/0/17384/coverorgin.jpg?v=824555dd66945fa97551dd6fb5bd7e30&imageMogr2/format/webp)
Aku adalah "Gadisku" milik Raja, seorang CEO dingin yang hanya menunjukkan kehangatannya di penthouse mewah kami. Aku percaya cinta rahasia kami adalah segalanya.
Hingga aku menemukan pesan di ponselnya dari wanita lain: "Sayang, rencana balas dendam kita akan berhasil."
Ternyata, aku hanyalah pion. Dia merekam video intim kami, membiarkan kekasihnya menghancurkan satu-satunya peninggalan ayahku, dan menjebakku hingga masuk penjara.
Di dalam sel yang dingin, aku disiksa tanpa ampun atas perintahnya.
Pria yang dulu kuanggap belahan jiwa, ternyata adalah iblis yang menghancurkanku hingga tak bersisa.
Keluar dari neraka itu, aku tidak lagi menangis. Aku kembali ke penthouse-nya, bukan untuk memohon, tapi untuk membakarnya hingga menjadi abu.
Bab 1
Sarita POV:
Aku tahu ini gila, tapi saat paman memaksaku menikah dengan Irvan, aku masih berpikir Raja akan datang menyelamatkanku. Bodohnya aku, karena saat itu, dia sedang sibuk menyusun skema balas dendamnya, dan aku hanyalah pion dalam permainannya. Setiap sentuhan, setiap bisikan mesra, semua itu hanya bagian dari rencana jahat yang dibangun di atas kehancuranku.
Hubungan kami adalah rahasia, sebuah pulau kecil di tengah badai kehidupan korporat. Raja memanggilku "Gadisku." Itu adalah sebutan yang membuatku merasa istimewa, seolah aku adalah satu-satunya miliknya. Kami bertemu di penthouse miliknya yang mewah, jauh dari mata publik. Sebuah tempat di mana arsitek junior sepertiku bisa melupakan sejenak tentang cetak biru dan deadline.
Raja, CEO konglomerat itu, selalu terlihat dingin di depan orang lain, tapi bersamaku, dia adalah lautan gairah. Mata hitamnya yang tajam bisa melunakkan setiap inci kulitku hanya dengan satu tatapan. Tangannya yang biasanya menggenggam kendali bisnis, di antara helaan napas kami, tahu persis bagaimana membuatku meleleh. Aku mencintainya dengan gila, percaya bahwa di balik topeng CEO yang dingin itu, ada hati yang tulus untukku.
Aku masih ingat malam itu dengan jelas. Aroma tubuhnya yang maskulin bercampur dengan parfum mahal yang selalu dipakainya. Jari-jarinya menyusuri tulang punggungku, menciptakan sensasi panas yang membuatku merinding. Aku memejamkan mata, membiarkan diriku tenggelam dalam momen itu, dalam pelukan pria yang kupercaya sebagai belahan jiwaku.
"Kau milikku, Sarita," bisiknya di telingaku, suaranya serak dan dalam, seperti melodi yang hanya bisa kudengar. Kata-kata itu, dulu adalah janjinya untuk kami. Sekarang, aku tahu itu adalah belenggu.
Pagi itu, udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk kulitku. Aku membuka mata perlahan, menemukan Raja sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan setelan jasnya yang rapi. Rambut hitamnya yang selalu tertata rapi kini sedikit berantakan, menambahkan pesona liar padanya. Dia tampak seperti baru saja kembali dari medan perang, siap menaklukkan dunia. Tapi aku tahu, dia baru saja menaklukkanku.
Aku mengulurkan tangan, ingin menyentuh pipinya, tapi dia sudah berdiri, bergerak menjauh. Selalu ada jarak antara kami, bahkan setelah malam yang penuh keintiman. "Aku ada rapat penting," katanya, suaranya datar, tanpa emosi yang baru saja kami bagi. "Aku akan pergi setelah kau bangun."
Aku merasa sedikit kecewa. Aku ingin dia tinggal lebih lama, aku ingin sarapan bersamanya, atau setidaknya, aku ingin dia menciumku selamat tinggal. Tapi dia tidak pernah begitu. Dia selalu menjaga jarak, menjaga profesionalitasnya, bahkan dalam momen paling pribadi kami. Aku menghela napas, mencoba memahami. Dia adalah Raja Raden, pria yang hidupnya diatur oleh jadwal dan prioritas. Aku hanyalah… "Gadisku."
"Aku mengerti," kataku, berusaha agar suaraku terdengar normal. Aku tahu dia tidak suka jika aku menunjukkan kelemahan atau ketergantungan. "Hati-hati di jalan."
Dia hanya mengangguk, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum dia menghilang, dia berhenti. "Jangan lupa, kau ada janji makan malam dengan pamanmu malam ini."
"Paman Wibisono?" Aku mengerutkan kening. Paman Wibisono jarang sekali mengundangku makan malam, kecuali ada hal penting. Biasanya, itu berita buruk seputar bisnis keluarga yang sedang sekarat. "Tumben sekali."
Raja tidak menjawab. Dia hanya menoleh sedikit, menatapku dengan tatapan kosong, seolah aku hanyalah sebuah objek yang terdaftar dalam daftar tugasnya. "Jangan terlambat."
Lalu dia pergi.
Aku bangkit dari ranjang, merasakan sisa-sisa kehangatan tubuhnya yang tertinggal di sprei sutra. Aku berjalan ke jendela besar, menatap kota yang baru bangun dari tidurnya. Langit masih kelabu, tapi gedung-gedung pencakar langit mulai memantulkan cahaya matahari yang samar.
Malam itu, di restoran mewah yang terasa pengap, Paman Wibisono dan Bibi Handayani duduk di depanku, menyeruput kopi dengan canggung. Putri mereka, sepupuku, juga ada di sana. Wajah mereka terlihat tegang, tapi ada kilatan antisipasi di mata mereka. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
"Sarita," Paman Wibisono memulai, suaranya berat, "bisnis kita sedang dalam masalah besar."
Aku sudah menduga ini. Perusahaan arsitektur mendiang ayahku, yang kini dipegang Paman Wibisono, memang sedang kesulitan. Aku telah mencoba menawarkan ide-ide baru, tapi Paman selalu menolak, terlalu sibuk dengan proyek-proyeknya sendiri yang seringkali tidak berhasil.
"Jadi?" tanyaku, mencoba terdengar tenang.
"Ada jalan keluar," Bibi Handayani menyela, matanya berbinar. "Perusahaan Adiningrat, mereka ingin berinvestasi."
Perusahaan Adiningrat? Mereka adalah raksasa teknologi, jauh di luar liga kami. "Apa syaratnya?" tanyaku, tahu bahwa tidak ada makan siang gratis di dunia ini.
Paman Wibisono menghela napas panjang, menatapku seolah aku adalah korban yang harus dia korbankan. "Mereka ingin kau menikahi putra mereka, Irvan Adiningrat."
Mendengar kata-kata itu, duniaku runtuh. Pernikahan bisnis? Aku? Aku yang mencintai Raja, yang memimpikan masa depan bersamanya? Mereka bahkan tidak tahu tentang Raja. Mereka hanya melihatku sebagai aset, sebuah pion yang bisa mereka tukar untuk menyelamatkan bisnis keluarga.
"Tidak," kataku, suaraku nyaris berbisik. "Aku tidak bisa."
/0/30484/coverorgin.jpg?v=3912356201d07fe86a8c91bfb07c4935&imageMogr2/format/webp)
/0/12795/coverorgin.jpg?v=20250122183610&imageMogr2/format/webp)
/0/16152/coverorgin.jpg?v=3b8d9d0560ed479c600608ec0e0aa1cf&imageMogr2/format/webp)
/0/2839/coverorgin.jpg?v=20250120160216&imageMogr2/format/webp)
/0/30789/coverorgin.jpg?v=20251210140754&imageMogr2/format/webp)
/0/14882/coverorgin.jpg?v=39658c23aaf68aacb5857cf8bfa08246&imageMogr2/format/webp)
/0/16712/coverorgin.jpg?v=20240222205020&imageMogr2/format/webp)
/0/16463/coverorgin.jpg?v=20240617145740&imageMogr2/format/webp)
/0/21622/coverorgin.jpg?v=20250115180815&imageMogr2/format/webp)
/0/2865/coverorgin.jpg?v=20250120142912&imageMogr2/format/webp)
/0/2377/coverorgin.jpg?v=20250120162329&imageMogr2/format/webp)
/0/6595/coverorgin.jpg?v=20250120180908&imageMogr2/format/webp)
/0/4930/coverorgin.jpg?v=20250121182936&imageMogr2/format/webp)
/0/13537/coverorgin.jpg?v=20250123145440&imageMogr2/format/webp)
/0/23544/coverorgin.jpg?v=20250526182620&imageMogr2/format/webp)
/0/12872/coverorgin.jpg?v=20250608010115&imageMogr2/format/webp)
/0/24881/coverorgin.jpg?v=20250717211047&imageMogr2/format/webp)
/0/19896/coverorgin.jpg?v=20241030112814&imageMogr2/format/webp)