Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Mas! Ini serius boleh di tanamin bunga sama aku?" teriak Zita sambil memegang skop kecil dan bibit bunga di tangannya.
"Hm," jawab Pandu sembari bermain game di ruang tengah rumah mereka di kota Dumai.
"Bibit bunganya hidup nggak di tanam di sini?! Nanti mati belum keluar pucuknya?" Masih berdiri di pintu ruang tamu, Zita menatap suaminya yang mengangguk.
"Mas!" Panggil Zita lebih kencang. Pandu menoleh.
"Tanam aja, kalau mati, tanam lagi yang baru." Sahutnya santai dengan nada suara beratnya.
"Aku tanam bunga bangke sekalian aja kalau gitu." Ambek Zita.
"Ide bagus, Zit! Kamu bisa masuk TV karena rumah kita viral, ada bunga bangkenya." Sahut Pandu lagi. Zita kesal, baru pindah setelah satu minggu menetap di hotel, mendadak ia emosi karena Pandu terlalu cuek, santai dan masa bodoh dengan apa saja yang istrinya lakukan itu dengan semua yang ada di rumah.
Zita senang menanam bunga, beruntung halaman rumah itu masih bisa ditumbuhi rerumputan walau cuacanya panas terik. Ia belum sempat berkenalan dengan tetangga, karena lagi-lagi, Pandu mager kalau udah di rumah.
Tak lama kemudian....
"Zit! Zita!" Panggil Pandu dari dalam rumah. Wanita yang sadar namanya di panggil, sontak mematikan keran yang tersambung dengan selang, karena ia sedang menyiram bibit tanamannya.
"Ya," jawab Zita sudah berdiri di dekat suaminya itu.
"Makan, Zit, laper." Tatap Pandu sembari tersenyum. Pandu tak lagi brewokan, sesuai janji, suaminya itu mencukur hal yang membuat Zita sebal.
"Makan mie instan mau? Kamu tau kan aku--"
"Nggak bisa masak. Tau, yaudah bikinin, pake telor, cabe rawitnya tiga."
"Ya." Zita lalu berjalan melewati Pandu yang melirik seraya mengulum senyum. Kegiatan Zita di dapur masih bisa dilihat Pandu, rumah itu tak besar. Ruang tamu kecil, ruang tengah yang jadi satu dengan ruang makan, lalu dapur, ruang jemur baju di dekat dapur, dan dua kamar, rumah type 36 itu cukup bagi mereka.
"Zit, aku udah ngurus surat numpang nikah, tapi nggak bisa bulan depan ke Yogyanya, gimana?" Pandu bertanya dengan mata menatap layar televisi 52 inch dengan stik PS di tangannya.
"Gimana apanya?" Zita balik bertanya. Pandu menekan tanda henti sementara dibenda yang sedang ia pegang.
Saatnya isengin Zita. Ucap Pandu dalam hati.
Grep.
Tangan Pandu memeluk pinggang istrinya dari belakang. Zita berdiri mematung.
"Lepas. Mas! jangan sampai nih air kuah mienya tumpah ke mana-mana." Kesal. Zita jelas kesal, karena perjanjiannya kan, harus nikah sah di negara baru ada kegiatan enak-enak. Lagi pula, surat keterangan nikah agama dan sementara itu, juga tak bisa dilaporkan ke kantor untuk catatan fasilitas kesehatan dari kantor Pandu untuk Zita.
"Terus kapan, Zita sayang," ledek Pandu. Ujung hidung bangir Pandu menggesek wajah Zita yang memilih menjauhkan wajahnya dari hadapan Pandu.
"Mas! Ih! Jangan ngarep sebelum aku pegang buku nikah." Ia melepaskan pelukan tangan Pandu.
"Oke. Gini aja kalau gitu." Pandu menangkup wajah Zita. Dengan cepat pria itu mengecup berkali-kali bibir Zita. Dasar modus. Awalnya iseng, ujung-ujungnya nyosor. Zita protes, ia menghapus jejak bibir suaminya dengan punggung tangan. Kedua matanya menatap tajam. Ia menginjak kaki Pandu sekuat tenaga lalu membawa mangku berisi mie rebus telor extra rawit tiga ke meja makan. Pandu cekikikan, tapi seketika ia syok. Zita menikmati mie rebus requesannya dengan santai. Mengabaikan dirinya yang lapar.
"Heh anak kecil! Aku yang minta. Sini!" tegur Pandu. Zita melirik sinis, ia memunggungi suaminya. Menikmati mie rebus yang buru-buru ia tiup lalu menikmatinya. Pandu menelan ludahnya, ia lapar, auto ngiler.