Pertemuan singkat dengan pria blasteran berwajah rupawan Gideon Bastian telah membuat hari-hari Arlyna Aira tidak tenang. Apalagi ketika mengetahui pria yang selalu ada dalam pikirannya bukanlah orang biasa. "Menyerah? Kamu menyerah?! Hanya karena keadaan, kamu menyerah? Sebesar itukah cintamu padaku?!" Gideon Bastian, pewaris tunggal dari keluarga terpandang mencintai Arlyna dari sejak pertama bertemu, tapi cerita rumit mewarnai setiap langkah dalam kisah kasih cinta yang mereka lalui. Akankah, Arlyna Aira dan Gideon Bastian bisa bertahan dengan cinta mereka? Ikuti yuuuks ,,, kisahnya bersama author. Cerita ini murni dari hasil imajinasi author sendiri untuk seseorang yang sangat spesial dalam hidup author sebagai kado istimewa di hari teristimewa nya ,,,, March01 ~ TianArlyn.
"Aww, aww, aaa ,,,."
Jerit tertahan terlontar dari gadis berponi bibir lipstik nude ketika kaki mungil terbalut sneakers putih hampir saja terpeleset jatuh menginjak tanah becek sisa genangan air hujan.
"Are you okay?!"
SEERRR!
Aliran darah seakan berdesir begitu cepat ketika mata yang dihiasi bulu-bulu lentik bertabrakan dengan iris mata hitam legam dengan jarak hanya beberapa senti saja.
Detik berikutnya, gadis tersebut baru menyadari tubuh mungilnya sedang melayang di udara dipegang tangan besar melingkari pinggang rampingnya.
"Be careful."
Gadis berponi tersebut cepat-cepat mengatur posisi berdirinya. "Thank you," ucapnya gugup, semburat merah merona langsung menghiasi wajahnya.
"You are welcome."
Setelah hari itu, tidak pernah ada pertemuan kedua, ketiga apalagi keempat dan seterusnya. Tapi bagi gadis berusia 24 tahun tersebut, itu adalah hari yang tak pernah bisa dilupakan seumur hidupnya.
"Loe melamun lagi, Arlyna?!"
Suara cempreng membuyarkan lamunan Arlyna ketika teringat kembali dengan pria berwajah blasteran yang telah menolongnya.
"Yaelah, ck ck ck. Sampai kapan loe akan terobsesi dengan itu orang?!"
"Berisik loe, Bia!" sungut Arlyna.
Sejenak Bia terdiam seakan sedang memikirkan sesuatu, tak lama kemudian berteriak kegirangan. "OMG!"
"Astaga!" Arlyna mengelus dada, kaget dengan teriakan Bia. "Loe kebiasaan selalu berteriak depan telinga gue! Lama-lama gue bisa mati sebelum waktunya!"
"Yey! Mana ada mati sebelum waktunya. Mati ya mati aja! Drama banget."
"He-he-he," Arlyna terkekeh, didorongnya kepala Bia pelan. "Pinter juga loe!"
"Arlyna, gue punya ide untuk mencari pangeran loe yang misterius itu!" Bia antusias. "Dengerin ya ,,,,"
Belum selesai Bia bicara, Arlyna langsung memotong, "Males gue dengan ide-ide loe! Hasilnya selalu zonk, ogah gue!"
"Yah elu. Ngomong juga belum, udah males!" sungut Bia diakhiri dengan cemberut.
Tak berselang lama datang salah satu teman Arlyna yang terkenal cukup tomboy. Langsung duduk di sebelah Bia.
"Kenapa loe? Datang-datang bawa muka masam. Kasih salam kek pada kita berdua. Sudah datangnya telat, bawa muka begitu lagi. Bikin sepet mata gue!" cerocos Bia.
"Iya, kenapa Jeng Vio?! Apa ada yang mengganggu loe di jalan?!" tanya Arlyna.
"Mana ada yang berani ganggu si Vio. Lihat tangannya ini," Bia yang duduk di sebelah Vio mengangkat tangannya Vio. "Tangan kayak barbel begini mana ada yang berani, orang sudah kabur duluan lihatnya! Ha-ha-ha!"
"Apa sih loe!" Vio menarik tangannya dengan kasar. "Tidak lucu!"
Arlyna dan Bia saling melempar pandang, heran dengan sikap temannya yang tidak biasa, padahal kalau diacak becanda apapun tidak pernah marah. Suasanapun mendadak jadi canggung dan hening.
Ya, mereka bertiga selalu rutin menyempatkan waktu untuk bertemu ditengah kesibukan masing-masing di sebuah cafe yang telah menjadi tempat favorit mereka.
Arlyna merupakan seorang fashion designer yang bekerja di butik cukup terkemuka di kota tempat tinggalnya. Bia, seorang sarjana ekonomi yang bekerja di perbankan sementara Vio seorang instruktur senam dan punya beberapa tempat gym.
"Sebentar lagi jam makan siang habis. Gue harus kembali bekerja," ucap Bia setelah melihat jam yang melingkar di tangan.
Arlyn juga melakukan hal yang sama. "Gue juga harus kembali ke butik. Banyak pesanan baju akhir-akhir ini dari para nyonya sosialita."
"Lah terus gue bagaimana?!" tanya Vio.
"Bagaimana apanya?!" tanya Bia dan Vio berbarengan.
"Gue datang, kalian pada pulang!" protes Vio ketus.
"Salah sendiri! Loe daritadi diam membisu," jawab Arlyn. "Gue cabut dulu. Bye. Sampai ketemu lagi."
"Yaelah! Gue lagi bingung, kalian malah pergi. Tidak ada empati sama sekali!" keluh Vio.
Bia yang belum beranjak dari tempat duduknya melihat Vio. "Loe kagak ngomong dari tadi. Bijimane kita bisa tahu!"
Vio menghela napas. "Ya sudahlah. Nanti saja gue cerita."
Bia kembali melihat jam tangannya. "Gue sudah telat nih. Cabut dulu ya!"
Sementara itu, Arlyna sedang berusaha mencari taksi di jalan depan cafe.
"Ya ampun! Pada ke mana ini taksi?!" gerutu Arlyna menutup kepala dengan majalah dari teriknya matahari.
Satu menit, dua menit berdiri tepi jalan akhirnya taksi terlihat tapi taksi berada di seberang jalan.
"Kok taksinya lewat jalan itu?!" gumam Arjuna heran karena taksi tidak seperti biasanya melewati jalan di depan.
"Mbak!" suara wanita menyapa Arlyna.
"Iya," jawab Arlyna melihat wanita dengan rambut sudah di dominasi warna putih.
"Sedang menunggu taksi mbak?!" tanyanya lagi ramah.
Arlyna mengangguk. "Iya."
"Taksi tidak lewat jalan ini mbak, di depan sana!" tunjuknya ke arah kanan Arlyna berdiri. "sedang ada galian kabel jadi arahnya dialihkan."
"Oh, pantas dari tadi tidak ada taksi lewat," gerutu Arlyna.
Setelah mendapat informasi tersebut, Arlyna akhirnya memutuskan menyeberang. Dilihatnya kiri kanan untuk mencari tempat penyeberangan, tapi tidak ada.
"Ya sudah, menyeberang dari sini saja," ucapnya sendiri.
Suara klakson mobil yang saling bersahutan sedikit membuat nyali Arlyna ciut ketika akan menyeberang. Apalagi dengan kendaraan beroda dua yang saling mendahului.
Dilihatnya jam yang melingkar di tangan, waktu sudah menunjukan lewat dari waktu istirahat jam makan siangnya.
"Gue harus buru-buru ke butik, Nyonya Ratih bisa ngamuk kalau tahu gue telat masuk," gumamnya sendiri.
Satu langkah, dua langkah, kaki dengan pantofel hitam mulai menjajaki jalan beraspal untuk menyeberang.
TIIDH!
Suara klakson mobil berhasil membuat jantungnya hampir lepas ketika lewat depan matanya.
"Sialan!" umpat Arlyna berhenti sejenak.
TIIIIDH!
Suara klakson mobil terdengar panjang dari samping kiri tubuh Arlyna.
SEERR!
Aliran darah di seluruh urat dalam tubuh Arlyna seakan mengalir begitu cepat disertai hangat yang menjalar.
Wajah itu, wajah yang telah mengganggu hari-harinya hanya karena pertemuan pertama yang tidak bisa dilupakan sekarang berada tepat di depan matanya.
Arlyna terpana, di dalam mobil sport merah, pria blasteran yang selalu dicarinya sedang duduk dibelakang setir. Pria blasteran yang telah menolongnya saat dirinya akan jatuh ke genangan air hujan.
TIIIDH!
Klakson panjang kembali terdengar menyadarkan Arlyna dari keterpakuannya.
"Minggir!"
Suara teguran dari kendaraan lain membuat Arlyna harus segera melanjutkan langkah kakinya untuk menyeberang jalan.
"Dia ,,, dia ,,, pria itu. Apa gue tak salah melihat?!" Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Arlyna setelah berdiri di atas trotoar memandang mobil sport merah yang semakin lama semakin menghilang di antara kendaraan yang lain.
....
Sementara itu, pria yang selalu bermain dibenak Arlyna melajukan mobil sport merahnya membelah jalan raya.
"Tuan muda, hati-hati bawa mobilnya. Jangan ngebut-ngebut! Mamang takut nabrak orang," tegur sopir pribadinya duduk di samping.
"Tenang saja Mang. Gideon Bastian selalu berhati-hati. He-he-he." Selesai bicara, kecepatan mobil malah ditambah. "Mamang ini kan seorang sopir, masa takut diajak ngebut!"
"Ya beda dong tuan muda," seru Mamang ketakutan memegang seatbelt yang melingkar di tubuh. "Tuan muda hobinya balapan sedangkan mamang hanya sopir biasa, sopir papinya tuan."
Gideon malah terkekeh melihat sopirnya ketakutan. "Pegangan Mang, kita akan terbang!" serunya becanda.
"Jangan, tuan! Jangan! Mobilnya tidak bisa terbang. Mobil ini tidak punya sayap!" wajah pucat langsung menghiasi mamang.
Gideon semakin terbahak, tapi tetap fokus menyetir. "Ha-ha-ha. Memang yang ada sayapnya itu apa mang?!"
"Yang punya sayap mah burung, tuan!" Mamang tetap menjawab walau ketakutan sedang melanda. "Burung bisa terbang."
Kepolosan sopir pribadinya malah menggelitik Gideon untuk becanda. "Tapi ada juga mang, burung yang tidak bisa terbang. Tidak punya sayap, tapi dinamakan burung. Tahu enggak mang, apa nama burung itu?!"
Bab 1 PERTEMUAN BERKESAN MENDALAM
12/06/2024
Bab 2 BUKAN BOCAH LAGI
12/06/2024
Bab 3 INSIDEN MEMBAWA BERKAH
12/06/2024
Bab 4 UNDANGAN ULANG TAHUN
12/06/2024
Bab 5 MENATAPNYA MEMBUAT JANTUNG BERDETAK CEPAT
12/06/2024
Bab 6 DIKEJAR BUAYA DARAT
12/06/2024
Bab 7 SERABI ONCOM
12/06/2024
Bab 8 BAPAK DAN ANAK SELERANYA SAMA
12/06/2024
Bab 9 NIAT TERSELUBUNG
12/06/2024
Bab 10 MAKAN SIANG AWAL PENDEKATAN
12/06/2024
Bab 11 MAKAN SIANG PENUH WARNA
15/06/2024
Bab 12 TERSULUT EMOSI
15/06/2024
Bab 13 APA ARTI CINTA !
15/06/2024
Bab 14 TIDAK MAU ADA PENOLAKKAN
15/06/2024
Bab 15 ANTUSIAS YANG TAK DIRESPON
15/06/2024
Bab 16 PELANGGAN BANYAK MAUNYA
18/06/2024
Bab 17 MAKAN SIANG SEBAGAI HUKUMAN
23/06/2024
Bab 18 SOPIR PRIBADI SEMENTARA
23/06/2024
Bab 19 KETIDURAN DI DALAM MOBIL
23/06/2024
Bab 20 RAHASIA
26/06/2024
Bab 21 PENGIRIM BUNGA MISTERIUS
02/07/2024
Bab 22 AJAKAN KE PESTA ULANG TAHUN
11/07/2024
Bab 23 GANGGUAN BIKIN GERAM
19/07/2024
Bab 24 SESIBUK ITUKAH KAMU !
12/09/2024
Bab 25 BIDADARI
25/09/2024
Bab 26 SAMBUTAN YANG TIDAK MENYENANGKAN
27/09/2024
Buku lain oleh lyns_marlyn
Selebihnya