Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut ke dalam kamar tidur utama rumah bergaya minimalis di kawasan elit Jakarta Selatan. Tirai tipis bergoyang pelan tertiup angin dari jendela yang terbuka sedikit. Aroma kopi baru diseduh samar-samar menyeruak dari dapur, bersatu dengan wangi bunga segar yang selalu diletakkan Nayla di vas kristal dekat ranjang.
membuka mata perlahan. Ia menatap langit-langit putih bersih sambil menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan semangat yang berserakan seperti serpihan kaca. Dari luar, hidupnya tampak sempurna-istri dari seorang pengusaha muda yang sukses, tinggal di rumah besar, dan punya reputasi sosial yang mengilap. Namun, hanya Nayla yang tahu bahwa kesempurnaan itu hanyalah dekorasi panggung; di baliknya, ada kebohongan yang membusuk perlahan.
"Selamat pagi, Sayang," suara terdengar dari ambang pintu. Pria itu melangkah masuk, rapi dengan setelan kerja berwarna abu muda, dasi biru laut, dan senyum yang nyaris terlalu sempurna untuk bisa dipercaya. Ia membawa nampan kecil berisi secangkir kopi hitam dan roti panggang.
Nayla memaksakan diri tersenyum. "Pagi juga."
"Bangun jam segini, tumben. Biasanya kamu sudah keliling rumah sebelum aku mandi," goda Rafka ringan sambil meletakkan nampan di meja kecil samping tempat tidur. "Aku pikir istri cantikku ini mulai malas."
Nayla terkekeh pelan, walau tawanya hambar. "Sesekali boleh, kan."
Rafka mencium keningnya singkat, lalu melirik jam tangan. "Aku harus berangkat sekarang. Ada meeting penting jam delapan." Ia berdiri, merapikan jasnya di depan cermin, lalu menoleh sekali lagi. "Malam ini aku mungkin pulang agak larut. Jangan tunggu, ya."
"Seperti biasa," Nayla menjawab datar.
Pria itu tidak menyadari nada dingin dalam suaranya-atau pura-pura tidak peduli. Ia hanya tersenyum, lalu berjalan keluar dengan langkah tegap penuh percaya diri. Beberapa detik kemudian, suara mesin mobil sport kesayangannya meraung di garasi, lalu melesat menjauh.
Nayla menatap cangkir kopi itu lama. Wangi kopi favoritnya-Arabica dari Ethiopia-menyengat indra penciuman, tapi tidak membangkitkan selera. Tangannya gemetar halus ketika ia meraih ponsel di meja. Layar ponselnya menyala, menampilkan pesan yang sudah ia simpan selama seminggu terakhir, pesan yang mematahkan hatinya dan sekaligus membakar semangatnya.
**"Terima kasih untuk weekend yang indah. Aku sudah merindukanmu lagi. -R."**
Bersama pesan itu ada foto: Rafka sedang duduk di balkon sebuah vila pinggir pantai, bersandar santai dengan kemeja putih setengah terbuka, dan di belakang kamera, sebuah tangan perempuan terlihat menyodorkan segelas wine merah. Tangan dengan kuku dicat merah menyala.
Nayla menutup mata erat-erat. Masih ada bagian dari dirinya yang berharap pesan itu hanyalah kesalahan, bahwa mungkin itu editan atau jebakan. Tapi ia tahu itu bukan. Ia tahu persis vila itu-Rafka pernah menyebutkannya sebagai tempat "retret kerja" milik kolega. Ia juga tahu jam tangan hitam yang dikenakan pria itu dalam foto, jam hadiah ulang tahun dari dirinya tahun lalu. Tidak ada keraguan.
Suaminya berselingkuh.
Dan anehnya, setelah semua air mata yang ia keluarkan diam-diam di kamar mandi malam-malam, setelah dadanya nyeri dan kepalanya berdenyut karena menahan amarah, yang tersisa sekarang justru... ketenangan. Dingin. Seperti es yang membungkus nadi.
---
Hari itu, Nayla memilih tidak pergi ke butik desain interiornya. Ia duduk di ruang kerja pribadinya di lantai dua, menatap papan moodboard yang biasanya penuh potongan kain dan foto furnitur, kini berganti dengan peta kecil, catatan, dan beberapa nama yang ia tulis dengan spidol merah.
Di tengah papan itu: nama "Rafka Dirgantara" dengan lingkaran hitam pekat, dan di sampingnya, sebuah tanda tanya besar: "Dia."
Perempuan itu. Si istri simpanan.
Nayla belum tahu namanya. Belum tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau bagaimana ia bisa menyusup ke hidup mereka. Tapi ia tahu satu hal: perempuan itu ada, dan ia harus ditemukan.
Pintu ruang kerja diketuk pelan. Seorang perempuan muda berkacamata muncul dari balik pintu. "Mbak Nayla, saya bawakan jusnya," ucapnya. Ini ****, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Nayla di butik.
"Taruh saja di meja, Sinta. Terima kasih."
Sinta menatap papan moodboard itu sekilas, alisnya terangkat. "Lagi bikin konsep baru ya, Mbak?"
"Semacam itu," jawab Nayla singkat, lalu menambahkan, "Oh ya, nanti tolong atur supaya aku tidak ada janji temu sampai minggu depan. Aku butuh waktu sendiri."
Sinta mengangguk tanpa bertanya lebih jauh, lalu keluar lagi. Pintu tertutup, dan Nayla kembali menatap nama suaminya di papan. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum, lebih seperti tarikan benang yang nyaris putus.
Kalau Rafka pikir ia bisa menghancurkannya diam-diam, ia keliru besar.
---
Malamnya, rumah mereka diterangi cahaya hangat lampu gantung kristal. Meja makan sudah tertata sempurna, dengan lilin-lilin ramping dan vas mawar putih. Rafka baru pulang, menanggalkan jasnya di sandaran kursi, lalu duduk santai. Ia tampak lelah, tapi matanya berbinar saat melihat steak wagyu di hadapannya.
"Kamu memang istri terbaik di dunia," katanya sambil mengangkat gelas anggur.
Nayla ikut mengangkat gelasnya, meneguk sedikit anggur merah, lalu menatap suaminya dalam diam.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Rafka dengan tawa kecil.
"Tidak apa-apa," jawab Nayla, suaranya lembut. "Aku cuma... bersyukur masih punya kamu."
Kalimat itu meluncur begitu saja, mulus, manis-dan sepenuhnya bohong. Dalam hati, Nayla membayangkan melempar gelas itu ke wajahnya. Tapi tidak, belum. Masih terlalu dini. Permainan ini butuh kesabaran. Ia harus membuat Rafka merasa aman, sangat aman... sampai akhirnya ia menarik karpet dari bawah kakinya.
Setelah makan malam, Rafka langsung masuk ke ruang kerja, seperti biasa. Nayla naik ke kamarnya sendiri. Ia duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin.
Seorang perempuan cantik, elegan, tampak sempurna. Tapi matanya-mata itu penuh luka. Ia mendekatkan wajahnya ke cermin, lalu tersenyum tipis. "Kamu tidak akan menang, Rafka," bisiknya pada bayangan dirinya sendiri. "Aku akan membuatmu menyesal."
---
Hari-hari berikutnya, Nayla menjalankan hidup seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Ia masih memimpin rapat di butik, masih menghadiri acara sosial, masih tersenyum dalam setiap foto yang diunggah media gaya hidup. Tapi diam-diam, ia mulai menyusun "Operasi Pembalasan".
Langkah pertamanya: memata-matai.
/0/28110/coverorgin.jpg?v=0ce6f4616f3d5da4baede866d3339c50&imageMogr2/format/webp)
/0/2940/coverorgin.jpg?v=f401f6aae5ee1f6a413640130ec253ab&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)
/0/27348/coverorgin.jpg?v=d03135f88c040ab6b4a43dd110bddc24&imageMogr2/format/webp)
/0/3853/coverorgin.jpg?v=b9640e1bc4332274459607b536ffc0db&imageMogr2/format/webp)
/0/23705/coverorgin.jpg?v=6209c31bca2b5f0db9b5e010ebeac781&imageMogr2/format/webp)
/0/4022/coverorgin.jpg?v=90e941fb432bdcbf3ba80a4e5893ccf8&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)
/0/2853/coverorgin.jpg?v=fd51cd88155fa6cc34f6b48d0336aed3&imageMogr2/format/webp)
/0/20413/coverorgin.jpg?v=ec86fab74cc2046f1ea680264dba5204&imageMogr2/format/webp)
/0/3629/coverorgin.jpg?v=7b79e3e2cfce30a72d9676681fbc5809&imageMogr2/format/webp)
/0/13745/coverorgin.jpg?v=561446b6eee65e8cba6b86ec5d98b026&imageMogr2/format/webp)
/0/13674/coverorgin.jpg?v=1413c5ec5e3dfea933b86330255a89ee&imageMogr2/format/webp)
/0/13203/coverorgin.jpg?v=dce661cc3a9f7d83e9b09db4a9dfd537&imageMogr2/format/webp)
/0/3062/coverorgin.jpg?v=c1b66c6c3adae32b3b4caa61c3dfd6a5&imageMogr2/format/webp)
/0/2744/coverorgin.jpg?v=34dc371bad51a2740480c7a38a5d8518&imageMogr2/format/webp)
/0/5472/coverorgin.jpg?v=10b7f3df1d4895a07dbbd640a08d6b4d&imageMogr2/format/webp)