/0/27383/coverbig.jpg?v=20250904182604&imageMogr2/format/webp)
Almira Safira, seorang gadis yatim piatu yang kini tinggal bersama neneknya di sebuah gubuk tua di tepi hutan, harus menghadapi cobaan hidup yang penuh luka dan penderitaan. Sejak kedua orang tuanya meninggal secara tragis karena dibunuh orang tak dikenal, Almira terpaksa hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Ia tidak pernah tahu apa sebenarnya penyebab kematian mereka, hanya bisikan-bisikan samar dari penduduk desa yang tak berani blak-blakan. Karena sebuah fitnah yang dilontarkan orang berkuasa, Almira dan neneknya diasingkan jauh dari kehidupan desa. Orang itu adalah **Rangga Prakoso**, seorang tokoh terpandang sekaligus lelaki yang sangat ditakuti di wilayah tersebut. Rangga yang dikenal kejam, berusaha menjadikan Almira istri keempatnya. Namun, nenek Almira dengan segenap keberanian masih bisa menunda niat busuk itu dengan alasan menunggu Almira cukup umur. Sampai pada suatu malam penuh mencekam, ketika mereka tengah merencanakan pelarian, tiba-tiba seorang lelaki muda terkapar berlumuran darah di depan pintu belakang gubuk. "Nenek...!" teriak Almira dengan wajah pucat pasi. Jantungnya berdetak kencang, panik melihat sosok asing yang tergeletak tak berdaya. Siapa lelaki itu? Apa hubungannya dengan misteri kematian kedua orang tua Almira? Dan mampukah Almira melawan ambisi gelap Rangga Prakoso yang ingin memilikinya?
Malam itu hening. Hanya suara jangkrik dan desir angin hutan yang terdengar dari sela-sela dinding bambu gubuk kecil di tepi hutan. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menerangi wajah seorang gadis muda yang sedang duduk bersila di atas tikar usang. Gadis itu bernama Almira Safira, 17 tahun, rambut hitamnya tergerai menutupi sebagian wajah yang tampak sendu.
Sehari-hari, Almira membantu neneknya, Nenek Rahayu, bertahan hidup dengan menenun tikar dari pandan hutan, atau sesekali turun ke desa untuk menjual kayu bakar. Hidup mereka serba terbatas, jauh dari kebahagiaan yang semestinya dimiliki seorang gadis seumurannya.
Almira menatap keluar jendela bambu. Pandangannya kosong, tapi hatinya penuh gelisah. Sejak kecil, dia hanya tahu bahwa ayah dan ibunya meninggal dunia karena kecelakaan. Namun, semakin dewasa, ia mulai mendengar bisikan-bisikan lain. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa kedua orang tuanya dibunuh.
"Apa benar, Nek?" tanya Almira suatu malam, dengan suara bergetar. "Apa benar ayah dan ibu tidak meninggal karena kecelakaan, melainkan dibunuh seseorang?"
Nenek Rahayu hanya menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, namun bibirnya enggan menjawab jujur.
"Kau terlalu muda untuk memikirkan hal itu, Nak. Yang penting, kita harus tetap hidup," jawab neneknya lirih.
Tapi di hati Almira, rasa penasaran itu terus tumbuh.
Kehidupan Almira dan neneknya makin sulit sejak Rangga Prakoso, lelaki paruh baya berpengaruh di desa, mengincarnya. Rangga dikenal kejam, haus kekuasaan, dan memiliki banyak istri. Ia selalu mendapatkan apa pun yang dia mau, meski dengan cara kotor.
Beberapa hari lalu, Rangga datang ke gubuk mereka bersama dua pengawalnya. Suasana malam itu masih terbayang jelas di benak Almira.
"Rahayu..." suara Rangga berat dan dingin, "kau tahu, cucumu itu sudah besar. Wajahnya cantik, darah mudanya segar. Aku ingin menjadikannya istriku. Dia akan jadi istri keempatku."
Mata Almira melebar. Ia bersembunyi di balik pintu, tubuhnya gemetar mendengar kata-kata itu.
Nenek Rahayu mencoba menahan diri, menundukkan kepala meski hatinya bergejolak.
"Tuan Rangga, Almira masih terlalu muda. Usianya belum genap 19 tahun. Bersabarlah. Biarlah ia tumbuh dulu, baru setelah itu..."
Rangga menyipitkan mata, seakan menimbang-nimbang. Kemudian ia tersenyum sinis.
"Baiklah. Aku akan menunggu. Tapi jangan coba-coba melarikan diri dariku. Kalian tak akan bisa pergi ke mana pun tanpa aku tahu."
Suasana hening sesaat, hanya bunyi langkah Rangga dan pengawalnya meninggalkan gubuk yang terdengar. Sejak malam itu, hidup Almira dipenuhi ketakutan.
Hari-hari berikutnya, Almira berusaha menjalani hidup seperti biasa, namun di setiap langkahnya ia merasa diawasi. Setiap kali ia turun ke desa menjual kayu, orang-orang hanya berani menatapnya dari jauh. Tidak ada yang berani mendekat, apalagi berbicara, karena takut dimusuhi Rangga.
"Kenapa kita harus hidup seperti ini, Nek?" Almira bertanya suatu sore sambil menjemur kayu bakar. "Kenapa semua orang seolah-olah membenci kita?"
Nenek Rahayu tersenyum getir.
"Bukan membenci, Nak. Mereka takut. Rangga punya kuasa di desa ini. Dia bisa melakukan apa saja. Orang-orang lebih memilih diam daripada menolong kita."
Almira menunduk. Dadanya sesak. Rasanya seperti terpenjara meski tanpa jeruji besi.
Malam itu, setelah seharian bekerja, Almira duduk di depan gubuk sambil menatap langit penuh bintang. Ada rasa rindu yang mendalam pada kedua orang tuanya. Andai mereka masih ada, mungkin hidupnya tidak akan sesulit ini.
Ia teringat samar-samar pada sosok ayahnya, seorang petani sederhana yang suka bercanda, dan ibunya yang lembut penuh kasih. Namun, kenangan itu cepat berlalu, digantikan bayangan samar tentang malam ketika mereka meninggal. Suara bisikan orang-orang di desa kembali terngiang di kepalanya:
"Mereka dibunuh..."
"Ada orang berpengaruh di balik semua ini..."
Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar dari belakang gubuk. Almira terkejut. Ia bangkit dan menoleh ke arah suara itu. Di bawah cahaya rembulan, terlihat sosok seorang lelaki terhuyung-huyung, tubuhnya berlumuran darah, lalu terkapar tepat di depan pintu belakang gubuk.
"Nenek!" teriak Almira panik.
Nenek Rahayu yang sedang berbaring segera bangkit. Wajahnya pucat saat melihat pemandangan itu.
"Ya Allah... siapa ini?" gumamnya.
Almira gemetar, tapi ia memberanikan diri mendekat. Lelaki itu masih muda, mungkin sekitar awal dua puluhan. Nafasnya tersengal, wajahnya penuh luka, dan darah mengalir dari perutnya.
"Nek, dia... dia masih hidup!" Almira berseru sambil berlutut di samping lelaki itu.
Nenek Rahayu menghela napas berat, lalu berlutut di sisi cucunya. "Cepat, bantu nenek. Kita harus membawanya masuk sebelum ada orang lain yang melihat!"
Dengan sisa tenaga, mereka berdua menyeret tubuh lelaki itu masuk ke dalam gubuk. Almira menyiapkan kain dan air, membersihkan darah yang menempel. Tangannya gemetar, tapi ia terus berusaha.
"Nek... siapa dia?" tanya Almira panik.
Nenek Rahayu menatap wajah lelaki itu dengan sorot tajam, seakan mencoba mengenali. "Nenek belum tahu, Nak. Tapi yang jelas... lelaki ini bisa membawa kita pada sesuatu yang besar."
Almira menatap neneknya, bingung sekaligus takut. Malam itu, tanpa ia sadari, hidupnya akan berubah selamanya.
Almira sulit tidur malam itu. Ia duduk di samping lelaki misterius yang masih tak sadarkan diri. Sesekali, ia merendam kain di baskom air, lalu menempelkan ke dahinya yang panas.
"Siapa kau sebenarnya...?" bisiknya lirih.
Di luar, angin bertiup kencang, membuat dedaunan berdesir nyaring. Di kejauhan terdengar lolongan anjing hutan. Hati Almira berdegup kencang, firasat buruk menghantuinya.
Sementara itu, jauh di desa, Rangga Prakoso duduk di kursi besar rumahnya, ditemani para pengawal. Wajahnya muram.
"Orang itu belum mati," katanya pelan, penuh amarah. "Cari dia. Kalau perlu, geledah hutan. Aku tidak ingin dia sampai ke tangan orang lain."
Dan tanpa Almira tahu, lelaki berdarah yang kini ia rawat adalah kunci dari misteri masa lalunya.
Bab 1 Malam itu hening
22/08/2025
Bab 2 dililit kain lusuh
22/08/2025
Bab 3 hanya menunggu waktu
22/08/2025
Bab 4 Malam itu langit terlihat begitu kelam
22/08/2025
Bab 5 terbaring lemah
22/08/2025
Bab 6 meneteskan rembesan kecil ke lantai tanah
22/08/2025
Bab 7 pagi kali ini berbeda dari biasanya
22/08/2025
Bab 8 Nenek Wati sudah terjaga
22/08/2025
Bab 9 kejadian semalam
22/08/2025
Bab 10 tubuhnya terbungkus gaun tidur
22/08/2025
Bab 11 menyimpan rahasia
22/08/2025
Bab 12 halaman rumah
22/08/2025
Bab 13 perbukitan
22/08/2025
Bab 14 mengusir rasa kantuk
22/08/2025
Bab 15 tampak mendung
22/08/2025
Bab 16 terutama tatapan mata pria itu
22/08/2025
Bab 17 lega karena semalam
22/08/2025
Bab 18 penuh misteri
22/08/2025
Bab 19 tidak sepenuhnya nyenyak
22/08/2025
Bab 20 Malam tadi
22/08/2025
Bab 21 tidak mengucapkannya
22/08/2025
Bab 22 Jantungnya berdetak tak menentu
22/08/2025
Bab 23 Semalam ia dan Leonardo tidak berbicara banyak
22/08/2025
Bab 24 menyiapkan kopi
22/08/2025
Bab 25 memenuhi ruangan
22/08/2025
Bab 26 menghapus semua masalah
22/08/2025
Bab 27 semalam terasa gelisah
22/08/2025
Bab 28 kegelisahan
22/08/2025
Bab 29 belum terselesaikan
22/08/2025
Bab 30 memberanikan diri
22/08/2025
Bab 31 Matanya sembab
22/08/2025
Bab 32 Kenapa kau di sini
22/08/2025
Bab 33 malam sebelumnya dengan Isabella
22/08/2025
Bab 34 Pesan singkat itu berbunyi
22/08/2025
Bab 35 Isabella tidak akan berhenti
22/08/2025
Bab 36 Isabella siap melancarkan serangan
22/08/2025
Bab 37 manfaatkan
22/08/2025
Bab 38 dibuktikan dengan rekaman
22/08/2025
Bab 39 merasakan ketenangan
22/08/2025
Bab 40 sedikit waktu
22/08/2025
Buku lain oleh Muh. Yusran
Selebihnya