Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sahabatmu adalah selingkuhanku

Sahabatmu adalah selingkuhanku

Bulan

5.0
Komentar
223
Penayangan
7
Bab

"Aku tidak akan menikah dengan wanita manapun, Kikan. Asalkan kamu janji untuk menerima pernikahanmu dengan sahabatku, Evan. Dan aku minta jangan pernah berpikiran untuk mengakhiri hidupmu," ucap Rio terhadap Kikan. Rio mendapat firasat jika Kikan merencanakan untuk melakukan bunuh diri, dan hal itu digagalkan oleh Rio. Dan sebagai gantinya Rio berjanji pada dirinya, jika Rio tidak akan pernah mencintai wanita manapun di dalam hatinya. "Tapi aku ingin menikah dengan kamu, Rio! Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu, Lantas kenapa kamu memintaku untuk menikah dengan pria lain." Kikan awalnya menolak permintaan Rio itu, namun Rio tetap ingin jika Kikan menikah dengan pilihan kedua orang tuanya itu. Jangan tanyakan tentang perasaan Rio yang hancur lebur, saat Rio mengetahui wanita yang akan menikah dengan sahabatnya itu adalah seorang wanita yang sangat dicintainya, bahkan cinta itu seperti mendarah daging di dalam hati Rio. Rio juga tidak bisa melakukan apapun untuk membatalkan pernikahan itu, mengingat di satu sisi orang tua Kikan sudah banyak berkorban untuk keluarganya, dan sang sahabat Evan sudah seperti saudaranya sendiri. Rio hanya bisa menyaksikan pernikahan orang yang dicintainya itu, walau air mata itu tetap saja menetes. Rio tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, jika dia tidak ikhlas melihat pernikahan sahabat dekatnya dengan wanita yang dicintainya itu. Sehingga akhirnya Rio memilih untuk menjadi orang ketiga di tengah pernikahan sahabatnya itu.

Bab 1 Rindu tak bertepi

Bab 1

Rindu tak bertepi

Air mata ini tiada henti membasahi pipi, semenjak Rio memutuskan untuk meninggalkanku. Aku tidak ingin dia pergi, sehingga aku berlari ke arah dia yang sedang menanti kereta yang akan membawanya untuk mencapai cita-citanya.

"Rio!!" Pekikku dengan keras yang menggemparkan stasiun kereta api itu, membuat semua mata tertuju ke arahku yang sedang menangis merintih.

"Kamu tidak boleh pergi, jangan pergi!!" Aku merengek seperti bocah kecil yang berusia belasan tahun. Menatap dia yang hendak melangkahkan kakinya ke dalam kereta itu.

Aku berlari ke arahnya yang menatapku, memelukku begitu erat. "Jangan pergi, jangan tinggalkan aku," lirihku terseduh ke arah dia yang menunjukkan nanar mata yang memerah, aku tidak memberikan kelonggaran sedikitpun saat memegang erat tangannya itu. Aku tidak ingin melepaskannya di saat mesin kereta itu sudah menyala.

"Kamu jangan pergi! Tidak bisakah kamu lebih lama tinggal disini? Aku ingin kita tetap bersama, aku akan sangat merindukanmu jika kamu pergi meninggalkanku, kamu tidak boleh pergi Rio," masih ucapku yang menggenggam erat badannya itu.

"Tidak Kikan, kamu jangan merindukanku! Karena rindu itu akan sangat menyakitimu, kamu boleh pergi dan memilih siapa saja yang kamu mau," balasnya padaku yang tengah marah, dimana perkataannya membuat amarah ini seakan naik. Kenapa dia dengan mudahnya berkata seperti itu? Di saat aku tidak ingin kehilangannya.

"Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Tidakkah kamu tahu, jika aku ingin selalu bersamamu, Rio."

"Tapi Kikan, aku harus pergi," balasnya lagi padaku. Apa Rio tidak tahu kalau aku wanita yang memiliki tipe susah untuk mencintai, dan jika aku telah mencintai seseorang akan sulit bagiku untuk melepaskannya.

"Kikan, aku harus pergi! Aku tidak ingin ketinggalan kereta, dan aku harus mengejar mimpiku. Mimpi menjadi seorang dokter hebat agar kelak aku bisa menolong mereka yang membutuhkanku." Rio masih berusaha melepaskan genggaman tangan ini.

"Tidak bisakah Kamu bersekolah disini? Disini juga terdapat perguruan tinggi yang bagus, kenapa mesti ke negeri orang?" ujarku bertanya padanya.

Rio menjepit hidung ini dengan kedua jarinya. "Kamu kan tahu, jika aku tidak sekaya kamu! Dan aku hanya dapat beasiswa dari universitas di negri orang, sudah terima saja pertunangan yang papamu bilang. Dan belajar melupakanku."

"Tidak!!" Bentakku ke arahnya, sementara bunyi suara kereta api itu sudah menyala dan hendak melaju.

"Aku pergi jangan merindukanku," lirihnya berlari kencang ke arah kereta api yang siap membawa para penumpang itu.

"Tidak kkkkk … Rio!! Kembali," jerit tangisku yang melihat kepergiannya.

Kenapa kamu harus pergi? Kenapa harus singgah di hati ini, jika berakhir perih kenapa mesti menyapa. Aku tidak pernah memintamu untuk hadir di hati ini, tapi. Kenapa datang jika meninggalkan duka.

Aku berjalan bagai orang yang hilang nyawa, inilah yang disebut seperti istilah hidup segan mati tak mau. Sepanjang perjalananku pulang ke rumah, tak setetes pun air mata ini kering.

Begitu sesak rasanya hati ini, yang menatapnya pergi berlalu. Ingin mengejarnya dan menghentikan laju kereta api itu, tapi aku tidak sanggup. Langkah kaki ini terlalu kecil untuk mengejar kecepatan laju kereta itu.

"Kapan kamu akan pulang, bahkan aku tidak bisa menghubungimu lagi." lirihku yang mengingat, jika Rio menjual telepon selulernya untuk membayar ongkos keberangkatannya.

Aku menawarkan bantuan padanya, dengan memberikan sejumlah uang tabunganku yang sudah aku siapkan. Tapi dia menolaknya.

Flash back sebelum keberangkatan.

"Kamu mau kemana Rio? Sudah rapi saja," ujarku yang melihatnya hendak melajukan sepeda motor kuno yang selalu menemaninya.

Rio merupakan murid yang berprestasi, dia mendapatkan beasiswa dari kepintarannya, dan keluarganya merupakan keluarga yang tidak mampu. Memiliki dua orang adik yang harus dia jaga, sementara ayahnya telah lama meninggal. Ibunya hanya buruh cuci di rumahku. Kehidupan kami bak ratu dan babu.

Tapi aku tidak peduli, walau papa tiriku dan mama selalu melarangku untuk mendekatinya. Aku mencintainya dari awal aku kembali tinggal bersama mama, karena dulu aku tinggal bersama papaku.

Semenjak perceraian mama dengan papa, aku merasa tidak menemukan kebahagiaan. Hingga mama memintaku kembali tinggal bersamanya, aku sedikit beruntung karena memiliki papa tiri yang baik. Sayang denganku dan mama, tapi aku membenci mereka karena melarangku mencintai Rio. Seseorang yang sangat aku kagumi.

"Tidak, aku hanya ingin ke konter sebentar," balasnya

"Aku ikut." Aku pun duduk di motor merk Astra yang selalu dipakainya.

"Tapi, Kikan!" Dia menatapku seolah ragu untuk pergi.

"Ayo, aku juga mau ke konter! Mau beli paket data ku sepertinya habis."

"Bukannya kamu pakai WiFi?" tanyanya yang menatapku yang terlebih dahulu duduk di motornya itu.

"Humm … aku mau beli untuk kamu! Agar kamu tidak punya alasan untuk tidak membalas chatku."

"Tapi Kin … argh, turun Kikan!" Pintanya yang tidak aku hiraukan, bahkan aku melingkarkan tangan ini di pinggangnya. "Ayo maju keburu tutup itu konter," balasku yang mendesak dan memegang erat pinggangnya dari belakang.

"Tapi Kikan," masih ujarnya yang ragu dan menampakkan raut wajah cemas.

"Ayo Rio, apa perlu aku yang bawa," ancamku padanya, padahal aku sama sekali tidak pandai membawa motor, jangankan sepeda motor membawa sepeda saja aku tidak bisa. Ha ha ha … batinku dalam hati ini, yang melihatnya dengan terpaksa melajukan sepeda motornya itu.

Hingga kami sampai di sebuah konter langgananku. "Ayo masuk." aku menarik tangan Rio masuk ke dalam konter itu.

Wajahnya masih menunjukkan kebimbangan yang hendak menyapa pelayan konter HP itu. "Rio, tadi kamu mau apa? Oh iya mbak, aku minta paketnya dong, yang mana yah … uhmm … yang kira-kira kuotanya yang paling banyak mbak," pintaku ke arah di mbak pemilik konter.

Mbaknya pun mengeluarkan beberapa kuota sesuai dengan permintaanku. "Rio, kamu tadi mau apa?"

Aku menatap Rio yang seakan kebingungan, dan seakan sedang memikirkan sesuatu. Membuatku semakin penasaran. "Rio, kamu tadi mau apa?" tanyaku ulang.

"Mbak, aku mau jual telepon genggam ku ini! Berapa yah kira-kira."

"Ha!" Aku melotot tidak percaya dengan apa yang kudengar dan kulihat.

"Ini laku 5jt an," ujar sang pelayan.

"Gak bisa naik mbak, aku baru beli ini satu Minggu kemarin dan harganya mendekati 9 Juta an mbak," balas Rio yang sedang melakukan perbincangan dengan pemilik konter.

"Apa yang kamu lakukan Rio?" Aku menarik telepon seluler milik Rio yang sedang di pegang si mbak. "Maaf Mbak, gak jadi dijual," ujarku kepada pemilik konter itu lagi.

"Ish, apaan sih." Rio menarik kembali telepon genggamnya.

"Baiklah Mbak deal, lima juta," ujar Rio yang berjabat tangan dengan pemilik konter.

"Kamu demam Rio!" Aku meletakkan tangan ini di kening Rio. "Atau kepalamu terbentur! Sini Mbak hpnya gak jadi jual," ujarku yang ingin meraih telepon itu lagi, membuat Rio menahan tangan ini yang ingin mengambil telepon itu lagi.

"Telepon, teleponku! Kok kamu yang marah?"

"Argh, ah … untuk apa sih! Jika kamu butuh duit, aku bisa berikan berapapun yang kamu mau!"

"Jangan ukur aku dengan duitmu," ujarnya yang marah dan mengambil duit dari mbak pemilik konter itu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Bulan

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku