Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
“Ibu mencintaimu, Nak.”
“Tidak!”
“Ayah juga mencintaimu, Nak!”
“Jangan! Tidak! Jangan pergi! Ayah! Ibu!”
Dahi pria itu mengerut dan nampak gelisah dalam tidurnya. Kepalanya terus menoleh ke kanan dan ke kiri bergantian, sampai akhirnya matanya tiba-tiba terbuka lebar menatap langit-langit kamar. Selama beberapa saat ia hanya diam, tidak bergeming.
“Hanya mimpi.” , gumamnya pelan dan merebahkan tangannya di atas dahi seraya memejamkan matanya kembali.
Belum lama ia memejamkan mata, sebuah suara yang keluar dari intercom mengejutkannya.
“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tiga tuan muda, Khaidar. Semoga anda panjang umur dan sehat selalu. Nenek anda sudah menyiapkan kejutan di ruang utama dan sudah menunggu anda.”
Pria muda itu membuka matanya perlahan menatap lampu yang padam di atasnya. Ia memikirkan perkataan sekretaris pribadinya yang baru saja berbicara padanya melalui intercom karena tidak berani masuk begitu saja.
“Masuklah.” , balas Khaidar dan tak berselang lama pintu kamarnya yang besar itu terbuka.
Seorang pria dengan setelan jas rapi masuk. Suara sepatu pantofelnya membentur lantai marmer menimbulkan suara yang memaksa Khaidar untuk tidak memejamkan matanya lagi. Dia adalah Hardian, sekretaris pribadi Khaidar yang paling lama bertahan dengannya. Sebelum Hardian, sudah puluhan orang yang mengundurkan diri setelah bekerja tidak kurang dari sebulan. Tidak ada yang istimewa dari Hardian, hanya saja ia memiliki hati yang keras seperti es di kutub yang sulit untuk mencair. Itu adalah salah satu modal besar yang harus dimiliki untuk bertahan sebagai sekretaris pribadi Khaidar.
“Nenek anda sudah menunggu sejak tadi, tuan muda. Sebaiknya anda segera bangun dan menyapanya sebentar.” , ungkap Khaidar dengan tegas seperti rambutnya yang klimis.
“Tadi kau bilang hari ini aku ulang tahun yang ke berapa?”
“23 tahun, tuan.”
“Ah benar. 23 tahun hidupku yang tidak berguna.”
“Sebaiknya anda lekas bangun dan temui nenekmu, atau–”
“Atau apa?” , tanya Khaidar terlihat tidak peduli.
Hardian melangkah mendekat dan tanpa ragu langsung menyibak selimut yang menutupi dada Khaidar sampai ke ujung kakinya dan membuat dadanya terekspos, “Apa saya harus menyeretmu juga, tuan?”
Khaidar sejak dulu memiliki kebiasaan untuk tidur tanpa mengenakan baju meskipun kamarnya dingin. Ia lebih memilih untuk memakai selimut yang tebal. Ia yang masih terkejut dengan tindakan Hardian barusan langsung turun dari tempat tidur sebelum Hardian benar-benar menyeretnya dengan cara yang sama sekali tidak terhormat. Saat Khaidar bangun berdiri, Hardian melihat bagian bantal yang membentuk kepala Saka tampak agak basah tanda bahwa Khaidar berkeringat saat tidur, padahal pendingin ruangan terus menyala sepanjang malam.
“Apa semalam anda mimpi buruk lagi, tuan muda?” , tanya Hardian berjalan mengikuti Khaidar yang sudah melangkah keluar dari kamarnya dengan mengenakan jubah mandi abu-abu.
“Apa kau seorang peramal, mas Hardian? Bagaimana bisa tebakanmu selalu benar?” , kini Khaidar yang balas bertanya.
Sepanjang jalan Khaidar dari kamarnya menuju ruang utama, ia bertemu dengan beberapa orang yang menunduk sambil mengucapkan selamat pagi padanya. Mereka adalah para pekerja yang mengurus rumah dua lantai yang memiliki luas 2.500 meter persegi itu. Kebanyakan orang-orang yang bekerja untuk merawat rumah ini adalah laki-laki. Tentu ada alasan khusus untuk itu.
“Bukan meramal. Saya lebih suka menyebutnya dengan deduksi.” , jawab Hardian singkat.