Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dinikahi Paksa Tuan Mafia

Dinikahi Paksa Tuan Mafia

Kaiwen

5.0
Komentar
165
Penayangan
4
Bab

"Kau butuh suami, bukan untukmu, tapi anak di kandunganmu." Seorang pria tak dikenal mau bertanggung jawab dan menikahi Aruna yang sudah hamil anak pria lain. Aruna pikir, pria bernama Yuksel itu mau menikah karena ingin mendapatkan warisan 500 juta milik ayahnya. Tapi, ada alasan lain dibalik semua itu. Tapi, hubungan semakin pelik saat ayah dari anak Aruna kembali hadir dalam hidupnya dan merecoki rumah tangga Aruna dengan Yuksel yang tak berlandaskan cinta.

Bab 1 Tanggung Jawab Dari Pria Lain

"Tapi ... jika aku sampai hamil bagaimana?"

Pertanyaan yang dilontarkan cukup serius. Namun sang pendengar yang baru saja meletakkan secangkir teh hangat, nampak tertawa kecil. Tawa yang masih terdengar jelas, meski suara televisi mengisi ruangan.

"Aruna," mulut itu mulai menyebut namanya.

"Sayang, kita baru sekali melakukannya. Hamil? Itu hal yang mustahil."

Jari jemari Aruna meremas dress. Mata yang semula penuh dengan keraguan, mulai menatap sosok pria tercinta bernama Adrian. Pria yang dua hari lalu merilis album baru juga mendapat penghargaan sebagai aktor pendatang baru terbaik.

"Aku tanya jika, lantas kita harus bagaimana?"

Di antara sofa yang lebar dan tersebar itu, pria terkenal ini lebih memilih duduk di sebelahnya. Tangan yang biasa menulis lagu, mulai menggenggam jemari Aruna.

"Menikah?" tanya Adrian membuat matanya menatap lebih lekat, "karirku sedang melambung tinggi, tak mungkin aku melanggar kontrak yang sudah ditanda tangani dengan agensi."

"Bukankah ada dokter ilegal di negara ini, apa gunanya mereka kalau anak di luar nikah tetap lahir kan?" lanjut Adrian memberi tahu dengan serius.

Mata yang saling menatap tapi sibuk dengan pemikiran masing-masing. Perlahan mengundang Adrian untuk mendekatkan wajah pada Aruna. Bibir yang punya tujuan untuk mencium itu, membuat kepala Aruna terburu melengos.

"Kenapa Sayang?" tanya Adrian terlihat heran.

"Aku ingin pulang." Matanya mulai memanas.

Adrian menatap lekat. "Di luar ada reporter yang berkeliaran, kau mau pulang malam begini?"

"Ibuku akan mencariku kalau sampai jam 10 belum pulang," tegasnya.

Adrian menarik napas. "Meski begitu, tapi aku tidak bisa mengantarmu kalau jam segini. Aku baru bisa melakukannya saat tengah malam."

"Dan saat tengah malam, kau akan beralasan sudah malam. Aku harus menginap, begitu kan?" tebak Aruna dengan mata menyorot dingin.

Sama seperti malam itu. Ketika rayuan yang manis serta sentuhan yang membuat bergetar, Aruna terperangkap oleh kenikmatan sesaat yang merusak segalanya. Rencana masa depan tepatnya.

Bibir Adrian tersenyum. "Jadi, tidak ingin menginap?"

Aruna langsung berdiri. "Malam seperti itu, aku tidak ingin mengulanginya lagi."

Ucapan yang Aruna lontarkan berhasil membuat senyum di bibir Adrian langsung hilang. Kemudian tubuh ikut berdiri dan mulai membukakan pintu untuknya. Apartemen yang setengah tahun lalu baru dibeli dan ditempati sekiranya dua bulan, tepat saat malam itu terjadi kesalahan terbesar dalam hidup Aruna.

"Tapi Sayang, sepertinya aku tidak bisa mengantarmu," ujar Adrian begitu tubuhnya diambang pintu dan kekasihnya ini sibuk menutupi wajah.

Aruna memunggungi Adrian. "Tidak usah mengantar."

Sepanjang kaki Aruna melangkah. Air mata terus saja mengalir dan Aruna sama sekali tidak merasa malu jika bertemu orang. Karena sudah ada hal yang sangat memalukan dalam hidupnya.

Jari-jemari Aruna bergetar. Ini bukan persoalan menyembunyikan uang yang sekali remas akan menghilang dari pandangan. Bukan sama sekali. Tapi, sebuah aib yang akan tumbuh semakin besar dan mengundang perhatian.

Aruna mengandung anak dari Adrian, seorang aktor sekaligus penyanyi terkenal.

Di sudut halte bus yang cukup sepi itu. Aruna berjongkok dan sibuk muntah, meski hasilnya tak ada satu pun sisa makanan yang keluar dari mulutnya.

"Perutku sangat mual," keluh Aruna sembari mengusap perutnya.

Rasa ingin mual kembali singgah dan Aruna kali ini benar-benar muntah di sana. Di antara banyaknya pengendara yang sedang ditahan oleh lampu merah, penghuni mobil berwarna silver langsung berdecak kesal saat menurunkan kaca.

"Sial sekali, ingin mencari udara segar malah menemukan orang muntah," gumam pria itu, pria yang mengenakan stelan jas dan nampak sangat rapi.

Sang sopir pun ikut melirik. "Apakah dia mabuk? Di kota ini masih saja ada yang mabuk secara terang-terangan, tidak takut ditangkap polisi?"

Mata pria itu masih menatap. Wajah yang tetap cantik meski sehabis muntah, hingga tangan yang mengelus perut itu membuat pria tersebut menyeringai.

"Sepertinya sedang ngidam," gumam pria itu lebih pelan dari sebelumnya.

"Sungguh kita akan ke rumah itu, Tuan Yuksel?"

Mata pria itu mulai menatap lurus, ke arah jalanan. "Ditolak sekali, aku akan menggunakan seribu alasan untuk datang."

Mobil silver itu mulai melaju, membawa pria tampan yang terlihat arogan itu semakin menjauh.

***

Lama menghabiskan isi perut di luar. Aruna memutuskan untuk pulang dengan menaiki taksi. Tapi, begitu sampai di depan rumah. Mata menemukan sebuah mobil silver terparkir di depan pekarangan.

"Sepertinya pak tua itu datang lagi dan berusaha membujuk ibu," ujarnya pelan.

Semakin memasuki pekarangan rumah. Aruna bisa mendengar suara ibunya yang berteriak memaki seseorang di dalam. Aruna memutuskan untuk membuka pintu.

Biasanya, ibu Aruna begitu melihatnya akan langsung berlari dan menghambur ke dalam pelukannya sembari menangis. Namun, hari ini ada yang berbeda. Ibunya, menatap sengit begitu melihatnya.

"Ibu, siapa ini?" tanya Aruna sembari melirik seorang pria tampan dengan stelan jas warna hitam, dia adalah Yuksel.

Aruna mengira kalau yang datang adalah pria tua, setiap hari akan datang meski selalu diusir. Tapi, hari ini yang berkunjung rupanya orang lain. Mata Yuksel melirik ke arahnya dengan raut sedikit terkejut, karena mengenali Aruna yang muntah di pinggir halte.

"Lebih baik kau pergi! Aku tidak ingin membicarakan masalah pria bejat itu yang sudah tiada!" seru ibunya marah.

Di mata Aruna, ayahnya adalah pria yang baik dan sederhana. Namun, nyatanya Aruna terlalu naif. Ayahnya cukup kaya hingga memiliki warisan 500 juta.

Jika saja itu uang halal, maka ibunya akan menerima dan hidup dengan mewah. Sayangnya ... uang itu berasal dari penjualan organ secara ilegal.

"Aku tidak akan menerimanya, jadi pergilah!" Dan ibunya selalu menolak mentah-mentah warisan itu.

Aruna melihat amarah ibunya semakin parah hari ini, tidak seperti biasanya. Namun, mata Aruna melotot saat menemukan alasan kemarahan ibunya yang berapi-api. Tes kehamilan yang tergenggam pada tangan ibunya, itu adalah pemicunya.

"Kenapa terkejut begitu? Padahal kau sendiri yang mengetesnya," sindir ibunya dengan tatapan marah besar.

"Ibu, aku bisa jelaskan," ujar Aruna sembari ingin menangis.

Namun, ibunya malah mendorong Yuksel untuk segera pergi. "Jangan datang lagi!"

Pintu rumah tertutup rapat dan kini giliran Aruna yang menerima kemarahan dari ibunya. Mata ibunya sudah dipenuhi oleh amarah, apalagi ketika tangan mengangkat tes kehamilan.

"Katakan, pria mana yang sudah menghamilimu? Kau tak punya kekasih, apa kau diperkosa?" pertanyaan ini terdengar lebih pelan, mungkin takut tetangga mendengar.

Aruna menelan ludah dengan air mata sudah terjatuh. "Bu ... aku ...."

Tubuh Aruna bergetar. Harusnya ia katakan anak ini adalah hasil buah cintanya dengan aktor ternama yang tidak ingin menikah karena karir.

"Katakan!" seru ibunya mulai tak sabar.

Aruna benar-benar tak sanggup mengungkap siapa ayah dari bayi di kandungannya. Apakah pria itu akan tanggung jawab? Itulah yang Aruna takutkan. Meski bicara pun, pada akhirnya semuanya akan menjadi sia-sia.

Sebuah tamparan melayang di pipi Aruna, hingga tubuhnya tersungkur. Aruna hanya bisa menangis, kesalahan ini telah melukai lubuk hati ibunya.

"Gugurkan," ujar ibunya ditengah amarah serta tangisan.

Aruna tertegun dan langsung mendongak. "Bu, bagaimana bisa seorang Ibu mengatakan hal buruk seperti ini?"

Jari ibunya menunjuk sengit. "Lantas kau mau melahirkannya? Di usiamu yang muda dan masih mahasiswi ini?"

Jemari Aruna mengepal. Jika sampai universitasnya tahu kehamilan ini, maka Aruna langsung didepak dan akan kesulitan mengejar cita-cita.

Tiba-tiba saja pintu rumah terbuka, pria yang tadi diusir oleh ibunya rupanya menguping dan langsung bersimpuh di sebelahnya tanpa ragu.

"Bu Diana, Aku yang menghamilinya, dan aku berjanji akan bertanggung jawab."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Kaiwen

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku