Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjebak Cinta Mas Sopir

Terjebak Cinta Mas Sopir

Black_Queen

5.0
Komentar
130
Penayangan
1
Bab

Kehadiran seorang pria asing yang dia tolong, membuat hidup Mawar lebih berarti. Walaupun dia sudah bersuami, hidupnya tidak pernah merasakan kebahagiaan karena perjodohan yang terpaksa dia iyakan untuk menolong ayahnya terbebas dari jeratan utang. Bagaimana kisah kehidupan Mawar selanjutnya?

Bab 1 Bertemu Pria Asing

Hari ini aku yang meliburkan diri dari rutinitas pekerjaan, pergi menemui ibu angkat di kampung halamannya.

Biasanya, aku bepergian selalu diantar oleh sopir pribadi. Tapi, sudah hampir sebulan, sopir ku mengundurkan diri dan diriku belum menemukan orang yang cocok untuk menggantikannya.

Pagi ini aku bersiap.

Di kursi roda ruang tamu, ada pria yang seumuran dengan almarhum ayahku. Dia hanya bisa melirikkan matanya tanpa bisa bersuara. Gerakannya lambat sekali. Kudekati dirinya.

Aku pamit padanya. Kuintip dua kamar bersebelahan. Penghuni dua kamar itu masih tidur dengan lelap.

"Ngapain juga aku pamit sama mereka. Menyebalkan sekali. Mereka juga tidak pernah menghormatiku selama aku disini." Batinku malas.

Aku memanggil ART dan menyuruhnya mendorong kursi roda itu kembali masuk ke kamar.

Di depan sana, Bapak Joko sedang memotong rumput. Beliau berhenti ketika melihatku berjalan ke arah mobil yang terparkir rapi di garasi rumah.

"Pagi Nyonya Mawar," senyumnya ramah.

Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. Hanya Bu Minah dan pak Joko yang menghormatiku di rumah ini.

Ataukah mungkin juga mereka terpaksa berbuat seperti itu karena hanya untuk sekedar menghargai keberadaan diri ini.

Aku singgah sebentar ke toko online-ku. Toko ini aku besarkan dengan susah payah. Memang tidak besar. Tapi, setidaknya diri ini tidak akan menjadi parasit dan beban dalam keluarga besar Pramono.

Keluarga itu tidak rela aku hidup mewah seperti sekarang ini. Semenjak Tuan Cahyo Pramono mempunyai penyakit Stroke. Selalu saja aku yang disalahkan. Mereka berpikir akulah penyebabnya. Padahal aku tidak tahu apapun tentang penyakit yang menyerangnya itu.

Kulajukan kembali mobil ke arah perkampungan. Cukup jauh dari kotaku tinggal.

Tapi, aku sudah tidak bisa menahan rasa rindu kepada ibu sambungku, yang sudah mau mencintai dan menyayangiku setelah ibu kandung tiada.

Aku melewati jalan perkampungan. Di sekeliling hanya terdapat pohon berbagai macam bentuk dan ukuran.

Kubuka jendela mobil dan mematikan pendingin.

Udara bersih yang kurindukan. Terdengar burung berkicauan. Aku menikmati sekeliling karena di sini sepi. Saat melihat ke arah depan kembali. Aku melihat bayangan sekelebat dan ...

Ciiiiittt.

Aku menginjak pedal rem mendadak.

Terdengar suara benturan.

"Astaga ... apa tadi?" Tanganku bergetar memegang kemudi.

Aku ragu ingin melihat keluar atau tidak.

Setelah lama berpikir dan aku penasaran dengan benturan tadi. Tubuh ini keluar perlahan.

Kubuka pintu mobil. Kuberanikan diri melangkah dan melihat siapa atau apa yang terkena benturan mobilku tadi.

Aku terpaku, melihat seorang lelaki yang keningnya berlumuran darah yang sudah mengering. Pakaiannya terlihat lusuh. Dia mengenakan Hoodie hitam dan jeans panjang berwarna biru. Kutelisik wajahnya secara perlahan. Dia memang butuh bantuanku.

Sampai sekarang dia belum juga tersadar dari pingsannya.

Aku yang melihatnya pingsan tak bergerak, akhirnya mau tak mau menyeret tubuhnya.

Aku seorang wanita yang memang tidak akan mampu membawa pria tegap di depanku ini.

Aku menyeretnya perlahan, mulai memasukkannya ke dalam kursi penumpang di belakang. Kuletakkan tubuhnya telentang.

Deruan napasnya seolah menandakan lukanya tak parah.

Langsung saja aku masuk kembali ke mobil dan melajukan kendaraan tersebut.

"Gila, hari ini gue apes. Malah nabrak orang segala. Untung gak mati," gumamku lega.

"Aku harus segera sampai di rumah bunda Wardah. Di sana pasti ada puskesmas terdekat." Gumamku seorang diri.

Jalanan yang sunyi mulai berubah berisik dengan lalu-lalang kendaraan. Hari mulai beranjak siang. Ketika aku sampai di depan rumah khas perkampungan milik bunda Wardah.

Seorang wanita paru baya berumur akhir 50an menungguku di teras rumah. Dia duduk santai sambil menyeruput teh panas.

"Ciyee ... lagi nungguin anak kesayangannya nih ya," ledekku pada bunda.

"Bunda tungguin dari kemarin. Malah nongol sekarang. Emang bandel nih bocah!" Sahutnya spontan.

"Bocah lagi, Mawar udah gede bunda. Udah bisa ngurusin anak orang!" Kataku sebal.

"Bagi bunda kamu tetap bocah kesayangan bunda. Sini dong peluk bunda!" Seru beliau seraya membuka kedua lengan.

Aku memeluk bunda sambil memikirkan sesuatu.

"Astaga bunda, Mawar lupa." Langsung menghampiri mobil yang diikuti langkah bunda dengan perlahan.

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal tanda frustasi.

Bunda yang menghampiriku terkejut karena ada seorang lelaki di dalam mobil yang dalam keadaan pingsan.

"Siapa dia Mawar? Kenapa berlumuran darah gitu?

Terus kenapa dia bisa pingsan?" Tanya bundaku bertubi-tubi, raut wajah beliau terlihat panik.

"Nanti Mawar jelasin! Sekarang kita bawa ini orang ke rumah sakit terdekat bund!" Kataku gugup.

"Bawa ke Puskesmas kampung saja War! Dekat kok dari sini." Usul bunda.

"Kita berangkat sekarang ya bunda!" Ajakku dan menyuruh bunda masuk mobil.

Aku melajukan mobil ini sesuai arahan bunda.

Karena aku hanya tau arah ke rumah bunda saja. Aku tidak pernah mau berkeliling di kampung ini, itu hanya akan membuat kenangan lama teringat kembali. Tidak sampai sepuluh menit puskesmas sudah terlihat.

Aku memanggil petugas kesehatan untuk membawa brankar. Mereka membawa pria ini masuk dan langsung memeriksa keadaannya.

Kami menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Berharap kondisi pria tadi membaik dengan cepat. Sudah hampir tiga jam aku menunggu di depan kamar perawatan pria tadi. Aku mencoba untuk melihat kondisinya.

Aku membuka pintu perlahan, ternyata dia sudah sadar dari pingsannya. Mata kami

saling beradu, bertatapan dalam diam. Seketika aku tersadar dan berlari ke luar ruangan.

"Aku panggil dokter dulu bund. Dia sudah sadar. Orang itu sudah bangun dari pingsannya." Bunda berpikir cepat tentang apa yang kukatakan.

"Bunda akan masuk dulu ke dalam. Kamu panggil saja dokternya!" Suruh bunda.

Dengan cepat kupanggil dokter yang bertugas hari ini. Kami berdua tergopoh berjalan ke kamar perawatan pria itu.

"Kamu, baik-baik saja? Dimana yang sakit? Tanya bundaku padanya ketika kami sudah sampai di kamar perawatan.

Dia menunjuk kepala dan kaki kiri. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

Dokter mengambil alih dengan memeriksa keadaannya. Bunda Wardah menyingkir menjauh untuk memberikan kuasa pada dokter. Kami berdua duduk di sofa yang tersedia di dalam kamar ini.

"Seandainya anakku masih hidup. Pasti dia sebesar pria ini sekarang. Sayang sekali Tuhan lebih menyayanginya." Suara bunda Wardah yang lirih terdengar pelan di telinga. Aku menoleh pada beliau yang sedang memperhatikan pria di atas brankar.

Sorotannya berubah menjadi sendu dan berkaca-kaca.

"Kondisinya mulai stabil. Lukanya juga tidak begitu parah. Mungkin dalam beberapa hari sudah boleh pulang." Dokter berucap yakin.

"Oh begitu Dok, terimakasih atas semuanya Dok." Balasku cepat.

"Saya sudah menuliskan resep. Nanti bisa ditebus di konter pengambilan obat." Senyum dokter dan mulai meninggalkan kami.

Infus di tangannya terlihat menyulitkan untuk bergerak. Terdengar jelas suara perut, aku dan bunda Wardah saling berpandangan, kami tersenyum tipis seraya menoleh pada pria di atas brankar.

"Maaf, Anda lapar ya? Mau makan apa?" Tanyaku memastikan.

"Ehm ... itu..." tak dilanjutkan kalimatnya. Pria itu mengangguk pelan, kepalanya menunduk dalam.

"Kalau begitu mau makan apa?" Tanyaku agar dia berselera makan.

"Dia masih terbaring di sini. Tentu saja makanannya harus bubur Lis, gimana sih kamu." Sela bunda cepat.

"Maaf Bunda. Nanti saya belikan saja di luar. Makanan rumah sakit gak enak." Ujarku menahan tawa melihat reaksi pria tadi.

"Saya ... kenapa saya bisa disini?" Dia memandang kami bergantian.

"Ehm-sa-ya-saya ... menabrak anda di jalan kecil dekat hutan." Jawabku akhirnya jujur.

"Maaf." Tambahku menampakkan raut wajah penyesalan.

Dia mengerutkan keningnya seraya berpikir keras. Aku mulai cemas, bisa saja dia melaporkan kejadian ini pada polisi.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Black_Queen

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Terjebak Cinta Mas Sopir
1

Bab 1 Bertemu Pria Asing

24/02/2022