Rose tidak menyangka jika seseorang yang telah menculiknya adalah Louton Vague, seorang ahli waris dari salah satu Holding Company terbaik di USA. Padahal selama ini Rose selalu melihat Louton sebagai sosok pria muda tampan yang sopan dan berwibawa. Namun, setelah tahu bagaimana perlakuan Louton padanya, kini Rose tahu bahwa ternyata Louton adalah pria misterius dan menakutkan yang berhati dingin, kejam, bahkan tak segan menyerang fisik perempuan. Meski begitu, menghabiskan waktu berhari-hari bersama Louton, paling tidak membuat Rose tahu jika ada yang salah dengan diri pria itu. Kesalahan yang mungkin saja bisa Rose perbaiki, karena Rose merasa bahwa ada sisi baik yang tersembunyi di dalam diri Louton dan entah kenapa ... itu justru membuat Rose luluh. Rose tahu apa yang dirasakannya pada Louton adalah salah. Tidak sepantasnya ia justru menaruh rasa simpati pada seseorang yang telah menculiknya. Lantas, Rose harus bagaimana? Apa setelah dirinya terbebas dari Louton, ia harus melaporkan tindakan Louton? Apa setelah dirinya terbebas dari Louton, ia bisa bertemu dengan Louton lagi agar dapat terus mengubahnya menjadi seseorang yang jauh lebih baik?
Aku diculik.
Setidaknya itu yang aku tahu ketika terbangun sudah berada di sebuah ruangan berukuran kurang lebih dua belas meter persegi. Memang tidak jauh berbeda dengan ukuran ruang kamarku, tapi meminum dua teguk sampanye untungnya tidak terlalu membuatku mabuk hingga lupa bagaimana rupa dari kamar yang telah aku tempati selama hampir dua puluh tahun. Terlebih tidak ada apa-apa di dalam ruangan ini selain tempat tidur, meja, juga shower box.
"Halo?" panggilku pada siapa pun yang mungkin saja mendengar. Sayangnya, tidak ada jawaban.
Sial. Aku tidak bisa bersikap biasa saja seperti ini. Aku sedang diculik. Aku tidak tahu apa yang akan penculik itu lakukan padaku jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Aku harus melakukan sesuatu untuk bisa membebaskan diri.
Belum juga kakiku mencapai pintu, pintu yang dimaksud tiba-tiba mengeluarkan bunyi desis. Bersamaan dengan itu pula pintu bergeser ke samping seperti halnya sebuah pintu lift ketika terbuka.
Dari balik pintu yang telah terbuka tersebut, seorang pria muda berwajah tampan, berpostur tinggi, tegap, proporsional, model rambut buzz cut, muncul dan berdiri di ambang pintu. Tangan kanannya menjinjing sebuah paper bag, sementara tangan kirinya disembunyikan dalam saku jaket bomber berwarna hijau army yang ia pakai.
Aku mematung di tempat. Menatap seseorang yang aku sendiri tidak menyangka bahwa ialah orang yang telah menculikku.
"Mr. Vague?" tanyaku bernada tak percaya. "I-ini benar kau?"
Mata Mr. Vague memicing sedetik setelah aku menyebut namanya.
"Rupanya kau mengenalku," ujarnya datar dan terkesan tidak terlalu senang.
"Ya-eh, tidak," ralatku segera. "Maksudku, tidak terlalu kenal, tapi aku tahu kau tentu saja."
"Rasa-rasanya aku tidak berencana untuk mengekspos diriku sendiri agar diketahui orang banyak."
Mr. Vague melangkah lebih ke dalam ruangan. Tadinya aku pikir ia akan membiarkan pintu tetap terbuka, tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang ada pada salah satu sisi tembok dan pintu kembali tertutup. Mungkin ada semacam pemindai telapak tangan di sana. Dan, itu tampak tidak bagus untukku.
"Kau ... mungkin begitu, tapi tidak dengan orang lain. Mereka dengan senang hati membuatmu terekspos," jawabku tanpa sadar bergerak mundur secara perlahan saat Mr. Vague mendekat.
"Jadi apa yang kau tahu dariku?" tanya Mr. Vague sudah berdiri tepat di depanku.
"Kau?"
"Siapa lagi?"
Meskipun masih berjarak satu langkah, aku sudah bisa melihat mata birunya yang jernih. Belum pernah aku melihatnya dalam jarak sedekat ini dan kuakui bahwa matanya begitu memukau.
Aku menelan ludah. Bagaimana caranya menatap membuatku terintimidasi.
"Oh, kau ...," jujur saja aku canggung ditatap dengan seorang pria sepertinya, "yang aku tahu kau menjadi ahli waris Vague Holding Group."
"Hanya itu?"
Aku berpikir. "Memang hanya itu informasi yang paling melekat di dirimu," jawabku. Selama sesaat yang tidak terlalu menyenangkan, kupikir ia akan merespons jawabanku, tapi ternyata ia hanya diam seolah menunggu kalimatku yang selanjutnya. "Tapi aku rasa kau tidak terlalu senang dengan posisi itu."
Mata biru Mr. Vague menyala.
"Kau berpikir begitu?"
"Maaf," kataku kemudian. "Itu hanya menurutku. Tolong jangan cabut beasiswaku hanya karena aku berkata kurang sopan."
"Rupanya kau berkuliah di UC Berkeley." Mr. Vague memberi tanggapan.
"Kau menebaknya."
"Karena program beasiswa Vague Holding Group memang hanya ada di sana," jelas Mr. Vague seraya menyodorkan tangannya yang sedari tadi memegang paper bag. "Makananmu seharian ini. Pastikan cukup sampai makan malam."
Aku memandang paper bag yang masih menggantung di tangannya. Menerima dengan ragu sambil mengecek apa isi di dalam paper bag tersebut.
"Sandwich dan air mineral?"
"Seperti yang kau lihat."
"Dan kau bilang hanya ini makananku untuk seharian ini? Apa kau serius?"
"Aku tidak pernah tidak serius dan jangan buatku harus menjelaskan dua kali."
"Mr. Vague, tapi ini ... jujur aku bisa menghabiskan semua ini sekarang juga. Bahkan aku bisa menghabiskan dua sandwich sewaktu sarapan," ungkapku dan ia hanya bergeming mendengar pengakuanku yang mungkin sedikit memalukan. Terlihat sekali jika aku sangat lapar juga banyak makan.
"Silakan saja jika ingin langsung kau habiskan, tapi kutegaskan bahwa aku hanya akan memberikan makanan untukmu satu kali di pagi hari setiap harinya dan untuk hari ini hanya itu yang aku berikan," jelasnya berbalik pergi di saat aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanyaku pada akhirnya. Kemunculan Mr. Vague beberapa menit lalu nyaris membuatku lupa bahwa aku sedang diculik olehnya.
Langkah kaki Mr. Vague terhenti, lalu ia kembali berbalik menghadapku.
"Apa yang aku perbuat sampai kau berbuat seperti ini? Bahkan aku sama sekali tidak mengenalmu. Jika ada suatu kesalahan yang pernah aku lakukan, tolong katakan, tapi jangan seperti ini."
"Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Rose."
Aku tertegun. "Kau tahu namaku."
"Hampir semua informasi tentangmu ada di dalam dompet dan ponsel."
"Oh." Kepalaku berkeliling. Baru sadar jika tas, dompet, juga ponselku tidak ada di mana pun. "Lalu apa? Jika aku tidak melakukan kesalahan apa pun padamu, kenapa aku bisa ada di sini? Kenapa kau menculikku?" tanyaku menekan dan matanya kembali menyala.
Mr. Vague sekali lagi mendekat. Tidak terlalu tampak, tapi aku merasa ada perbedaan dari sorot mata juga ekspresi wajahnya. Rahangnya mengatup kuat, kulit di area wajah dan lehernya tertarik, bibir tipisnya mengerut seakan tengah menahan sesuatu yang muncul dari dalam dirinya. Apa aku membuatnya marah? Tapi seharusnya akulah yang marah!
"Kau tidak perlu tahu alasannya," jelasnya dengan suara pelan, dalam, dan mengintimidasi.
Aku takut, tapi aku tetap berusaha terlihat berani.
"Aku perlu tahu," tegasku.
"Tidak untuk sekarang."
"Apa bedanya sekarang atau nanti?" balasku berkeras tanpa memedulikan reaksinya. "Intinya aku perlu tahu alasan kenapa aku ada di sini. Kau tidak bisa seenaknya melakukan ini pada-AH!" jeritku ketika Mr. Vague tiba-tiba menjambak rambutku begitu kuat hingga kepalaku ikut tertarik ke bawah dengan kasar. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh tarikan yang terjadi di antara rambut dan kulit kepala benar-benar terasa menyakitkan.
Dalam posisi itu, Mr. Vague semakin mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ekspresi yang tadinya terlihat datar, seketika berubah menjadi bengis.
"Kau ikuti saja apa yang aku perintahkan," katanya berbisik dan menekan, dimana bibirnya nyaris mengenai daun telingaku. Menghadirkan rasa merinding yang luar biasa. Mataku terpejam dan hanya bisa merintih.
"Cukup ... tolong ... ini sakit," rintihku saat ia makin menjambak rambutku.
"Kukatakan sekali lagi. Itu adalah makanan dan minumanmu selama seharian ini dan kau tidak perlu bertanya kenapa kau bisa ada di sini. Mengerti, Proserpina Johnson?"
Mendengar Mr. Vague menyebut nama lengkapku, hanya makin membuat tubuhku seperti terserang oleh sengatan listrik ratusan volt. Terkesan berlebihan, tapi memang itu yang kurasakan. Suaranya benar-benar mampu menghadirkan sensasi itu.
"Jawab aku jika kau mengerti."
Kepalaku mengangguk pelan.
"Aku butuh suaramu, Rose."
Sebisa mungkin aku berusaha mengeluarkan suaraku di tengah kesakitan yang kuterima.
"A-aku mengerti."
"Gadis baik."
Setelahnya, Mr. Vague melepas tangannya dengan lebih dulu menarik rambut, kepala, beserta tubuhku hingga jatuh ke lantai. Kemudian ia langsung pergi tanpa mengatakan apa pun. Betul-betul pergi menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Meninggalkanku seorang diri dengan kondisi masih dihinggapi rasa tidak percaya, bingung, dan takut atas perlakuan seorang Louton Vague.
Bab 1 1. Why Did You Do This To Me
22/12/2021
Bab 2 2. Driving Me Crazy
22/12/2021
Bab 3 3. You Are So Mean
22/12/2021
Bab 4 4. Escape Plan
22/12/2021
Bab 5 5. There's Something Wrong With You
22/12/2021
Bab 6 6. You Confuse Me
22/12/2021
Bab 7 7. I Can Understand
22/12/2021
Bab 8 8. Are You Spying On Me
22/12/2021
Bab 9 9. More Than That
22/12/2021
Bab 10 Two Sides
22/12/2021