Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
ADELINE SHABIRA : Jeritan Hati Seorang Istri

ADELINE SHABIRA : Jeritan Hati Seorang Istri

lyns_marlyn

5.0
Komentar
538
Penayangan
100
Bab

Ketika cinta diabaikan, Ketika cinta tidak dihargai, Ketika cinta dikhianati, Semuanya akan hilang, ketika cinta tidak lagi bermain dengan perasaan. Semuanya akan lenyap, ketika cinta telah kalah oleh logika. Semuanya akan musnah, ketika cinta sudah habis kesabaran. "Aku membencimu! Aku sangat membencimu! Hati istri mana yang tidak tersakiti, jika suami yang telah bersumpah untuk menjaga istrinya di depan Tuhan, lebih mempercayai ucapan orang lain dibandingkan dengan ucapan istrinya sendiri!" "Lalu, aku harus bagaimana?!" Dengan amarah yang tak tertahan serta air mata menggenangi kelopak mata, Adeline menatap tajam wajah suaminya. "Hanya sebesar itukah, kamu percaya padaku?!" "Jangan membuatku berada diposisi yang sulit Adeline!" "Posisi yang sulit?!" Adeline tersenyum kecut. "Ok! Baik, baiklah. Aku akan mempermudah posisimu! Aku akan membebaskan dirimu, hidupmu dan keluargamu! Bayangan dirimu sekalipun, akan aku bebaskan!" "Adeline Shabira! Apa maksudmu?!" Penyesalan selalu datang terlambat, setelah badai besar yang terjadi dalam ikatan pernikahan mereka. Kebenaran mulai muncul satu per satu, tapi semuanya sudah terlambat. Cinta dan kepercayaan telah menguap bersama angin. Hati yang telah mengeras, akankah bisa mencair kembali? Hati yang telah terluka, akankah bisa memaafkan kembali? Hati yang telah kosong, akankah bisa terisi kembali? Note : Bijaklah dalam membaca 18+ Karya ini murni dari hasil imajinasi author sendiri tanpa ada maksud untuk menyinggung unsur manapun atau pihak manapun.

Bab 1 KELUARGA

Tidak ada yang bersuara, yang terdengar hanyalah suara sendok dan garpu beradu dengan piring di atas sebuah meja makan bundar terbuat dari ukiran kayu jati.

"Mas, mau tambah nasinya?" Tanya seorang wanita berparas cantik berkulit putih dengan mata teduhnya.

"Tidak, aku sudah kenyang. Ini sudah cukup."

"Mama, mau tambah nasinya?" Tanyanya lagi pada wanita yang rambutnya sudah didominasi warna putih.

"Tidak," jawabnya singkat.

"Aku mau kak," terdengar suara cempreng dari gadis imut yang duduk disebelahnya.

"Mana piringmu?"

"Jangan terlalu banyak nasinya kak," gadis imut tersebut memberikan piring kosongnya.

"Iya."

"Sudah kak, cukup! Jangan terlalu banyak!"

"Mau tambah apa lagi?"

"Telor ceplok."

"Pamela, jangan terlalu banyak sarapannya! Nanti di kelas kamu mengantuk. Bukannya belajar nanti malah tidur!" Tegur Mama.

"Ih, Mama ini cerewet sekali. Tidak mungkin aku tidur. Hari ini ada ulangan matematika, perutku harus terisi penuh biar bisa konsentrasi," jawab gadis imut tersebut.

"Dasar perut gentong! Alasan saja ada ulangan matematika, tiap hari juga sarapanmu banyak!" Ledek gadis muda yang wajahnya terlihat mirip dengan gadis imut tersebut.

"Sirik saja kak Irene!" Jawab Pamela mencibir.

"Cepat habiskan sarapannya kalau mau ikut denganku berangkat ke Sekolah."

"Mas Ronald, jangan buru-buru pergi. Aku belum selesai sarapannya," ucap Pamela.

"Makanya cepat habiskan sarapannya! Dasar perut gentong," ledek Irene sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.

"Hush! Irene jangan begitu, dia adikmu!" Tegur Mama kemudian melihat anak laki-lakinya. "Ronald, nanti siang Mama ada arisan."

"Arisan? Bukankah baru minggu kemarin Mama ada arisan?" Tanya wanita cantik.

"Adeline, jangan ikut campur urusan Mama! Kamu istrinya Ronald, tapi bukan berarti kamu bisa ikut campur dengan urusan Mama," ucap Mama dengan kesal menatap tajam wajah menantunya.

Ronald memberikan kode dengan matanya melihat istrinya agar tidak bicara lagi.

"Iya Ma," jawab Adeline pelan menunduk begitu suaminya melihat padanya.

"Nanti Ronald transfer Mama untuk arisan," ucap Ronald.

"Ke rekening yang biasa," jawab Mama. "Kalau bisa kasih lebih, Mama ingin membeli peralatan make up."

"Iya Ma," jawab Ronald.

"Aku juga kak," ucap Irene. "Minta uang tambahan."

"Baru 3 hari yang lalu kakak transfer, masa sudah habis lagi?" Tanya Ronald.

"Habis dong kak! Uang yang kakak kasih tidak ada artinya dibandingkan dengan uang jajan teman-temanku di kampus. Mereka bahkan memakai mobil sendiri pergi ke kampus, sementara aku harus bergantian dengan Pamela."

"Jadi maksudmu ingin pergi kuliah dengan memakai mobil sendiri?" Tanya Pamela.

"Iya dong!"

Pamela mencibir. "Dasar otak sombong. Masih untung dikasih uang jajan sama kak Ronald, kuliah juga kamu tidak ada prestasinya. Datang ke kampus cuma buat ngecengin cowok-cowok."

"Hati-hati ya kamu kalau bicara!" Bentak Irene.

"Memang kenyataanya begitu! Lihat saja penampilanmu sekarang," tunjuk Pamela pada baju Irene. "Ke kampus seperti mau pergi ke diskotik. Seksi bener!"

Wajah Irene memerah dengan napas naik turun melihat tajam adiknya. "Kurang ajar ya kamu!"

"Apa? Kenapa? Aku tidak takut, memang begitu kenyataannya. Kakak ini paling boros dalam urusan uang, kak Ronald itu banting tulang cari uang buat kita setelah Papa meninggal, tapi kakak dengan seenaknya menghambur-hamburkan uang. Apa kakak tidak kasihan dengan kak Ronald!"

"Perusahaan itu juga punya Papa, jadi aku ada hak untuk minta uang!" Jawab Irene galak dengan wajah yang sudah emosi.

"Irene! Pamela! Tutup mulut kalian!" Teriak Mama galak menatap tajam wajah kedua putrinya bergantian. "Apa yang kalian ributkan?"

Irene menatap Pamela dengan marah, begitu juga sebaliknya, Pamela menatap Irene dengan tidak kalah galak.

"Dia yang mulai Ma!"

"Kakak yang mulai!" Jawab Pamela.

Adeline hanya bisa menarik napas melihat kedua adik iparnya yang saling beradu mulut. Jika dirinya ikut campur dan melerai mereka berdua maka sudah bisa dipastikan, dirinya yang nanti akan menjadi pelampiasan kemarahan Irene, karena dibandingkan Pamela, sikap Irene lebih kasar memperlakukan dirinya dibandingkan dengan Pamela yang masih ada sisi baiknya.

"Ada apa dengan kalian ini? Kenapa selalu ribut kalau sedang berkumpul? Kamu juga Irene, tidak bisa apa mengalah sedikit pada adikmu?" Bentak Mama.

Pamela mencibir melihat kakaknya, merasa di atas angin karena Mama membelanya.

"Dan kamu juga Pamela, bicara yang sopan pada kakakmu. Biar bagaimanapun dia adalah kakakmu yang harus kamu hormati."

Giliran Irene yang meledek Pamela dengan menjulurkan lidahnya. "Rasain gentong!"

Ronald hanya bisa menghela napas melihat kedua adiknya yang tidak pernah bisa akur kalau bertemu.

"Kalian ini sudah besar, kenapa seperti anak kecil? Selalu saja bertengkar," ucap Mama kesal. "Apa harus salah satu dari kalian Mama masukin ke asrama?"

"Tidak! Aku tidak mau!" Jawab Irene dengan cepat. "Pamela saja yang masuk asrama."

"Eh, sembarangan! Aku juga tidak mau, kakak saja yang masuk asrama biar ada sedikit pengiritan di rumah ini," jawab Pamela.

Irene hendak menjawab sudah membuka bibirnya, tapi Mama dengan cepat memotong.

"Sudah! Hentikan! Mama masukin kalian berdua ke asrama kalau kalian tidak berhenti!" Teriak Mama kencang.

Adeline yang dari tadi hanya diam, hampir saja meloncat kaget begitu mendengar Mama mertuanya berteriak. Tangannya langsung mengelus dadanya. "Ya Tuhan, aku sampai kaget," ucapnya dalam hati.

Ronald melihat jam tangannya. "Ini sudah siang, aku harus segera berangkat ke kantor. Pagi ini ada meeting penting."

"Ronald, jangan lupa arisan Mama," ucap Mama mengingatkan putranya.

"Iya Ma, tenang saja. Nanti aku akan minta sekretarisku untuk transfer ke rekening Mama."

"Ok, thank you."

"Lalu aku?" Tanya Irene.

"Uang sakumu baru 3 hari yang lalu aku transfer. Tunggu 1 minggu lagi, baru ditransfer," jawab Ronald.

"Tidak bisa begitu kak! 1 minggu itu sangat lama," rengek Irene. "Bagaimana aku bilang pada teman-temanku nanti kalau mereka mengajak aku jalan ke Mall."

"Jalan saja kalau mau ke Mall. Begitu saja repot," jawab Pamela bangun dari duduknya.

"Berisik!"

Pamela mencibir melihat Irene.

"Mas, mau berangkat sekarang?" Tanya Adeline melihat Ronald.

"Iya, ini sudah siang."

Adeline bangun dari duduknya, sudah kebiasaan rutin setiap hari jika suaminya berangkat ke kantor, dirinya akan membawakan tas kerja dan mengantarnya sampai suaminya masuk ke dalam mobil.

"Aku ikut dengan kak Ronald," ucap Pamela.

"Bagus! Aku jadi bebas sendirian di dalam mobil. Tidak satu udara dengan bocah sok tahu," ucap Irene pergi begitu saja melewati kakaknya Ronald yang telah membuatnya kesal karena tidak dikasih uang.

"Irene!" Panggil Mama begitu melihat pakaian yang dipakai anak gadisnya begitu ketat dengan rok mini yang pendek sekali. "Irene!"

"Ada apa?" Tanya Irene menghentikan langkahnya.

"Kamu mau ke kampus, tapi kenapa pakaianmu seperti itu? Cepat ganti!"

"Apa yang salah dengan pakaianku?" Jawab Irene.

"Itu roknya pendek sekali!" Tunjuk Mama geram.

"Ini tidak pendek Ma, biasa saja," jawab Irene melihat roknya sendiri.

"Cepat ganti!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh lyns_marlyn

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku