Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Reruntuhan Hati

Reruntuhan Hati

Ila Rofiqoh

5.0
Komentar
2.7K
Penayangan
7
Bab

Lantaran perjodohan dari Nyai Halimah, hati yang telah memiliki tambatannya masing-masing kemudian harus sama-sama hancur berserakan. Kondisi kesehatan yang semakin menurun mendesaknya mencari gadis yang bisa menggantikannya mengasuh pondok putri. Gadis yang akan dinikahkan dengan putranya. Sebuah pernikahan kemudian dibangun di atas luka. Gus Adnan yang tak bisa melepas masa lalunya dengan dokter muda bernama Ning Athiyah, juga Ning Nufus yang tertatih membangun rumah tangga barunya yang penuh prahara di sisi lain usahanya melupakan Kang Irsyad. Akankah dua hati itu pulih atau justru harus sama berakhirnya dengan cinta yang pernah masing-masing mereka genggam pada kisah lalu?

Bab 1 Titah Mengejutkan

Matahari masih sepenggalah. Kicau burung yang semula mengisi hening pagi kini berganti dengan riuh santri yang tengah berbondong-bondong kembali dari masjid selepas setoran bakda subuh. Kerumunan itu otomatis menyibak ketika melihat Nyai Halimah tampak tertatih keluar dari pekarangan dalem dan entah akan ke mana.

"Le ...," pangggilnya entah pada siapa. Seorang lelaki berkaos oblong navy yang semula sibuk mengambil daun pisang lantas tergopoh mendekat. Mengingat posisinya yang memang paling dekat dari abdi dalem lain.

"Inggih, Bu Nyai?"

"Tolong panggilkan Adnan."

Setelah mengangguk mengiyakan, lelaki yang telah lama menjadi kang dalem itu undur diri. Langkahnya yang lebar-lebar menyibak kerumunan, berjalan cepat di koridor kelas menuju sebuah bangunan tua di ujung kawasan Pesantren Sabilus Surur. Putra bungsu Nyai Halimah itu memang kerap menghabiskan waktu di sana.

"Assalamualaikum," ucanya di ambang pintu yang terbuka lebar. Dari tempatnya berdiri, tampak seorang pria yang semula tengah sibuk mengolak-alik kitab itu lantas menoleh. Wajahnya yang putih bersih mendongak, alisnya yang lebat kemudian dinaikkan sebelah, mengisyaratkan agar lelaki berkaos oblong di seberang sana mengatakan tujuannya menemui Adnan.

"Njenengan ditimbali Bu Nyai, Gus."

"Umi di dalem, 'kan?"

"Inggih, Gus."

"Ya sudah. Terima kasih. Tolong bereskan dulu kitab-kitab ini dan taruh di sana. Setelah itu sampeyan boleh kembali," titahnya sembari beranjak. Segera setelah membenarkan posisi songkok dan sarungnya, lelaki yang masyhur seantero pesantren itu lantas berlalu. Melintasi halaman yang telah sepi sembari menerka-nerka keperluan mendesak apa kiranya yang membuat Nyai Halimah hingga mengutus kang dalem untuk mencarinya. Padahal setiap pergantian jam mengajar, dirinya pasti menyempatkan diri ke dalem. Entah itu mengambil kitab, atau sekadar istirahat dan mengisi perut.

Sejak beberapa bulan terakhir, uminya memang sering sakit-sakitan. Wajar jika mengingat usianya yang senja. Adnan sempat melarangnya keras untuk terlalu lelah meng-handle seluruh urusan pesantren, tetapi wanita yang hampir berkepala tujuh itu sama keras kepalanya dengan dirinya.

Menyikapi hal itu, Adnan merombak seluruh jadwal dewan guru. Mengurangi beberapa jam mengajar uminya dan mengalihkannya kepada ustaz-ustazah lain. Dirinya juga mengangkat beberapa santri senior untuk menjadi guru bantu jika memang diperlukan. Jadi, dengan begitu, pikirnya Nyai Halimah akan lebih punya banyak waktu untuk istirahat.

"Umi di mana, Mbak?" tanya Adnan begitu berpapasan dengan perempuan yang tampak sibuk menyapu kolong-kolong meja.

"Di kamar, Gus. Sedang istirahat, tadi katanya agak kurang enak badan."

Tanpa menjawab lagi, Adnan berlalu. Melewati mbak-mbak yang tengah sibuk dengan kerjanya masing-masing menuju ruangan kecil di balik rak yang penuh berisi kitab-kitab. Semula, kamar Nyai Halimah berada di atas. Menghindari kebisingan di dapur, atau santri-santri yang berlalu lalang sewaktu-waktu. Namun, semenjak kondisinya memburuk, beliau meminta untuk dipindahkan ke bawah. Di ruangan yang dulu sering digunakan mendiang suaminya untuk mutholaah kitab.

"Assalamualaikum, Umi," ucap putra satu-satunya Nyai Halimah itu sembari membuka pintu yang sudah sedikit terbuka. Wanita yang semula berbaring di ranjang dengan membelakangi pintu itu kemudian membalik badan. Mempersilakan lelaki yang telah beranjak masuk itu untuk duduk.

"Bagaimana keadaan Umi?"

"Aku baik, Nak. Sudah mendingan."

"Maaf tadi aku sibuk dengan laporan bulanan usaha-usaha kita, Um."

"Tidak apa-apa, Nak. Umi tahu tanggung jawabmu pada pesantren ini tidak main-main. Setelah abahmu meninggal dan kakakmu menikah, Umi rasa kamu menjalankan semuanya dengan sangat baik, tapi ...."

Kalimat itu terjeda. Menggantung begitu saja. Gus Adnan lantas mendongak, menatap lekat Nyai Halimah yang tak kunjung meneruskan kalimatnya.

"Tapi apa, Um?"

Nyai Halimah menghela napas panjang. Sebentar beliau mengusap lembut kepala Adnan sebelum akhirnya menyandarkan punggungnya pada bahu ranjang. Pandangan matanya kosong menatap foto lama yang terpajang tepat di dinding yang berhadapan dengannya. Foto pernikahan Nyai Halimah dan mendiang Kiai Nashih.

"Umi sudah tua, Nak. Sudah sering sakit-sakitan. Beberapa hari terakhir kesehatan Umi menurun. Kamu sendiri yang bersikeras meminta Umi memperbanyak istirahat."

"Iya, benar. Umi memang harus banyak istirahat. Dengan begitu Umi akan kembali pulih. Tidak perlu terlalu banyak memikirkan urusan pesantren, Um. Aku bisa mengurusnya," jawab Gus Adnan meyakinkan. Dirinya tidak tega melihat Nyai Halimah terus memikirkan banyak hal, terutama santri putri yang pada dasarnya semua adalah tanggung jawabnya sekarang. Meski tak dapat dipungkiri fokusnya selama ini lebih kepada santri putra tentunya.

"Tapi bagaimanapun, kamu tidak akan bisa, Adnan. Kamu tidak akan mampu mengurus ribuan santri sendirian," sambung Nyai Halimah mulai masuk pada topik yang akan dibicarakan.

"Adnan tidak sendirian, Umi. Ada mbak-mbak dan kang-kang pengurus, Ada ustaz dan ustazah juga yang akan meng-handle semuanya dengan baik."

"Bukan mereka yang Umi maksud."

"Lalu?" tanyanya dengan mengernyit. Menerka-nerka maksud perkataan uminya yang terdengar masih ambigu.

"Nikahi Nufus."

Deg ....

Sejenak Adnan bungkam. Terperangah dengan permintaan uminya yang sama sekali di luar perkiraan. Lelaki itu menghela napas panjang, berusaha mengondisikan jantung agar tetap berdetak dengan normal.

Beberapa menit masih hening. Adnan mencoba mengingat-ingat kembali gadis mana yang uminya maksud. Dari sekian banyak nama Nufus di pesantrennya, pikiran Adnan tertuju pada Nufus, si mbak dalem yang beberapa kali memang sering Nyai Halimah sebut-sebut.

Perempuan kalem itu memang telah lama menjadi abdi dalem kesayangan Umi. Adnan sendiri mengakui gadis manis itu memang cerdas. Boleh dibilang keilmuannya bahkan melebihi ustaz-ustazah muda yang Adnan tunjuk meneruskan guru-guru sepuh yang sudah berhenti mengajar. Kinerjanya juga bagus selama merawat Umi dan bisa diandalkan.

Namun, terlepas dari semua itu, Adnan tak serta merta dapat mengiyakan. Permintaan uminya kali ini terasa begitu berat. Bagaimana tidak? Seperti lelaki pada umumnya, hatinya pun memiliki tempat berlabuhnya sendiri. Hatinya terlanjur tertambat pada perempuan yang sudah beberapa taahun terakhir selalu memenuhi pikiran dan hatinya.

"Adnan ...."

"I-iya, Umi?"

"Bagiamana?"

Lagi, lelaki itu hanya mengembuskan napas kasar. Tak tahu harus menjawab apa atau bagaimana. Terjebak dalam bayang-bayang kehilangan yang tiba-tiba terasa sakit dan menyesakkan. Namun, apakah benar semua ini harus benar-benar diakhiri? Apakah tidak ada lagi yang bisa ia lakukan? Apakah tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan?

Adnan berpaling, menunduk semakin dalam sebab kalut pikirannya sendiri. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menjawab iya berarti dia menyerah, berarti dirinya siap menerima bahwa cinta yang ia semai, yang ia pupuk, harus begitu saja disingkirkan, dibunuh paksa, dihabisi hingga sirna tak berbekas. Rasanya dirinya belum sanggup.

"Maaf, Um, tapi aku terlanjur mencintai perempuan lain."

Selepas kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya, lelaki itu menunduk semakin dalam. Menyembunyikan muka, tak berani menatap Nyai Halimah yang lantas menatap penuh selidik.

"Siapa?"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Ila Rofiqoh

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku