Selama empat puluh tahun, aku hidup sebagai istri pajangan Don John, pemimpin mafia yang kejam. Aku diam saja saat selingkuhannya, Angel, melenggang masuk ke rumahku, menghinaku di meja makan, dan bertingkah seolah dia adalah ratu di istana ini. Namun, saat aku akhirnya memutuskan untuk pergi dan menyerahkan surat cerai, takdir mempermainkanku dengan cara yang paling gila. Dokter menyatakan aku hamil di usia senja, tepat saat rahasia besar terkuak bahwa Angel sebenarnya mandul dan takkan pernah bisa memberi John pewaris. Aku memilih kabur ke desa seni terpencil di tengah badai salju, menyembunyikan perutku yang mulai membuncit. John, yang terlambat menyadari bahwa akulah satu-satunya yang setia, menjadi gila. Dia mencampakkan Angel dan menerobos badai es yang mematikan hanya untuk menemukanku. Dia berlutut di lantai pondokku yang dingin, menangis dan memohon demi anak dalam kandunganku, berharap bisa memperbaiki ego dan keluarganya yang hancur. Tapi dia lupa, cinta tidak butuh waktu empat puluh tahun untuk sadar. Aku menatap matanya tanpa rasa, lalu menutup pintu tepat di depan wajahnya. "Pergilah, John. Aku bukan lagi istrimu."
Selama empat puluh tahun, aku hidup sebagai istri pajangan Don John, pemimpin mafia yang kejam.
Aku diam saja saat selingkuhannya, Angel, melenggang masuk ke rumahku, menghinaku di meja makan, dan bertingkah seolah dia adalah ratu di istana ini.
Namun, saat aku akhirnya memutuskan untuk pergi dan menyerahkan surat cerai, takdir mempermainkanku dengan cara yang paling gila.
Dokter menyatakan aku hamil di usia senja, tepat saat rahasia besar terkuak bahwa Angel sebenarnya mandul dan takkan pernah bisa memberi John pewaris.
Aku memilih kabur ke desa seni terpencil di tengah badai salju, menyembunyikan perutku yang mulai membuncit.
John, yang terlambat menyadari bahwa akulah satu-satunya yang setia, menjadi gila.
Dia mencampakkan Angel dan menerobos badai es yang mematikan hanya untuk menemukanku.
Dia berlutut di lantai pondokku yang dingin, menangis dan memohon demi anak dalam kandunganku, berharap bisa memperbaiki ego dan keluarganya yang hancur.
Tapi dia lupa, cinta tidak butuh waktu empat puluh tahun untuk sadar.
Aku menatap matanya tanpa rasa, lalu menutup pintu tepat di depan wajahnya.
"Pergilah, John. Aku bukan lagi istrimu."
Bab 1
Celia POV
Baru saja aku menyapu wajah suamiku dengan lapisan cat hitam yang pekat dan tebal ketika wanita simpanannya melenggang masuk ke studio, menanyakan menu makan malam seolah-olah dialah nyonya rumah di sini.
Kuas di tanganku masih basah, membiarkan tetesan warna kegelapan jatuh satu per satu, menodai lantai kayu mahoni yang harganya selangit itu.
Aku tidak gemetar.
Aku tidak menangis.
Hanya ada rasa dingin yang merambat perlahan, membekukan ujung jari hingga menusuk ke sumsum tulangku.
Don John, pemimpin klan mafia yang paling ditakuti di kota ini, selalu menuntut lukisan dirinya yang sempurna.
Gagah.
Berwibawa.
Abadi.
Tapi hari ini, aku memutuskan untuk melukis sebuah kebenaran.
Studio ini luas, dikelilingi dinding kaca yang menghadap ke taman yang terawat sempurna, namun bagiku, tempat ini tak ubahnya peti mati kaca.
Indah, namun menyesakkan.
Suara langkah kaki yang ringan namun penuh percaya diri memecah kesunyian suci studioku.
Angel masuk.
Dia membawa katalog lelang seni terbaru di tangannya, mengibas-ngibaskannya di udara seolah itu adalah bendera kemenangan pasca perang.
Aroma parfum mahalnya langsung menyerbu hidungku, bertarung sengit dengan bau tajam terpentin dan cat minyak yang menenangkan.
Baunya seperti sebuah penjajahan.
"Celia, sayang," suaranya manis, terlalu manis, seperti sirup yang dicampur racun sianida. "Kau masih berkutat dengan itu? John sudah tidak sabar melihat hasilnya."
Dia berjalan mendekat, berdiri tepat di belakangku.
Tangannya yang terawat rapi-tanpa noda cat sedikitpun-menyentuh bahuku.
Sentuhan itu terasa seperti lilitan ular.
Dia menyodorkan katalog itu tepat di depan wajahku, sengaja memblokir pandanganku pada kanvas yang baru saja kurusak.
"Lihat ini, ada patung Renaisans yang John incar. Dia bilang itu akan sangat cocok di ruang tamu utama. Bagaimana menurutmu?"
Nada bicaranya santai, seolah dia sedang berbicara dengan kepala pelayan, bukan istri sah dari pria yang sedang dia bicarakan.
Aku memaksakan sudut bibirku untuk naik.
Senyum palsu ini adalah mahakarya yang sudah kulatih selama empat puluh tahun.
"Itu pilihan yang bagus, Angel," kataku pelan, suaraku datar tanpa emosi. "Tolong sampaikan pada John, makan malam akan siap tepat waktu. Apakah dia akan pulang malam ini?"
Angel tertawa kecil, suara yang terdengar seperti lonceng retak yang menyakitkan telingaku.
Dia melepaskan tangannya dari bahuku, dan rasanya aku baru bisa bernapas lagi.
Dia melempar katalog itu ke meja di samping sandaran kanvas, melirik sekilas ke lukisanku tanpa benar-benar melihat apa yang telah kulakukan.
Matanya berkilat meremehkan.
"Kau tahu bagaimana John," katanya sambil merapikan rambutnya yang sempurna. "Don John tidak punya waktu untuk hal-hal sepele seperti makan malam keluarga. Dia lebih peduli pada 'bisnis' dan masa depan klan."
Kata-kata itu menghantamku.
Masa depan.
Sesuatu yang tidak pernah dia diskusikan denganku.
Jariku menegang di pinggiran kanvas, mencengkeram kayu itu erat-erat, tapi aku segera menahannya dengan tangan kiriku.
Wajahku tetap datar, topeng porselen yang tak retak.
Pikiranku melayang ke empat puluh tahun yang lalu.
Saat itu aku hanya putri dari keluarga prajurit rendahan.
Ayahku menyerahkanku kepada John seperti menyerahkan seekor domba kurban di altar perdamaian.
Pernikahan yang diatur demi memperkuat aliansi, bukan menyatukan hati.
John muda saat itu tampan, penuh kekuatan yang memabukkan.
Ada saat-saat langka di mana dia menatapku dengan lembut, dan aku-gadis bodoh yang naif itu-mengira itu adalah cinta.
Tapi cinta dalam dunia mafia hanyalah ilusi optik.
Loyalitas adalah mata uang yang berlaku, dan aku telah membayarnya lunas dengan seluruh hidupku.
Sekarang, Angel ada di mana-mana.
Dia adalah sekretarisnya.
Penasihat seninya.
Wanita yang duduk di sampingnya saat rapat tertutup.
Dia seperti tanaman parasit yang melilit pohon tua, perlahan namun pasti mematikan inangnya.
Ingatanku terseret kembali ke rekaman CCTV tersembunyi yang kutemukan di ruang rahasia John minggu lalu.
Layar itu menampilkan mereka berdua.
Berpelukan.
Tertawa.
Menertawakan betapa "patuhnya" aku, betapa bodohnya kesetiaanku.
"Dia tidak akan pernah pergi," suara John terdengar jelas dalam rekaman itu, dingin dan tanpa penyesalan. "Celia terlalu takut pada dunia luar."
Fantasi empat puluh tahunku hancur menjadi debu dalam hitungan detik.
Angel sudah berbalik, bersiap untuk pergi, yakin sepenuhnya bahwa dia telah memenangkan pertempuran kecil ini.
Aku menatap punggungnya, lalu beralih ke tumpukan lukisan di sudut ruangan yang tertutup kain debu.
Itu adalah satu-satunya hal yang murni milikku.
Satu-satunya sumber uang yang tidak terlacak oleh radar klan.
Aku berjalan pelan ke salah satu bingkai lukisan besar di sudut gelap ruangan.
Dengan hati-hati, aku meraba bagian belakang bingkai itu, mencari celah tersembunyi, dan menarik keluar sebuah amplop tipis.
Di dalamnya ada catatan transaksi penjualan seni rahasia yang telah kulakukan selama bertahun-tahun di pasar gelap.
Uang darah yang perlahan kubersihkan menjadi tiket kebebasan.
"Empat puluh tahun aku hidup dalam bayanganmu, John," bisikku pada ruangan kosong itu, suaraku bergetar oleh amarah yang akhirnya terlepas.
"Kau mencuri hidupku, tapi sekarang aku akan mengambil harganya."
Aku menyentuh kertas-kertas itu, merasakan teksturnya yang kasar di ujung jariku.
Ini bukan sekadar uang.
Ini adalah bensin.
Dan aku siap menyalakan api yang akan membakar sangkar emas ini hingga menjadi abu.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya