Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Tidak ada yang bersuara, yang terdengar hanyalah suara sendok dan garpu beradu dengan piring di atas sebuah meja makan bundar terbuat dari ukiran kayu jati.
"Mas, mau tambah nasinya?" Tanya seorang wanita berparas cantik berkulit putih dengan mata teduhnya.
"Tidak, aku sudah kenyang. Ini sudah cukup."
"Mama, mau tambah nasinya?" Tanyanya lagi pada wanita yang rambutnya sudah didominasi warna putih.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Aku mau kak," terdengar suara cempreng dari gadis imut yang duduk disebelahnya.
"Mana piringmu?"
"Jangan terlalu banyak nasinya kak," gadis imut tersebut memberikan piring kosongnya.
"Iya."
"Sudah kak, cukup! Jangan terlalu banyak!"
"Mau tambah apa lagi?"
"Telor ceplok."
"Pamela, jangan terlalu banyak sarapannya! Nanti di kelas kamu mengantuk. Bukannya belajar nanti malah tidur!" Tegur Mama.
"Ih, Mama ini cerewet sekali. Tidak mungkin aku tidur. Hari ini ada ulangan matematika, perutku harus terisi penuh biar bisa konsentrasi," jawab gadis imut tersebut.
"Dasar perut gentong! Alasan saja ada ulangan matematika, tiap hari juga sarapanmu banyak!" Ledek gadis muda yang wajahnya terlihat mirip dengan gadis imut tersebut.
"Sirik saja kak Irene!" Jawab Pamela mencibir.
"Cepat habiskan sarapannya kalau mau ikut denganku berangkat ke Sekolah."
"Mas Ronald, jangan buru-buru pergi. Aku belum selesai sarapannya," ucap Pamela.
"Makanya cepat habiskan sarapannya! Dasar perut gentong," ledek Irene sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.
"Hush! Irene jangan begitu, dia adikmu!" Tegur Mama kemudian melihat anak laki-lakinya. "Ronald, nanti siang Mama ada arisan."
"Arisan? Bukankah baru minggu kemarin Mama ada arisan?" Tanya wanita cantik.
"Adeline, jangan ikut campur urusan Mama! Kamu istrinya Ronald, tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur dengan urusan Mama," ucap Mama dengan kesal menatap tajam wajah menantunya.
Ronald memberikan kode dengan matanya melihat istrinya agar tidak bicara lagi.
"Iya Ma," jawab Adeline pelan menunduk begitu suaminya melihat padanya.
"Nanti Ronald transfer Mama untuk arisan," ucap Ronald.
"Ke rekening yang biasa," jawab Mama. "Kalau bisa kasih lebih, Mama ingin membeli peralatan make up."
"Iya Ma," jawab Ronald.
"Aku juga kak," ucap Irene. "Minta uang tambahan."
"Baru 3 hari yang lalu kakak transfer, masa sudah habis lagi?" Tanya Ronald.
"Habis dong kak! Uang yang kakak kasih tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus. Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela."
"Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan memakai mobil sendiri?" Tanya Pamela.
"Iya dong!"
Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok."
"Hati-hati ya kamu kalau bicara!" Bentak Irene.
"Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke diskotik. Seksi bener!"
Wajah Irene memerah dengan napas naik turun melihat tajam adiknya. "Kurang ajar ya kamu!"
"Apa? Kenapa? Aku tidak takut, memang begitu kenyataannya. Kakak ini paling boros dalam urusan uang, kak Ronald itu banting tulang cari uang buat kita setelah Papa meninggal, tapi kakak dengan seenaknya menghambur-hamburkan uang. Apa kakak tidak kasihan dengan kak Ronald!"
"Perusahaan itu juga punya Papa, jadi aku ada hak untuk minta uang!" Jawab Irene galak dengan wajah yang sudah emosi.