Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Aku diculik.
Setidaknya itu yang aku tahu ketika terbangun sudah berada di sebuah ruangan berukuran kurang lebih dua belas meter persegi. Memang tidak jauh berbeda dengan ukuran ruang kamarku, tapi meminum dua teguk sampanye untungnya tidak terlalu membuatku mabuk hingga lupa bagaimana rupa dari kamar yang telah aku tempati selama hampir dua puluh tahun. Terlebih tidak ada apa-apa di dalam ruangan ini selain tempat tidur, meja, juga shower box.
"Halo?" panggilku pada siapa pun yang mungkin saja mendengar. Sayangnya, tidak ada jawaban.
Sial. Aku tidak bisa bersikap biasa saja seperti ini. Aku sedang diculik. Aku tidak tahu apa yang akan penculik itu lakukan padaku jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Aku harus melakukan sesuatu untuk bisa membebaskan diri.
Belum juga kakiku mencapai pintu, pintu yang dimaksud tiba-tiba mengeluarkan bunyi desis. Bersamaan dengan itu pula pintu bergeser ke samping seperti halnya sebuah pintu lift ketika terbuka.
Dari balik pintu yang telah terbuka tersebut, seorang pria muda berwajah tampan, berpostur tinggi, tegap, proporsional, model rambut buzz cut, muncul dan berdiri di ambang pintu. Tangan kanannya menjinjing sebuah paper bag, sementara tangan kirinya disembunyikan dalam saku jaket bomber berwarna hijau army yang ia pakai.
Aku mematung di tempat. Menatap seseorang yang aku sendiri tidak menyangka bahwa ialah orang yang telah menculikku.
"Mr. Vague?" tanyaku bernada tak percaya. "I-ini benar kau?"
Mata Mr. Vague memicing sedetik setelah aku menyebut namanya.
"Rupanya kau mengenalku," ujarnya datar dan terkesan tidak terlalu senang.
"Ya—eh, tidak," ralatku segera. "Maksudku, tidak terlalu kenal, tapi aku tahu kau tentu saja."
"Rasa-rasanya aku tidak berencana untuk mengekspos diriku sendiri agar diketahui orang banyak."
Mr. Vague melangkah lebih ke dalam ruangan. Tadinya aku pikir ia akan membiarkan pintu tetap terbuka, tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang ada pada salah satu sisi tembok dan pintu kembali tertutup. Mungkin ada semacam pemindai telapak tangan di sana. Dan, itu tampak tidak bagus untukku.
"Kau … mungkin begitu, tapi tidak dengan orang lain. Mereka dengan senang hati membuatmu terekspos," jawabku tanpa sadar bergerak mundur secara perlahan saat Mr. Vague mendekat.
“Jadi apa yang kau tahu dariku?” tanya Mr. Vague sudah berdiri tepat di depanku.
"Kau?"
"Siapa lagi?"
Meskipun masih berjarak satu langkah, aku sudah bisa melihat mata birunya yang jernih. Belum pernah aku melihatnya dalam jarak sedekat ini dan kuakui bahwa matanya begitu memukau.
Aku menelan ludah. Bagaimana caranya menatap membuatku terintimidasi.
"Oh, kau …," jujur saja aku canggung ditatap dengan seorang pria sepertinya, "yang aku tahu kau menjadi ahli waris Vague Holding Group."
"Hanya itu?"
Aku berpikir. "Memang hanya itu informasi yang paling melekat di dirimu," jawabku. Selama sesaat yang tidak terlalu menyenangkan, kupikir ia akan merespons jawabanku, tapi ternyata ia hanya diam seolah menunggu kalimatku yang selanjutnya. “Tapi aku rasa kau tidak terlalu senang dengan posisi itu.”
Mata biru Mr. Vague menyala.
"Kau berpikir begitu?"
“Maaf,” kataku kemudian. “Itu hanya menurutku. Tolong jangan cabut beasiswaku hanya karena aku berkata kurang sopan.”
"Rupanya kau berkuliah di UC Berkeley." Mr. Vague memberi tanggapan.
“Kau menebaknya."
“Karena program beasiswa Vague Holding Group memang hanya ada di sana,” jelas Mr. Vague seraya menyodorkan tangannya yang sedari tadi memegang paper bag. “Makananmu seharian ini. Pastikan cukup sampai makan malam."
Aku memandang paper bag yang masih menggantung di tangannya. Menerima dengan ragu sambil mengecek apa isi di dalam paper bag tersebut.
"Sandwich dan air mineral?"