Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kepingan Hati
5.0
Komentar
21
Penayangan
40
Bab

Setiap manusia pasti merasakan jatuh cinta. Terlihat sangat indah dan menarik. Namun, di balik keindahan tersebut, seorang lelaki bernama Rafa Dwindra Athaya yang mencintai gurunya sendiri. Perempuan tersebut bernama Khafa Aseanda Zayn yang selalu menolak perasaan Rafa karena jarak umur sekaligus status di antara keduanya. Cinta merupakan anugerah yang hadir bagi setiap insan manusia. Cinta tidak pernah salah. Kita memang bisa merencanakan jatuh cinta dengan siapa, tapi kita tidak punya kuasa penuh untuk menahan rasa cinta berlabuh kepada siapa. Sama halnya, dengan Rafa yang tak kuasa menahan rasa cintanya kepada gurunya sendiri. "Rafa, perasaan cinta memang tidak lah salah. Namun, saya juga paham di usia mu sekarang, rasa cinta itu hanyalah sesaat. Jadi, saya mohon berhentilah." "Sekeras apapun, Ibu menyuruh saya berhenti. Jika para malaikat mengaminkan kita untuk berjodoh, maka Ibu tidak bisa mengelak." Rafa bersikeras jika jodohnya memang Khafa. Sehingga, takdir yang tidak diduga oleh keduanya membuat Rafa dan Khafa terikat dalam pernikahan. Khafa yang belum bisa menerima Rafa menjadi suaminya membuat Rafa berusaha sekeras mungkin untuk menaklukkan pujaan hatinya. "Menyukaimu itu pilihan. Namun, hidup bersama denganmu itu tujuan."

Bab 1 Flashback

Pesta pernikahan antara Khafa Aseanda Zayn dan Fathan Shaquille akan diselenggarakan di kediaman mempelai perempuan. Rumah Khafa telah dihias dengan indah, menciptakan suasana yang benar-benar berbeda. Tidak hanya dekorasinya yang menarik perhatian, tetapi beragam hidangan prasmanan juga mengundang selera.

Meski begitu, di balik gemerlapnya acara, Khafa yang sudah menyelesaikan persiapannya sejak lima belas menit yang lalu tampak gelisah karena Fathan belum menunjukkan tanda-tanda kehadiran. Melza, ibu Khafa, juga merasakan kegelisahan yang sama karena tidak dapat menghubungi pihak keluarga mempelai lelaki.

"Ke mana Fathan, Fa?" tanya Melza dengan ekspresi kesal.

"Khafa juga tidak tahu, Bu," ucap Khafa gelisah.

"Tamu sudah mulai berdatangan, Khafa, tapi sampai detik ini Fathan beserta keluarganya belum memberikan kabar."

Khafa yang mendengar itu semakin cemas. Bahkan, perempuan itu mulai merenungkan hal-hal negatif tentang calon suami dan keluarganya.

"Semoga Bang Fathan dan keluarganya terhindar dari kejadian buruk," batin Khafa dengan penuh harap.

Tak lama, pintu ruangan itu terbuka, memperlihatkan Khafi dan Zayno bersama orang tua Fathan. Dua perempuan itu merasa lega melihat kedatangan mereka.

"Apa akad segera mulai? Tapi, kenapa Bapak malah di sini?"

"Apakah ada sesuatu yang kurang, Pak?" tanya Melza lagi.

Zayno mendapat pertanyaan itu dan hanya memilih untuk tetap diam. Ia bingung menentukan jawaban karena yang hadir hanya Gizka dan Rizky, tanpa kehadiran Fathan.

"Maafkan kami, Melza. Fathan tidak dapat hadir," ucap Gizka, ibu Fathan.

"Maksudmu apa, Gizka? Jika ingin menikah, tentu harus ada mempelai lelaki!"

"Tante bicara dengan jelas!" seru Khafi.

Gizka tidak sanggup bicara lagi karena wanita itu telah menangis, sehingga Rizky mengambil inisiatif untuk berbicara, sambil menatap keluarga tersebut dengan rasa penyesalan.

"Mohon maaf, Fathan tidak dapat menikahi Khafa karena ia telah pergi bersama Vayka, yang saat ini sedang mengandung anak mereka," ujar Rizky dengan berat hati pada akhir kalimat.

Khafa yang mendengar berita itu, menangis sambil menggeleng kuat. Ia tidak dapat mempercayai perkataan Rizky dan yakin bahwa Fathan tetap setia kepadanya.

"Om, jangan bohong!"

"Maafin, Om dan Tante, Khafa. Semua ini terjadi di luar dugaan kami."

"Sialan kalian!" teriak Melza.

"Bagaimana mungkin Fathan kabur saat pernikahan tinggal sebentar lagi? Kalian membuat kami merasa malu!"

Melza berteriak, membuat Gizka mendekatinya sembari mengucapkan permintaan maaf.

"Maaf tidak akan merubah segalanya, Gizka!" geram Melza.

"Kalian sungguh tidak punya hati," ujar Zayno, mata tajamnya menatap mereka.

"Tidak hanya putriku yang merasakan sakit, tetapi kami juga turut merasakannya. Gimana tanggapan orang-orang terhadap batalnya pernikahan ini?" Melza menatap keduanya dengan sinis.

"Kami mohon maaf."

Zayno melangkah maju dan tiba-tiba menghantam Rizky, membuat Gizka terkejut dengan insiden yang tiba-tiba terjadi.

"Zayno, tolong jangan pukul suamiku lagi!" seru Gizka tegas setelah Zayno menghantam pipi Rizky dua kali.

"Sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang kami rasakan!" ujar Zayno dengan pandangan tajam.

"Tidak apa, Zayno. Jika kamu ingin memukulku lagi, aku ikhlas. Ini adalah konsekuensi yang harus kuterima," kata Rizky sambil merangkul istrinya.

Zayno tak melanjutkan kekerasan, malah mengusap kasar wajah Rizky sambil menghela nafas panjang.

"Om, Tante, tunjukkan di mana Fathan berada!"

"Kami benar-benar tidak mengetahui keberadaan Fathan, Khafi," jawab Rizky.

"Orang tua seperti apa kalian yang tidak mengetahui keberadaan putranya saat akan menikah, sialan!" seru Zayno dengan kesal.

"Ya, kami mengakui kesalahan kami sebagai orang tua."

"Kalian harus bertanggungjawab menjelaskan ini semua dengan para tamu undangan! Jelaskan ke mereka kalau anak kalian yang salah," ucap Melza.

"Kami akan bertanggung jawab atas tindakan anak kami, Melza," ucap Gizka dengan rasa bersalah.

"Tentu, karena pihak kami yang mengalami kerugian.

Khafa terdiam, tak mampu lagi mengucapkan sepatah kata. Fakta itu seolah mematikan setiap rangsang di syarafnya. Rasa sakit hati dan malu menyelubungi Khafa serentak, merusak tidak hanya harga dirinya, melainkan juga kehormatan keluarganya. Ia seakan tuli terhadap kegaduhan di sekitarnya.

"Bang, kenapa kamu tega sama Khafa?" Khafa menangis tersedu-sedu, menyembunyikan wajah di antara kedua lututnya.

"Sebenarnya, aku berharap hari ini menjadi momen penuh kebahagiaan saat aku resmi menjadi istri dari lelaki yang kucintai."

"Namun, takdir tidak mengijinkan kami bersama, tapi mengapa takdir memisahkan kami dengan cara yang begitu menyakitkan?"

Pikiran Khafa semakin terombang-ambing, dan hatinya terasa begitu terpukul. Rasanya, Khafa ingin menjauh dari dunia ini karena tak mampu lagi bertemu dengan orang-orang di masa depan.

"Sakit ...."

Khafa tak yakin sejak kapan kamarnya hanya dihuni oleh dirinya dan Khafi. Bahkan kedua orangtuanya dan orangtua Fathan sudah tiada. Pandangan terluka dari Khafa membuat Khafi merasakan kepedihan yang mendalam.

"Apakah harus begini, Fi? Dia telah berjanji bikin gue bahagia, tapi kenyataannya dia malah ninggalin luka yang begitu mendalam."

"Gue hancur, Fi. Gue gagal nikah. Apa yang salah sama gue sampai dia pergi dengan wanita lain? Jika dia tidak mencintai gue, seharusnya nggak begini caranya. Ini sungguh menyakitkan, Fi," ujar Khafa.

Dengan berlinang air mata, Khafi memeluk erat tubuh saudari kembarnya.

"Gue salah apa sama dia, Fi? Kenapa dia tega menyakiti sekaligus merendahkan gue dan keluarga kita."

"Khafa, tenang ...."

"Gue nggak bisa tenang, Fi. Gue udah membuat ibu sama bapak merasa malu."

Khafi menangkup kedua wajah Khafa. Tak lupa, ia mengusap air mata Khafa yang tak kunjung berhenti mengalir sejak tadi.

"Lo nggak salah yang salah Fathan, Fa."

"Fi, rasanya sakit banget. Sebelumnya, gue belum pernah ngerasain sakit sehebat ini. Rasanya, dunia gue hancur," ungkap Khafa sambil terisak-isak.

Khafi tidak merespons kata-kata Khafa. Ia hanya mengelus bahu Khafa dengan lembut, ingin memberikan ketenangan.

"Apa yang kurang dari gue, Fi?" Khafa bertanya sembari menatap Khafi.

"Enggak ada yang kurang dari lo, Khafa. Cuma laki-laki brengsek itu yang nggak bersyukur."

"Sakit banget, Khafi," lirihnya.

"Gue tahu apa yang lo rasain sekarang, Fa. Kita hadapi bareng-bareng, ya."

"Jangan tinggalin gue, Fi."

"Gue nggak bakalan ninggalin lo, Fa," ucap Khafi sambil kembali memeluk Khafa.

Khafi berusaha menenangkan Khafa sambil meredam amarah di dalam hatinya yang membara, ingin mencari Fathan dan memberikan pelajaran pada lelaki yang telah menyakiti hati sang kakak. Khafi, yang selalu membahagiakan Khafa, tentu merasa tidak tahan melihat perempuan yang selalu ia sayangi dan jaga mengalami luka begitu mendalam seperti ini.

"Gue bakalan buat lo bahagia, Fa. Jangan nangis lagi, itu menyakiti hati gue," tutur Khafi.

Malam itu, Khafa dan Khafi merangkul satu sama lain di tengah malam yang sunyi. Meskipun luka yang dalam masih terasa, namun setidaknya, Khafi berhasil menenangkan hati Khafa dengan janjinya untuk terus bersama perempuan itu.

Perjalanan menuju kesembuhan tidaklah mudah. Bersama-sama, mereka melalui hari-hari yang sulit dan berbagi beban kesedihan. Namun, seiring waktu, Khafa mulai melihat cahaya di ujung terowongan. Khafi, saudara kembarnya, tetap menjadi pendukung yang teguh, menunjukkan bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang kekuatan untuk saling mendukung dalam keadaan baik maupun buruk.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku