, oke sih oke, kece sih kece ... tapi kenapa harus diingatkan lagi tentang perpisahan antara kami berdua malam ini sih?
Aku dan Bang Pino memang berjanji akan bertemu malam ini. Malam terakhir dimana aku bisa menemui pria itu sebelum esok siang aku harus terbang puluhan kilometer untuk kembali ke kota kelahiranku di Jawa Timur. Malam ini malam terakhir, di mana aku bisa menyimpan semua moment kebersamaan kami selama hampir satu tahun saling mengenal, merasa nyaman dan hampir terlena dengan sejuta angan akan masa depan.
Selama merantau di kota ini, aku memang sangat dekat dengan Kak Rika, perempuan cantik yang tengah mengambil pendidikan kedokteran itu. Dia mengenalku dari awal kedatangan hingga detik ini. Jadi, kak Rika juga tahu banyak tentang kedekatan yang terjalin antara Bang Pino dan aku yang masih seumur jagung ini.
"Hai, Lisa," sapa Bang Pino begitu melihatku melangkah mendekatinya yang tengah duduk di kursi panjang yang ada di teras rumah.
"Haii, Bang," balasku dengan senyum lebar yang kupaksakan. Kenapa harus terpaksa? karena sebenarnya jauh di dalam hati, aku sangat ingin menangis tiap kali ingat bahwa ini adalah malam terakhir kami bisa bertemu.
"Happy banget sih kayaknya?" sambung pria itu ketika mengambil alih nampan persegi yang berisi beberapa potong pizza dan minuman bersoda yang sengaja kubawa.
Serius wajahku terlihat happy? Happy dari mana coba?
Oke baik, berarti aku berhasil mengelabuinya. Tak tahu saja dia bahwa di dalam hati, aku sudah ingin menjerit tak terima dengan perpisahan kami esok hari.
"Harus happy dong," sahutku lantas menghempaskan bokong duduk di sebelahnya. "Abang sendiri kan yang bilang, kalau kita harus selalu ngerasa happy apa pun yang terjadi."
Bang Pino mengacak puncak rambutku yang tadi sudah rapi. "Gitu dong," katanya melemparkan senyum tenang. "Kalo kamu happy, Abang juga ikhlas ngelepas kamu pulang," sambungnya lagi dengan raut wajah datar, entah kemana perginya senyum menenangkan yang tadi kulihat.
Aku ini orangnya melankolis dan cengeng sekali. Merasakan telapak tangan Bang Pino yang mengusap rambutku saja sudah hampir membuatku menangis. Beruntung, dengan menggigit bibir bawah, aku bisa meredam keinginan untuk menumpahkan air mata saat ini juga.
"Udah packing?" tanya Bang Pino lagi setelah aku hanya diam menunduk selama beberapa menit.
"Hmm, udah. Tinggal angkut aja," jawabku sembari menekuri kedua telapak tangan yang saling bertaut.
"Oleh-oleh buat orang rumah udah dipacking juga?"
Aku mengangguk lagi. "Udah, Bang."
Padahal aku ini terpaksa pulang ke Jawa Timur. Kenapa pula ya, aku yang repot belanja oleh-oleh untuk keluargaku di sana. Andai saja aku tak terikat janji sialan yang aku buat dengan Pak Hilman, bapakku sendiri yang sangat otoriter itu. Pasti aku akan menerima tawaran Pak Hendra untuk memperpanjang masa kontrak kerja di Starindo.
"Kalau boneka yang kemarin?"
"Hmm, sudah. Sengaja gak aku masukin koper. Biar bisa aku bawa terus selama di perjalanan," jawabku lirih.
Boneka yang dimaksud Bang Pino adalah boneka beruang putih dengan baju berwarna merah muda yang lucu sekali, hadiah pemberiannya kemarin. Kata Bang Pino untuk kenang-kenangan agar aku selalu mengingat sosoknya. Padahal sebenarnya, tanpa boneka beruang itupun aku pasti selalu mengingat segala hal tentangnya.
"Udah siap banget ya?" Bang Pino menarik kedua sudut bibirnya tersenyum lagi.
Senyuman manis yang biasanya bisa membuatku tenang. Namun entah kenapa, kali ini senyumnya terasa ngilu sekali menyiksaku. Senyum yang sepertinya akan bertahan sangat lama dalam ingatanku.
"Raganya aja yang siap Bang, hatinya belum," jawabku sembari menarik senyum miring, kali ini mengamati kedua kakiku yang berayun pelan di bawah kursi yang kami duduki.
"Kenapa hatinya berat, Lisa?" tanya Bang Pino seraya menatapku lekat-lekat. Aah, aku suka sekali saat mendengar suaranya yang memanggil namaku. Lisa... dengan penekanan pada huruf S-nya.
"Ya karena Abang." Akuku jujur saat menatap sekilas ke arah Bang Pino. Sekilas saja, karena aku tak yakin hatiku bisa kuat berlama-lama menatap netranya. Bisa-bisa keputusanku goyah dan kemungkinan batal pulang kalau terperangkap dalam tatapan tajamnya.
Bang Pino menoleh dan tersenyum tipis paham dengan maksudku. Beberapa bulan dekat, sangat dekat malah. Dia pasti paham dengan apa yang sedang aku utarakan. Kalau aku, iya. Aku memang berat karena akan meninggalkan sosoknya yang sudah berhasil memerangkap hatiku. Entah lagi kalau buat pria itu yang bisa saja berkebalikan dengan perasaanku.
Dia pria dewasa, mungkin kedekatan dengan gadis belia seumuranku hanya dianggap angin lalu belaka. Bisa jadi perhatian Bang Pino selama ini hanya karena merasa iba karena aku merantau jauh dan terpisah jarak dengan keluarga kan? Atau bisa jadi karena sekedar ketertarikan sementara saja, karena memang tak ada status yang jelas untuk hubungan kami ini.
"Serius nih berat ninggalin Abang?" ulang Bang Pino meminta kepastian.
Aku hanya memberi satu anggukan kepala sebagai jawaban.
"Iya?" tanya Bang Pino lagi belum yakin.
"Iya," jawabku mantap.
"Kenapa berat?"
Aku menoleh dan memaku tatapan ke arah sepasang netranya. Apa binar sendu di mataku belum terbaca dengan jelas ya? Hingga pria ini tak bisa menebak perasanku padanya.
"Kamu sayang sama Abang?" tebaknya lagi setelah kami diselimuti hening beberapa menit.
"Hmm..." aku mengangguk pelan mengiyakan.
"Serius nih, sayang sama Abang?" ulangnya sampai ikut menunduk demi melihat raut wajahku yang sudah merah padam menahan tangis.
"Lisa?"
"Iya, aku sayang Abang." jawabku dengan air mata yang tiba-tiba saja sudah membanjiri wajah. Biarlah. Toh ini pertemuan terakhir kami. Di lain waktu, dia takkan melihat air mataku lagi.
Lagi-lagi kami saling diam. Terperangkap pikiran masing-masing. Aku dengan pikiran picikku yang ingin membatalkan kepulanganku esok hari. Entah lagi kalau pikiran Bang Pino, tentu saja aku tak bisa membacanya.
Hampir sepuluh menit berlalu, hanya terdengar tangisku yang semakin tergugu. Hingga aku merasakan telapak tangan Bang Pino yang mengusap lengan atasku dengan gerakan teramat pelan.
"Kalau sayang sama Abang jangan nangis-nangis gitu dong," pintanya dengan suara lirih.
Bukannya diam, aku malah semakin bergetar karena air mata. Memalukan memang. Entah bagaimana kacaunya wajahku saat itu, tapi aku setia menunduk. Enggan menengadahkan kepala membalas tatap teduh pria itu.
"Kalau nangis, berarti nggak sayang sama Abang." Kalimat Bang Pino yang satu ini sukses membuatku menghentikan tangis. Apalagi setelah jemari besar Bang Pino terangkat dan mengusap pelan wajahku yang basah karena jejak air mata.
/0/17285/coverorgin.jpg?v=7a2fc3cf92369df4a9b0b7383fc70285&imageMogr2/format/webp)
/0/15869/coverorgin.jpg?v=4970c80fe9089ab330223215b6dbed8c&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)
/0/3853/coverorgin.jpg?v=b9640e1bc4332274459607b536ffc0db&imageMogr2/format/webp)
/0/23705/coverorgin.jpg?v=6209c31bca2b5f0db9b5e010ebeac781&imageMogr2/format/webp)
/0/23738/coverorgin.jpg?v=2366e72dd37d100717edfa48049d1839&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)
/0/2853/coverorgin.jpg?v=fd51cd88155fa6cc34f6b48d0336aed3&imageMogr2/format/webp)
/0/20413/coverorgin.jpg?v=ec86fab74cc2046f1ea680264dba5204&imageMogr2/format/webp)
/0/3629/coverorgin.jpg?v=7b79e3e2cfce30a72d9676681fbc5809&imageMogr2/format/webp)
/0/13745/coverorgin.jpg?v=561446b6eee65e8cba6b86ec5d98b026&imageMogr2/format/webp)
/0/13674/coverorgin.jpg?v=1413c5ec5e3dfea933b86330255a89ee&imageMogr2/format/webp)
/0/13203/coverorgin.jpg?v=dce661cc3a9f7d83e9b09db4a9dfd537&imageMogr2/format/webp)
/0/3062/coverorgin.jpg?v=c1b66c6c3adae32b3b4caa61c3dfd6a5&imageMogr2/format/webp)
/0/2744/coverorgin.jpg?v=34dc371bad51a2740480c7a38a5d8518&imageMogr2/format/webp)
/0/5472/coverorgin.jpg?v=10b7f3df1d4895a07dbbd640a08d6b4d&imageMogr2/format/webp)
/0/3930/coverorgin.jpg?v=415bcb654e68171830aa7a9fe1ef86ff&imageMogr2/format/webp)