Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Transaksi Hati
5.0
Komentar
127
Penayangan
5
Bab

Zivanya Maheswari butuh uang untuk biaya pengobatan sang ibu. Arga Bagaskara Aditama butuh istri agar bisa mempertahankan jabatannya sebagai seorang CEO. Demi kepentingan masing-masing, atasan dan bawahan itu sepakat menikah kontrak. Lantas bagaimana pernikahan mereka yang hanya berdasarkan kontrak itu? Bisakah mereka untuk tidak jatuh hati kala rasa nyaman itu ada?

Bab 1 Tawaran Menikah

"Kak, penyakit jantung Ibu semakin parah. Kata dokter, Ibu harus segera dioperasi secepatnya. Jika tidak, Ibu akan meninggal. Sedangkan biaya operasinya seratus juta. Apa Kakak ada uang sebanyak itu?"

Zivanya Maheswari atau yang kerap disapa Ziva menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Dia sama sekali tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya kala teringat telepon dari Rendi – sang adik di kota provinsi mereka dua hari yang lalu.

Adik kedua yang baru kelas tiga SMA itu mengabarkan jika kondisi sang ibu semakin buruk. Harus segera dioperasi secepatnya. Sedangkan biaya operasinya tidaklah murah. Seratus juta. Ke mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Sedangkan gajinya sebagai staf biasa di divisi humas perusahaan besar di ibu kota tidak terlalu besar. Butuh waktu dua tahun dia baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Itu pun kalau tidak dipotong biaya hidupnya di Ibu Kota. Biaya sewa rumah di kampung halaman, biaya dua adiknya yang masih sekolah, dan biaya pengobatan sang Ibu yang beberapa tahun ini sakit-sakitan. Sedangkan sang ayah sudah meninggal enam tahun yang lalu.

Sebagai sulung dari tiga bersaudara, Ziva tentu saja harus menjadi tulang punggung keluarga. Hanya dia yang bisa diandalkan.

Namun, sekarang kepala Ziva benar-benar buntu. Dia tidak tahu ke mana mencari uang seratus juta dalam waktu singkat? Pihak bank tidak mau meminjamkannya uang sebanyak itu karena dia tidak mempunyai jaminan. Gajinya yang hanya staf biasa tidak memenuhi syarat. Begitu pun dengan pihak personalia di tempatnya bekerja. Mereka hanya bisa meminjamkan seperempatnya saja. Lantas ke mana dia harus mencari sisanya? Menjual ginjal?

"Zivanya Maheswari!"

Ziva terkesiap ketika Maya – Manajer divisi humas berseru. Membuyarkan aksi melankolis perempuan itu.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Kamu disuruh Ibu Narti ke ruangan Pak Arga. Beliau meminta laporan rapat kamu dengan klien kemarin."

Ziva mengangguk.

Tidak ingin membuang waktu lagi, perempuan berusia dua puluh lima tahun itu langsung pergi ke lantai paling atas, tempat di mana CEO mereka berada sambil membawa hasil rapatnya dengan klien kemarin.

"Permisi, Pak Mario," ujar Ziva setiba di depan meja sekretaris atasannya.

"Iya, Mbak Ziva. Ada yang bisa saya bantu?" Mario sigap berdiri. Ziva yang kerap menjadi perwakilan divisi humas tentu sudah tidak asing lagi bagi pria itu.

"Saya ingin memberikan laporan yang Pak Arga minta. Apa beliau ada?"

"Tentu saja. Tunggu sebentar. Saya hubungi beliau dulu." Mario segera meraih ganggang telepon di mejanya.

***

Arga Bagaskara Aditama atau yang kerap di sapa Arga menyandarkan tubuh tegapnya di kursi kebesarannya. Dia memijat pelipisnya yang terasa berat. Pekerjaannya sebagai CEO sudah menumpuk, belum lagi desakan dari sang ayah yang memintanya agar segera menambah beban pikirannya. Jika, dia tidak segera menikah dalam waktu sebulan maka jabatannya sebagai CEO akan di langserkan.

Tentu saja, Arga tidak terima jika jabatannya harus di lengserkan. Dia sudah berusaha keras mengembangkan perusahaan sang kakek selama tujuh tahun menjabat sebagai CEO. Hingga perusahaan mereka menjadi salah satu perusahaan berbagai usaha dengan penghasilan terbesar di negara mereka.

Namun, ancaman sang papa tidak terdengar main-main. Pria paruh itu sangat serius dengan ancamannya. Lantas apa yang harus dia lakukan? Sedangkan menikah tidak pernah menjadi daftar kamus hidup lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu. Pernah patah hati membuatnya tidak percaya lagi akan cinta dan perempuan.

Apa sebaiknya dia nikah kontrak saja? Seperti di film-film. Yang jadi pertanyaannya. Apa ada wanita yang mau diajak nikah kontrak?

Kring, kring, kring.

Arga terserentak ketika intercom membuyarkan lamunannya. Dengan malas dia menjawab panggilan dari sekretarisnya itu, "Ada apa, Yo?"

"Ada perwakilan dari Divisi Humas ingin bertemu dengan Anda, Pak? Beliau ingin memberikan laporan yang Anda minta," ujar Mario di seberang telepon.

Mengelas napas panjang, Arga berujar dingin, "Suruh masuk!"

"Baik, Pak." Di seberang ganggang telepon Mario menjawab.

Arga segera membenarkan posisi tubuhnya menjadi tegap setelah panggilan dari Mario terputus. Pura-pura sibuk. Sebagai seorang Pimpinan tentu saja dia harus terlihat wibawa di mata karyawannya.

Tok, tok, tok.

Tidak lama kemudian pintu ruangan Arga diketok. Dengan suara berat miliknya pria itu berseru, "Masuk!"

"Permisi, Pak," ujar Ziva yang menyembul di balik pintu. Dia membungkuk rendah, memberi hormat kepada atasannya itu.

Arga yang pura-pura sibuk mengerjakan beberapa berkas, menghentikan aktivitasnya sejenak. Mengangkat wajah.

Beberapa detik tatapan mereka bertemu.

Walau sudah sering bertemu dengan atasannya itu, Ziva tidak pernah bosan mengagumi ketampanan Arga. Wajahnya terpahat begitu sempurna. Alis tebal, hidung mancung, mata tajam, serta rahang kokoh yang di tumbuhi bulu-bulu halus menambah kesan maskulinnya. Tidak heran jika semua karyawati perusahaan mendambakan pria itu. Berdoa bisa menjadi pasangannya.

Namun, tidak bagi dirinya. Ziva cukup sadar diri siapa dirinya untuk tidak berkhayal tinggi kepada orang seperti Arga. Orang seperti Arga mana mungkin tertarik kepada gadis miskin seperti dirinya. Type perempuan pria itu pastilah harus selevel dengannya. Sedangkan dia kaya tidak, wajah pas-pasan.

"Ini, Pak. Saya dari divisi humas ingin mengantarkan laporan hasil rapat saya dengan klien kemarin yang Anda minta," ucap Ziva setelah tersadar dari keterpakuannya. Meletakan berkas yang dia bawa di meja kerja Arga.

Tanpa sepatah kata, Arga membuka laporan yang di bawa Ziva. Memeriksa laporan itu tanpa ekspresi, membaca dengan cermat setiap kata dan angka di sana.

Ziva dengan lugas menjelaskan hasil rapatnya dengan klien kemarin. Tidak ada kegugupan dari nada bicaranya. Gadis itu terlihat begitu tenang. Membuat Arga selalu takjub dengan kepercayaan diri gadis itu. Tidak salah jika Narti sering menunjuk Ziva dalam rapat besar, atau bertemu dengan klien penting. Kosakatanya terlihat meyakinkan.

Setelah merasa begitu jelas dengan penjelasan Ziva, Arga menutup berkas. Tidak banyak berkomentar, itu menandakan pria itu cukup puas dengan hasil rapatnya kemarin.

"Baiklah, sekarang kamu boleh keluar."

Ziva menghembus pelan ketika sang CEO menyuruhnya keluar tanpa banyak komentar. Bohong jika selama ia menjelaskan tadi tidak gugup. Berhadapan dengan CEO yang terkenal berhati dingin tentu saja dia waspada. Namun, sebisa mungkin dia mengontrol nada bicaranya setenang mungkin.

"Kalau begitu saya permisi, Pak Arga." Ziva membungkuk rendah, undur diri.

Arga mengangguk, tanpa menghiraukan sosok Ziva lagi, dia kembali bekerja.

Langkah Ziva yang sudah hendak menggapai ganggang pintu terhenti ketika teringat masalah yang membelitnya. Bagaimana jika dia meminjam uang kepada atasannya itu secara langsung? Arga cukup mengenal dirinya. Reputasinya tiga tahun selama bekerja di perusahaan pria itu cukup bagus. Siapa tahu atasannya itu mau meminjamkannya uang? Tidak ada salahnya mencoba, bukan?"

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang hendak kamu jelaskan lagi?" tanya Arga ketika Ziva kembali melangkah ke arah mejanya.

Ziva mengatur napas sebelum berucap, "Begini, Pak Arga. Apa saya boleh minta tolong kepada Anda?"

"Minta tolong?" Alis Arga menukik tajam. Baru kali ini ada karyawan biasa berani minta tolong kepadanya.

Ziva mengangguk, "Saya ingin minta tolong kepada, Pak Arga. Apa saya bisa meminjam uang kepada Anda? Ibu saya sedang sakit keras. Beliau harus segera dioperasi, tapi saya tidak punya uang, Pak. Biaya operasinya cukup mahal. Saya sudah meminjam uang di bank, Pak. Namun, pihak bank tidak meminjamkan saya karena tidak memiliki jaminan. Gaji saya hanya staf biasa tidak memenuhi syarat dengan jumlah yang saya pinjam. Begitu pun dengan pihak personalia. Mereka hanya bisa meminjamkan uang seperempatnya," jelas Ziva.

"Memang berapa uang yang kamu pinjam hingga pihak bank dan pihak personalia tidak meminjamkan kamu uang?"

"Dua ratus juta, Pak." Ziva menjawab lirih.

"Apa? Dua ratus juta?" Alis Arga kembali menukik tajam. Jumlah uang yang gadis itu pinjam tidaklah sedikit. Gaji perempuan itu sebagai staf biasa dan tidak memiliki jaminan tentu saja tidak memenuhi syarat jika meminjam uang di bank.

"Saya mohon, Pak Arga. Tolong saya! Pinjamkan saya uang, Pak. Ibu saya benar-benar harus cepat dioperasi jika tidak nyawa...." Napas Ziva tercekat. Dia tidak bisa melanjutkan kata berikutnya. Dia tidak bisa membayangkan jika benar kata itu terjadi. Hanya sang ibu orang tua yang dia dan kedua adiknya miliki saat ini. Dia dan dua adiknya tentu belum siap jika harus kehilangan lagi.

Arga menggeleng "Jumlah yang kamu pinjam terlalu besar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari. Bagaimana jika kamu kabur melarikan uang saya?"

"Saya tidak akan kabur, Pak. Saya janji. Saya akan melunasinya." Ziva memohon dengan wajah memelas.

Arga menggeleng lagi, lebih tegas. "Maaf saya tidak bisa meminjamkan uang dengan jumlah sebanyak itu. Kamu cari pinjaman di tempat lain saja. Sekarang kamu boleh keluar."

Ziva mengembus napas kecewa karena percobaannya gagal. Dia lekas membalik badan. Dengan langkah gontai dia meninggalkan ruangan Arga. Sepertinya menjual ginjal memang harus menjadi opsinya. Mungkin akhir pekan nanti harus ke rumah sakit. Menjadi pendonor yang membutuhkan.

"Tunggu sebentar!" Arga berseru menghentikan langkah Ziva yang sudah hendak menggapai ganggang pintu kala dia teringat masalah yang sedang membelitnya.

Ziva membalik badan, menatap Arga dengan pandangan putus asa.

"Baiklah, saya akan memberikan kamu uang yang kamu inginkan," timpal Arga kemudian.

"Pak Arga ingin meminjamkan saya uang? Sungguh?" Cahaya yang tadi redup di mata Ziva kembali berbinar. Dia seperti mendapat secercah harapan.

Arga menggeleng, "Bukan meminjamkan tapi memberikan."

"Memberikan?" Alis Ziva berkerut dalam, tidak mengerti maksud Arga. Pria itu ingin memberikannya uang? Dia tidak salah dengar, kan?

Arga mengangguk, "Iya, saya akan memberikan kamu uang. Tapi, ada syaratnya."

"Syarat?"

Arga mengangguk lagi, "Iya. Menikahlah denganku. Maka aku akan memberikan kamu uang."

"Apa? Menikah dengan Pak Arga?" Mata indah Ziva membola mendengar syarat yang diajukan oleh Arga. Menikah dengan pria itu. Apa sekarang dia sedang bermimpi? Atasannya yang dikagumi oleh banyak wanita di muka bumi ini mengajaknya menikah?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku