Bagaimana perasaanmu jika dipaksa menikah dengan sepupu yang tidak kamu cintai, tapi disisi lain kamu sudah menjalin hubungan dengan sahabat sepupumu itu. Suamiku nikahkan aku dengan sahabatmu. Cerita ini bercerita tentang gadis lugu yang tomboy yang bernama Nana. Dia di paksa menikah dengan Rey sang kakak. Rey pernah berkata pada Nana. "Andai di bumi ini hanya tinggal satu wanita saja dan itu kamu. Maka aku lebih memilih untuk tidak menikah selamanya," ucap Rey Namun seiring berjalannya waktu, Rey semakin jatuh cinta pada Nana sang adik. Hanya saja Nana sudah melabuhkan hatinya pada Boy sahabat sekaligus tentangga Rey. Dapatkah Nana dan Boy menyatukan cinta mereka? Relakah Rey melepaskan Nana untuk sahabatnya itu? Kisah cinta ini akan banyak mengundang air mata, tawa, perjuangan, dan kasih sayang di antara tokoh yang begitu kuat.
Bab 1
Perkenalan tiga tokoh utama, Rey, Boy dan Nana
"Apa akan sakit Rey?"
"Tidak Viona, bahkan kamu akan ketagihan nantinya. Bolehkan?"
"Tapi kalau sakit, Rey?"
"Aku akan membuatmu senyaman mungkin, percaya padaku Viona."
"Bagaimana kalau aku hamil, Rey?"
"Gak bakal, karena aku sudah memakai helm."
"Apa helem? Ha ha ha ha ...." Viona tertawa terbahak-bahak mendengar Rey yang memberi nama ko***m itu dengan sebutan helem.
Aku dan Viona sedang berada di rumah kosan Viona, awalnya kami hanya ingin mengerjakan tugas kuliah. Tapi entah kenapa melihatnya aku tergoda. Aku dan Viona saling mencintai dan kami ingin mencoba sesuatu yang belum pernah kami lakukan. Sebuah hubungan yang lebih ke arah hubungan suami istri.
Saat Viona sedang tertawa, Aku mengambil kesempatan untuk menyentuh bagian gunung kembar Viona, dan bibirnya ku tempelkan dengan bibir ini.
Kalau hanya sekedar ciuman bibir, leher dan bagian yang lain Aku sudah terbiasa melakukannya. Tapi jika pada hubungan yang satu ini, kami memang tidak pernah berniat melakukannya. Dan ini terjadi karena dukungan cuaca yang tengah hujan lebat. Aku tidak bisa pulang melewati hujan deras itu, dan Viona yang memberikan tumpangan untukku menginap di rumahnya.
"Rey," ucap Viona yang menahan tanganku yang hendak melepas pakaian yang melekat di tubuh Viona itu.
Aku menjawab ucapan Viona dengan sentuhan lidahku yang menjalar di bagian gunung kembar Viona, menggigit pucuk ranum itu sedikit dan memainkannya dengan lidah ini. Tanganku yang mulai bekerja melepas penutup selangkan Viona.
Awalnya Viona menolak dan menjauhkan tanganku dari selangkangannya itu, tapi entah kenapa sentuhan tanganku terasa nikmat. Terlebih saat Aku menekan-nekan jari tanganku masuk ke lobang saluran kewanitaannya itu.
Viona tidak bisa menyembunyikan perasaannya saat ini, dia merasa sedang berada di awang-awang saat aku menjalarkan lidahku di pinggir selangkangan itu.
Suara kecil keluar dari mulut Viona, dia merasakan sensasi kenikmatan yang tidak bisa digambarkannya, kenikmatan yang hanya di dapat sesaat saja.
Aku melakukannya lagi dan lagi, sampai Viona benar-benar merasa nyaman dan sampai Viona meminta lebih. "Ayo Rey, masukkan," ucap Viona yang sesekali menggigit bibir bawahnya.
Viona tidak sabar membiarkanku menembus dinding pertahanannya itu. "Kamu tahan yah, sayang. Awalnya memang pedih," ucapku yang dijawab anggukan dan desahan kecil dari mulut Viona.
"Aaahhh aahhh, Rey. Sakit." Viona merintih kesakitan saat benda tumpul itu pertama kali masuk ke dalam Miss V nya.
"Sebentar sayang, kamu harus tahan," ucapku yang berhasil menembus dinding pertahanan Viona dan memancarkan cairan darah segar.
Bahkan cairan darah segar itu menempel di bagian Mr P ku. "Perih Rey, sakit," ucap Viona.
Aku kembali melakukan perkenalan pada Viona, dengan memasukkan lembut jari tanganku terlebih dahulu, hinggap Aku kembali memasukkan Mr P ku ke dalam tengah selangkangannya itu. Itu aku lakukan berkali-kali sampai aku dan Viona benar-benar mendapatkan kepuasan.
"Enak Rey," ucap Viona yang sudah merasa nyaman dengan perpaduan itu.
Melihat tidak adanya lagi perlawanan dari Viona, membuatku semakin lagi dan lagi memasukkan dan mengeluarkan bagian Mr P ku itu. "Apa kamu suka, sayang?"
"Ummhhh, aku sangat suka Rey, ternyata enak. Apa ini yang dikatakan oleh orang surga dunia itu?"
POV Nana
"Na, Nana. Bangun! Ah kamu ini, anak gadis apa kamu ini, Na? Sudah siang masih saja tidur," sahut ayah yang membangunkanku, sebagai putri semata wayangnya itu. "Coba deh kamu lihat sudah jam berapa ini?" ucap ayah lagi seraya jari tangannya menunjuk ke arah jam dinding kamarku, bahkan ayah juga menarik selimut yang menutupi tubuhku yang masih bergelut dengan dinginnya pagi
"Ah ayah, masih jam 8 juga. Nana ngantuk yah, capek." balasku dengan kembali memejamkan mataku, aku mengacuhkan ayah yang sedari tadi berdiri di samping ku yang masih berbaring ini.
Ayah yang mendengar jawabanku itu marah, ayah bahkan menaikkan volume suaranya. Sehingga terdengar lebih kencang dari nada emosi nya saat ini. "Ayah tidak habis pikir dengan mu, kamu tidak juga berubah! Usiamu kini sudah memasuki 20 tahun. Belum ada tanda cowok menyukaimu, sampai kapan kamu begini Nak? Lihat semua kawan mu sudah pada nikah. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah memiliki anak dan lihat kamu. Sungguh memalukan! Apa salah ayah, Nak? Sehingga kamu begini."
Begitu lah ayahku setiap harinya, dia selalu membandingkanku dengan para sahabatku itu. Ayah tidak pernah tahu jika aku juga menginginkan seorang pria di dalam hidupku. Tapi siapa? Siapa yang mau dengan perempuan seperti aku. Yang hanya bisa membuat ayah marah dan kesal. "Apa yang kamu tunggu lagi, Nana? Sana berdiri. Bergegas mandi. Apa perlu ayah menyiram mu lagi dengan air seember?"
"Buset dah, ini juga Nana berdiri Yah. Jangan marah terus dong. Nanti ayah cepat tua."
"Kamu, apa kamu ingin ayah cepat mati, ha? Agar kamu puas hidup sendiri. Itu kan yang kamu mau?"
"Ayah mulai lagi deh, bahasannya gak asyik. Iya ya Nana berdiri. Nana mandi dan dandan yang cantik untuk ayah."
"Gitu dong, buruan!"
"Iya yah," balasku dengan lesu, baru saja aku menikmati mimpi indahku dengan pangeran impian. Eh ayah malah membangunkanku. Ya sudahlah lebih baik aku mengikuti apa yang ayah katakan. Daripada telingaku panas mendengar ocehan ayah yang tidak akan berhenti dari pagi hingga malam.
"Kenapa ayah tidak pernah memberikan aku kebebasan sih, seperti apa yang aku inginkan. Bahkan ayah juga melarang aku untuk melanjutkan pendidikanku, siapa coba yang betah tinggal di rumah tanpa ngapa-ngapain. Ayah mah. Ah, Nana benci. Benciiii." Aku menggerutu di dalam kamarku, mengingat akan peraturan yang dibuat ayah yang tidak masuk akal.
"Na, kamu tidak makan, nanti makanannya dingin loh!" pekik ayah dari luar pintu kamarku.
"Iya ya, ini juga Nana mau keluar, yah."
"Ya sudah, ayah duluan."
"Iya ayah," balasku
Aku mulai beranjak dari kamarku menuju arah dapur, aku tidak sabar menikmati hidangan makanan yang sudah disiapkan oleh bibi. Sementara ayah tengah asyik menikmati kopi, yang ditemani sebuah koran peneman pagi sebelum ayah melanjutkan aktivitasnya.
Perkenalkan dulu. Namaku Nana, seorang gadis tomboy piatu. Dimana ibuku telah lama tiada, saat usiaku 8 tahun. Ibu meninggal akibat kecelakaan yang menimpanya saat hendak menjemputku ke sekolah. Dan semenjak itu ayah memutuskan untuk membesarkanku seorang diri. Aku sangat sayang ayah bagiku ayah tidak hanya sekedar sosok ibu untukku melainkan segalanya.
"Na dalam waktu dua hari ini, jika tidak ada cowok yang mendekati kamu. Jangan salahkan Ayah untuk menjodohkanmu dengan kakakmu si Rey," ucap ayah yang sedari dulu menginginkanku menikah dengan Rey kakak sepupuku.
"Tapi yah, ahhh ... Ayah, Nana tidak mau."
Aku mencoba kompromi dengan ayah, mendekat dan menghentikan aktivitas makanku sesaat.
"Ayah, Nana tidak mau menikah dengan si anak manja itu, Yah. Jangan lakukan ini pada Nana, Yah. Nana tidak mungkin bisa menikah dengannya Yah. Ayah tau sendiri kan kalau Kak Rey itu ...."
"Ayah tidak minta persetujuan mu, ayah Hannya memberimu waktu dua hari," balas ayah yang memotong ucapanku.
"Isshhh, Nana tidak mau!" ucapku yang begitu marah, sehingga aku memutuskan untuk keluar. Aku mengambil kunci motor yang tergantung di tempat penyimpanan kunci.
"Na, kamu mau kemana?" tanya ayah yang melihat putri tercintanya itu main kabur begitu saja dari rumah.
Aku menghidupkan mesin motor ku dan hendak pergi. "Kelapangan Yah!" balasku yang memacu sepeda motorku dengan kecepatan penuh. Aku yakin mereka sudah menunggu kedatanganku.
Benar saja, aku melihat keberadaan mereka dari jauh, sehingga aku memilih memarkirkan sepeda motorku ini terlebih dahulu. Sebelum aku mulai bergabung dengan mereka.
"Gimana sih Nana, apa dia lupa hari ini akan jadwal pertandingan kita," ucap Anwar.
"Kenapa, captain kalian mana? Belum datang, takut dia tuh huu huuu," sorak tim lawan.
"Lagi palang merah mungkin itu," ucap tim lawan lagi.
Ha ha ha ha ha
Beberapa anggota tim lawan itu menertawai kelompokku.
Andi Rauf kapten tim lawan, seorang anak konglomerat dan terkenal jago dalam memainkan bola voli, tim ini tim yang paling berat. Andi juga tidak akan segan bermain curang dalam permainan demi meraih kemenangan.
Sahabatku hanya terdiam tidak berani melawan sang musuh, karena mereka tahu akan sekuensi nya jika melawan tim Andi itu.
Ha ha ha ha ha ....
Aku yang mendengar cemoohan itu menertawai mereka yang sedang meledek tim ku, seraya tangan ini melempar bola ke arah Andi. Bahkan aku menunjuk jari telunjuk ku ke arah Andi, yang berdiri di hadapan timku. Dia tidak tahu akan kedatangan ku. "Hei anak mami, sana pulang nanti nangis. Ha ha ha," balasku dan diikuti oleh sahabatku yang lain.
Andi melangkah kan kakinya selangkah lebih dekat ke arahku, sehingga para sahabatku itu berdiri untuk melindungiku.
"Hey, seharusnya kamu itu memasak, main boneka atau berdandan gitu. Bukannya bermain dengan anak cowok Ha ha ha ha," balas Andi yang diiringi sahabatnya yang lain.
Aku kembali melangkah kan kakiku ke Andi, sedikit lebih dekat ke hadapannya bahkan, aku berbisik di telinganya yang membuat beberapa tatapan itu menoleh ke arahku. "Kenapa kamu takut?" tanyaku dengan dibarengi senyum sinis yang terpancar dari raut wajahku saat ini. Setelah mengucapkan perkataan itu, yang membuat Andi kesal. Aku memilih melangkahkan kakiku menuju tengah lapangan bersama sahabatku.
"Tunggu!" panggil Andi
Sesaat aku terdiam walau tanpa menoleh ke arahnya, dia melakukan hal yang sama dengan apa yang aku lakukan. Dia berhenti tepat di sebelahku. "Aku harap kamu membawa tisu untuk menghapus air matamu kelak," bisik nya di telinga ini.
Ishhhh
Gerutu ku yang begitu kesal padanya, terlebih saat aku mendengar tawa para sahabatnya itu yang menertawaiku kini. Mereka bahkan mengolok-olok tim ku, aku begitu marah dan ingin menarik baju Andi. Tapi Alex menahan tangan ini. "Sudah Na, cuekin saja," sahut Alex
"Tapi Alex."
"Sudah Na, kita datang untuk bertanding. Bukan untuk berantem kan?"
"Baiklah Alex," balasku walau sejujurnya aku tidak senang dengan ejekan mereka.
Lihat saja Andi, aku akan mengalahkan tim mu.
"Ayo semangat, Na," ucap Alex dan yang lainnya.
"Hmmm, semangat," balasku yang menatap Andi dan tim nya, yang harus aku kalahkan. Aku ingin membuktikan pada Andi, jika aku juga mampu menjadi yang terbaik.
Pertandingan pun dimulai,dengan disambut para suporter yang datang memberi penyemangat. Sementara sang wasit mulai menjelaskan peraturan dalam permainan. "Ya sudah, apa kalian sudah mengerti?" tanya sang wasit.
"Mengerti Pak," balasku dan para pemain lainnya serentak.
"Ok kita mulai, satu dua tiga." Wasit mulai meniupkan peluitnya.
Permainan pun dimulai, kami dan tim Andi sama-sama berjuang untuk menjadi yang terbaik. Dua puluh menit pun berlalu tim Andi masih memegang skor nilai paling tinggi.
Andi dengan melempar senyum sinis ke arahku, menertawai tim ku yang kalah unggul dari tim mereka saat ini. "Siap- siap loh Na, beli tisu sana. Ha ha ha ha ha," ucap Andi yang mengolok-olokku.
"Segitu doang? Baru pemanasan ini, ok. Kita lihat siapa yang akan jadi juaranya," balasku yang membalas ejekannya, walau aku menyadari, jika saat ini tim ku sudah kalah jauh dengan tim Andi.
"Lihat ini Andi," ucapku melempar bola dari arah jauh dan masuk ke keranjang, membuat sahabatku itu semakin bersemangat untuk memenangkan pertandingan.
Suasana semakin seru, saat tim ku dan tim Andi sama-sama unggul. "Ayo Andi kamu bisa," ucap sahabatnya menyemangati Andi.
"Na, bagaimana kalau dia berhasil memasukkannya ke keranjang? Kita bisa kalah Na," ucap Ujang sahabatku.
"Berdoa saja Ujang, kalau dia gak bakalan bisa," balasku.
"Siap-siap gih buat beli tissue," ledek Andi padaku.
Aku tidak menanggapi ucapannya, aku memilih acuh saja, hingga dia melempar bola itu ke keranjang dan hasilnya.
Haaa haaaaa ha ha ....
"Sombong dipelihara," ucapku pada Andi yang tengah kecewa, karena dia tidak berhasil memasukkan bola itu ke dalam keranjang.
Aku mulai mengatur posisi, melihat dengan fokus ke arah depan. Dan mulai melempar bola itu ke keranjang.
"Yes, huh! Kita menang. Hore," ucapku dengan riang dan disambut kebahagiaan oleh para sahabatku. Kami menertawai kekalahan tim Andi yang tadi begitu angkuh dan sombong, tidak puas bagiku jika tidak membalas rasa angkuhnya tadi.
"Siapa sekarang yang harus beli tissue? Apa perlu aku yang belikan? Ha ha ha." Aku sangat puas bisa menertawai Andi, terlebih jika melihat mimik wajah kesalnya itu.
Dia begitu marah dan meninggalkan lapangan itu begitu saja. "Sana loe ngadu dengan mamimu! Masak kalah dengan cewek, huuu huuu." Aku menyoraki nya yang berjalan masuk ke mobilnya.
"Kamu hebat, Na," puji Alex dan yang lainnya.
"Biasa saja, sudah ah. Aku mau pulang!"
"Na, jangan lupa nanti malam," ucap Aldi.
"Sip, aku pasti datang," balasku yang berjalan tanpa melihat ke arah depan, karena tangan ini yang masih melambai ke arah sahabatku itu. Sehingga aku ....
Brughh
Aku tidak sengaja menabrak tubuh seorang pria yang sedang ada di hadapanku, dia mengenakan jaket hitam, masker dan topi yang menutupi kepalanya.
"Maaf maaf, aku tidak sengaja," ucapku padanya.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanyaku yang tidak dihiraukannya.
"Sombong banget sih," ucapku lagi yang melihatnya pergi berlalu begitu saja.
"Aku baik-baik saja, Na."
"Kenapa dia tahu namaku, siapa dia?"
Buku lain oleh Bulan
Selebihnya