Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Wangsit Kuntilanak

Wangsit Kuntilanak

26mil_

5.0
Komentar
321
Penayangan
21
Bab

Orang bilang di sana rumah tinggal kuntilanak. Dahulu seorang wanita belanda yang melakukan praktik sihir di bakar warga hidup-hidup. Namun Ema tidak peduli. Orang tua kandungnya sudah meninggal dan ayah tirinya mencoba memperkosa gadis itu. Dia butuh tempat untuk tinggal. Hingga suatu hari, sosok kuntilanak berbadan ringkih muncul. Membunuh satu per satu orang terdekat Ema dan memberi teror pada gadis itu. Ema berhasil kabur, tetapi dia harus kembali. Selain wangsit kuntilanak ada padanya. Iqbal, kekasih gadis itu harus diselamatkan sebelum dimakan kuntilanak.

Bab 1 Ndoro Ayu sudah datang

"Ma. Buka pintunya dulu, Nak. Ayah mau bicara. Ma."

Dibarengi dengan rasa waspada. Ema, seorang mahasiswi tingkat akhir, mengangkat tinggi dua lututnya. Dalam genggaman gadis itu, ia mengeratkan pegangan pada sebuah gunting tua dengan ujung runcing. Siap untuk menghunuskan apabila sosok di luar nekat untuk membuka paksa pintu dan menemuinya.

"Pergi! Jangan ganggu gue," teriaknya memperingati.

"Ma ... Jangan kasar gitu dong sama Ayah. Ayo buka, ada yang mau Ayah bicarakan."

Ema tahu bukan itu maksud sebenarnya. Sepeninggalan ibunya, Sudar kian tak tahu diri. Laki-laki lima puluh tahun mata keranjang itu terus-terusan menggodanya. Memaksa Ema untuk melakukan hal yang tidak-tidak demi memuaskan hasrat bejat yang ia miliki.

Entah apa yang almarhum Ibunya dulu pikirkan. Sampai bisa menikah dengan sosok seperti Sudar. Laki-laki pemalas tak tahu diri yang suka main tangan. Kini setelah ketiadaan sang Ibu, Sudar kian menjadi dan bertingkah di luar akal, menggodanya dan mengajak untuk melakukan hubungan badan layaknya suami istri. Dasar edan!! Seperti sekarang contohnya.

"Ma .. ayo dong, Sayang. Ayah udah nggak tahan lagi nih. Kamu anak yang baik, kan Ayo turuti Ayah. Kamu juga pasti bakalan suka."

"Pergi! Pergi sialan! Atau gue bakal bunuh lo."

"Ema?"

"Pergi, pergi, pergi. Pergi lo dari sini."

Lama ditunggu, detik demi detik berlalu. Tak lagi terdengar suara Sudar yang menggoda dari balik pintu. Mungkin si tua keladi itu sudah pergi karena bentakkannya. Menyerah untuk menggoda anak kandung dari mendiang sang istri.

Namun, Ema tak bisa langsung bernapas lega. Keesokan pagi dan seterusnya. Sudar pasti akan kembali melakukan hal yang sama. Mengetok pintu kamar dan menggodanya dengan kalimat-kalimat menjijikkan.

Ema menggigit kukunya yang tumpul. Gelisah bercampur degup jantung yang keras. Serasa menggedor dada dan memaksa loncat keluar begitu saja.

Dia tak tahu harus melakukan apa lagi agar bisa tenang. Satu-satunya hal yang terpikirkan adalah, dia harus pergi dari rumah ini dan memulai kehidupan baru. Meninggalkan sang Ayah tiri sendirian bersama dengan sikapnya yang tak kunjung berubah.

Keesokkan harinya. Langit cerah, awan berarak membawa keteduhan bagi siapa pun yang bernaung di bawah. Jalanan ibu kota terasa seperti biasanya. Mobil mewah melesat memenuhi jalan. Juga bus yang mengangkut banyak penumpang.

Ema turun dari kendaraan yang ia tumpangi. Berjalan menggeret sebuah koper menuju alamat yang tertera, lokasi dimana sebuah rumah sewa dengan harga miring dan fasilitas yang cukup manusiawi.

Erina, salah satu teman kampusnya yang menawarkan tempat itu. Dia juga merupakan sahabat dekat Ema yang peduli pada apa yang menimpa Ema.

Namun sayang, Erina tak dapat menemani Ema untuk pergi ke alamat rumah yang akan dituju, karena sebuah kesibukan yang tak bisa ditunda dan sangat mendesak. Ibunya terkena kanker darah, jadi harus dirawat di rumah sakit. Ema memaklumi itu.

Jalan setapak, sebuah perkampungan dimana anak-anak usia delapan sampai sepuluh tahun tengah bermain layang-layang terlihat. Berlarian kesana kemari untuk menerbangkan kertas yang telah dirakit sedemikian rupa. Sambil tertawa menyebut nama temannya.

Ema menyuguhkan senyum tipis tatkala melewati seorang perempuan tua yang mengunyah sirih, rambutnya memutih, disanggul sederhana. Dia menatap dengan tatapan tak biasa ke arah Ema yang sedang lewat.

"Siang Mbah, numpang lewat, ya."

"Mau kemana, Nduk?" tanya Si Mbah.

Ema sesaaat menghentikan langkah demi kesopanan. "Nyari rumah sewa."

"Rumah sewa dimana? Di sini nggak ada rumah sewa, mending koe pulang aja, ngapain ke sini. Cari rumah lain."

Ema tampak diam sesaat. Ia memeriksa catatannya, lalu kembali menatap pada nenek tua itu. "Saya mau ke rumah sewa punya Buk Yati."

"Rumah Yati?" tanyanya balik. Nenek tua itu masih sibuk dengan sirihnya yang sudah hampir menghitam. Mengumpulkan liur di mulut lalu meludahkannya ke tanah. "Nggak ada di sini yang namanya Yati. Mending koe pulang. Pulang aja sana. Pulang!"

Ema meringis. Dia mengangguk sekali dan meneruskan perjalanan, sementara nenek tadi kembali mengunyah sirih, menyerap sari patinya yang sudah hampir tak bersisa.

Lanjut menyusuri jalanan, seolah tak memperdulikan peringatan yang ada. Ema menemukan sebuah petilasan di pinggir jalan setapak yang ia lalui. Petilasan sendiri adalah istilah yang diambil dari Bahasa Jawa, suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang (yang penting).

Terdapat pohon beringin yang tumbuh di halamannya, dilihat dari ukurannya yang tak biasa, dengan cabang pohon yang sudah mekar dan menutupi akses cahaya matahari untuk masuk. Pohon itu diperkirakan sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun lamanya.

Tepat di bawah, di salah satu cabang dahan, terdapat ayunan tua yang terlihat sudah usang. Sepertinya dahulu sering dijadikan tempat anak-anak bermain. Ema membayangkan momen ketika anak-anak masih ramai mengunjungi tempat ini, mungkin kelihatannya tidak seseram sekarang.

Roda zaman telah berlalu, masa itu tertinggal jauh dan kini yang tersisa hanya saksi bisunya saja.

Tiba-tiba angin berembus kencang, menerbangkan anak rambut Ema sehingga menampakkan sedikit dahinya yang putih. Rasa dingin ganjil menyengat serasa merayapi tubuh. Perempuan itu menggosok tangan berkali-kali, lalu mendongak ke atas memperhatikan cabang-cabang beringin besar yang menjadi markas bagi kelompok bryophyte, atau nama umumnya lumut.

Daun berguguran, jatuh dan menutupi tanah serta akar pohon yang mencuat.

Perasaannya mendadak kalut. Di antara kesadaran atau tidak. Ema bisa mendengar semancam bisikan halus yang berada di daun telinga. Berkata dalam bahasa yang baru kali ini ia dengar.

Namun anehnya, Ema mengerti.

Sosok tak kasat mata yang membisikkan sejumput kalimat itu seolah menyuruhnya untuk mendekat dan mengikis jarak menuju lokasi yang akan ia datangi. Mempercepat menemuinya untuk membebaskan sebuah kekang agar bisa mengembalikan kekuasaan yan sempat padam.

"Udah gila apa, ya, gue. Masa gue ngerasa ada yang bisikin sih?" Perempuan itu mengedar pandang. Memeriksa barang kali ada seseorang yang luput dari matanya dan sedang berbicara. Namun, tak ditemukan siapa pun atau apa pun.

Lanjut melangkah. Ema dengan susah payah menggotong koper besar miliknya meninggalkan pohon itu. Tak ingin berlama-lama karena perasaannya berkata ia harus segera pergi dari tempat ini.

Tanpa Ema sadari. Sesosok makhluk kecil dengan tubuh ringkih sedang mengayun-ayunkan diri pada ayunan tua di cabang pohon. Menyeringai lebar menampakkan gigi-giginya, tangan-tangan keriput dan pucat menggenggam erat tali yang menyangga ayunan. "Ndoro ayu sudah datang," katanya. Lalu dalam sekejap, sosok itu hilang bersama tiupan angin.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh 26mil_

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku