Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Getaran ponselku berkali-kali membuatku terbangun dari mimpi panjang. Beberapa pesan yang dikirim oleh keponakanku membuatnya benar-benar terjaga. Sebelum membukanya, aku menggulirkan layar ke bawah. Ternyata waktu sudah larut, hampir jam 12 malam tepatnya. Jeni membuka pesannya. Ternyata Nida, keponakanku yang tinggal di Kalimantan mengiriminya beberapa pesan.
"Tante, aku takut. Ayah pulang dalam keadaan mabuk. Karena ibu dan adik sedang tidur, aku yang membukakan pintu untuk ayah. Dia tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya. Untungnya aku bisa memberontak. Aku sekarang ada di kamar dan mengunci pintu kamarku."
Rasa kantuknya tiba-tiba hilang begitu saja. Nida? dia pasti ketakutan saat ini. Tapi pesan itu terkirim satu jam yang lalu. Bagaimana keadaanya saat ini? Apa dia sudah tertidur?
Aku membalas pesan Nida segera setelah pesan itu terbaca. Jeni bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Ini bukan pesan pertamanya yang bercerita tentang ayah tirinya yang agak melenceng. "Nida, gimana keadaan kamu sekarang? Sudah dikunci kamarmu? Lain kali kalau Mas Aris pulang, jangan kamu yang buka pintunya. Bangunkan Mbak Nia, mamamu!"
Pesan itu tak langsung dibaca oleh Nida. Ia menunggu beberapa waktu dan tanda centang dua masih belum berubah warna. Sampai lewat tengah malam, pesan itu masih tetap sama, belum terbaca.
"Mudah-mudahan Nida sudah tertidur," batinku berdoa untuk keselamatannya. Aku ingin membangunkan suamiku tapi ia mendengkur dengan kencang, mungkin sangat kelelahan.
Membaca pesan Nida malah membuatku tak bisa tidur. Aku teringat pesan-pesan dia sebelum ini, banyak! Seringnya bercerita tentang sekolahnya dan ayahnya.
Nida memang masih SMP. Beberapa bulan lagi ia akan menginjak bangku SMA. Tubuhnya bongsor, ia sudah terlihat seperti anak perawan. Pantas saja ayahnya memandang Nida dengan tatapan yang berbeda.
Gara-gara memikirkan Nida, aku sampai bangun kesiangan. Sinar matahari sampai masuk ke dalam kamarku. Ku dengar suara panci beradu Sutil di dapur. Ibu mertuaku pasti sedang masak.
Ku lihat Mas Firman juga sudah bangun. Mungkin dia sedang bersama anak lelakiku di ruang depan.
Aku jadi teringat pesan Nida. Ku buka ponselku, pesanku ternyata sudah dibalas. Segera ku buka kunci layar ponselku.
"Maaf tante aku ketiduran semalam. Iya besok-besok aku nggak mau bukain pintu buat Ayah."
Sebuah balasan pesan yang membuatku lega.
Aku tidak tahu mau sampai kapan Nida bertahan di sana. Semakin lama, cerita yang Nida kirim tentang ayahnya semakin liar.
Awalnya aku tak langsung percaya apa yang dikatakan Nida. Ia bilang kalau Ayahnya pernah memeluknya dari belakang. Bukankah wajar saja seorang ayah memeluk anaknya dari belakang?
Tapi Nida bilang kalau ayahnya pernah masuk ke kamarnya ketika ia sedang berganti pakaian. Dan itu cukup mengherankan karena Nida sudah cukup dewasa untuk punya ruang privasinya sendiri.
"Nida, apa kamu pernah bercerita tentang ini ke ibumu?" Aku bertanya ke Nida saat ia bercerita tentang ayahnya yang selalu memberikan tatapan aneh kepadanya.
"Sudah, Tante. Tapi Nida malah dimarahi sama Ibu."
"Dimarahi bagaimana, Da?"