Aku adalah "Gadisku" milik Raja, seorang CEO dingin yang hanya menunjukkan kehangatannya di penthouse mewah kami. Aku percaya cinta rahasia kami adalah segalanya. Hingga aku menemukan pesan di ponselnya dari wanita lain: "Sayang, rencana balas dendam kita akan berhasil." Ternyata, aku hanyalah pion. Dia merekam video intim kami, membiarkan kekasihnya menghancurkan satu-satunya peninggalan ayahku, dan menjebakku hingga masuk penjara. Di dalam sel yang dingin, aku disiksa tanpa ampun atas perintahnya. Pria yang dulu kuanggap belahan jiwa, ternyata adalah iblis yang menghancurkanku hingga tak bersisa. Keluar dari neraka itu, aku tidak lagi menangis. Aku kembali ke penthouse-nya, bukan untuk memohon, tapi untuk membakarnya hingga menjadi abu.
Aku adalah "Gadisku" milik Raja, seorang CEO dingin yang hanya menunjukkan kehangatannya di penthouse mewah kami. Aku percaya cinta rahasia kami adalah segalanya.
Hingga aku menemukan pesan di ponselnya dari wanita lain: "Sayang, rencana balas dendam kita akan berhasil."
Ternyata, aku hanyalah pion. Dia merekam video intim kami, membiarkan kekasihnya menghancurkan satu-satunya peninggalan ayahku, dan menjebakku hingga masuk penjara.
Di dalam sel yang dingin, aku disiksa tanpa ampun atas perintahnya.
Pria yang dulu kuanggap belahan jiwa, ternyata adalah iblis yang menghancurkanku hingga tak bersisa.
Keluar dari neraka itu, aku tidak lagi menangis. Aku kembali ke penthouse-nya, bukan untuk memohon, tapi untuk membakarnya hingga menjadi abu.
Bab 1
Sarita POV:
Aku tahu ini gila, tapi saat paman memaksaku menikah dengan Irvan, aku masih berpikir Raja akan datang menyelamatkanku. Bodohnya aku, karena saat itu, dia sedang sibuk menyusun skema balas dendamnya, dan aku hanyalah pion dalam permainannya. Setiap sentuhan, setiap bisikan mesra, semua itu hanya bagian dari rencana jahat yang dibangun di atas kehancuranku.
Hubungan kami adalah rahasia, sebuah pulau kecil di tengah badai kehidupan korporat. Raja memanggilku "Gadisku." Itu adalah sebutan yang membuatku merasa istimewa, seolah aku adalah satu-satunya miliknya. Kami bertemu di penthouse miliknya yang mewah, jauh dari mata publik. Sebuah tempat di mana arsitek junior sepertiku bisa melupakan sejenak tentang cetak biru dan deadline.
Raja, CEO konglomerat itu, selalu terlihat dingin di depan orang lain, tapi bersamaku, dia adalah lautan gairah. Mata hitamnya yang tajam bisa melunakkan setiap inci kulitku hanya dengan satu tatapan. Tangannya yang biasanya menggenggam kendali bisnis, di antara helaan napas kami, tahu persis bagaimana membuatku meleleh. Aku mencintainya dengan gila, percaya bahwa di balik topeng CEO yang dingin itu, ada hati yang tulus untukku.
Aku masih ingat malam itu dengan jelas. Aroma tubuhnya yang maskulin bercampur dengan parfum mahal yang selalu dipakainya. Jari-jarinya menyusuri tulang punggungku, menciptakan sensasi panas yang membuatku merinding. Aku memejamkan mata, membiarkan diriku tenggelam dalam momen itu, dalam pelukan pria yang kupercaya sebagai belahan jiwaku.
"Kau milikku, Sarita," bisiknya di telingaku, suaranya serak dan dalam, seperti melodi yang hanya bisa kudengar. Kata-kata itu, dulu adalah janjinya untuk kami. Sekarang, aku tahu itu adalah belenggu.
Pagi itu, udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk kulitku. Aku membuka mata perlahan, menemukan Raja sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan setelan jasnya yang rapi. Rambut hitamnya yang selalu tertata rapi kini sedikit berantakan, menambahkan pesona liar padanya. Dia tampak seperti baru saja kembali dari medan perang, siap menaklukkan dunia. Tapi aku tahu, dia baru saja menaklukkanku.
Aku mengulurkan tangan, ingin menyentuh pipinya, tapi dia sudah berdiri, bergerak menjauh. Selalu ada jarak antara kami, bahkan setelah malam yang penuh keintiman. "Aku ada rapat penting," katanya, suaranya datar, tanpa emosi yang baru saja kami bagi. "Aku akan pergi setelah kau bangun."
Aku merasa sedikit kecewa. Aku ingin dia tinggal lebih lama, aku ingin sarapan bersamanya, atau setidaknya, aku ingin dia menciumku selamat tinggal. Tapi dia tidak pernah begitu. Dia selalu menjaga jarak, menjaga profesionalitasnya, bahkan dalam momen paling pribadi kami. Aku menghela napas, mencoba memahami. Dia adalah Raja Raden, pria yang hidupnya diatur oleh jadwal dan prioritas. Aku hanyalah... "Gadisku."
"Aku mengerti," kataku, berusaha agar suaraku terdengar normal. Aku tahu dia tidak suka jika aku menunjukkan kelemahan atau ketergantungan. "Hati-hati di jalan."
Dia hanya mengangguk, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum dia menghilang, dia berhenti. "Jangan lupa, kau ada janji makan malam dengan pamanmu malam ini."
"Paman Wibisono?" Aku mengerutkan kening. Paman Wibisono jarang sekali mengundangku makan malam, kecuali ada hal penting. Biasanya, itu berita buruk seputar bisnis keluarga yang sedang sekarat. "Tumben sekali."
Raja tidak menjawab. Dia hanya menoleh sedikit, menatapku dengan tatapan kosong, seolah aku hanyalah sebuah objek yang terdaftar dalam daftar tugasnya. "Jangan terlambat."
Lalu dia pergi.
Aku bangkit dari ranjang, merasakan sisa-sisa kehangatan tubuhnya yang tertinggal di sprei sutra. Aku berjalan ke jendela besar, menatap kota yang baru bangun dari tidurnya. Langit masih kelabu, tapi gedung-gedung pencakar langit mulai memantulkan cahaya matahari yang samar.
Malam itu, di restoran mewah yang terasa pengap, Paman Wibisono dan Bibi Handayani duduk di depanku, menyeruput kopi dengan canggung. Putri mereka, sepupuku, juga ada di sana. Wajah mereka terlihat tegang, tapi ada kilatan antisipasi di mata mereka. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
"Sarita," Paman Wibisono memulai, suaranya berat, "bisnis kita sedang dalam masalah besar."
Aku sudah menduga ini. Perusahaan arsitektur mendiang ayahku, yang kini dipegang Paman Wibisono, memang sedang kesulitan. Aku telah mencoba menawarkan ide-ide baru, tapi Paman selalu menolak, terlalu sibuk dengan proyek-proyeknya sendiri yang seringkali tidak berhasil.
"Jadi?" tanyaku, mencoba terdengar tenang.
"Ada jalan keluar," Bibi Handayani menyela, matanya berbinar. "Perusahaan Adiningrat, mereka ingin berinvestasi."
Perusahaan Adiningrat? Mereka adalah raksasa teknologi, jauh di luar liga kami. "Apa syaratnya?" tanyaku, tahu bahwa tidak ada makan siang gratis di dunia ini.
Paman Wibisono menghela napas panjang, menatapku seolah aku adalah korban yang harus dia korbankan. "Mereka ingin kau menikahi putra mereka, Irvan Adiningrat."
Mendengar kata-kata itu, duniaku runtuh. Pernikahan bisnis? Aku? Aku yang mencintai Raja, yang memimpikan masa depan bersamanya? Mereka bahkan tidak tahu tentang Raja. Mereka hanya melihatku sebagai aset, sebuah pion yang bisa mereka tukar untuk menyelamatkan bisnis keluarga.
"Tidak," kataku, suaraku nyaris berbisik. "Aku tidak bisa."
Paman Wibisono membanting sendoknya. "Kau tidak punya pilihan, Sarita! Ini demi keluarga! Demi nama baik ayahmu!"
Bibi Handayani menatapku dengan tatapan memohon, tapi aku tahu itu hanya sandiwara. Dia selalu membela putrinya, selalu menganggapku sebagai beban. Mereka tidak pernah benar-benar menyayangiku setelah orang tuaku meninggal. Aku hanya alat bagi mereka.
Aku menatap mereka satu per satu, wajah-wajah yang seharusnya menjadi keluargaku. Mereka rela menjualku demi uang. Kemarahan membuncah dalam diriku. Tapi kemudian, gambaran Raja muncul di benakku. Janjinya, bisikannya, sentuhannya. Dia akan mengerti. Dia akan menyelamatkanku.
Aku menghela napas, menatap Paman Wibisono. "Baiklah," kataku, membuat mereka semua terkejut. "Aku akan melakukannya. Tapi ada syaratnya."
Wajah Paman Wibisono berubah girang. "Apa pun, Sarita! Apa pun!"
"Aku ingin kendali penuh atas proyek-proyek arsitektur yang kumulai," kataku tegas. "Dan aku ingin bagian dari perusahaan, bukan hanya gaji. Aku ingin menjadi pembuat keputusan."
Paman Wibisono ragu sejenak, tapi melihat kilatan di mataku dan urgensi di wajahnya, dia akhirnya mengangguk. "Baiklah. Ini akan jadi milikmu."
Aku tahu ini adalah kesepakatan dengan iblis, tapi aku harus menyelamatkan apa pun yang bisa kuselamatkan. Mungkin ini satu-satunya cara untuk memberdayakan diriku, untuk memiliki sesuatu yang benar-benar menjadi milikku.
Pulang dari pertemuan itu, pikiranku kacau balau. Aku langsung menghubungi Raja. Aku ingin memberitahunya, ingin dia meyakinkanku bahwa dia akan datang, bahwa dia akan menghentikan semua ini. Tapi teleponnya tidak diangkat. Berkali-kali.
Keesokan harinya, saat Raja kembali ke penthouse, aku menatapnya dengan tatapan penuh harapan. Aku ingin mengatakan semuanya, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokanku. Dia tampak lelah, matanya redup. Dia melemparkan ponselnya ke meja samping tempat tidur. Sebuah notifikasi muncul di layar yang menyala.
Sebuah pesan. Dari Natalie Anggawijaya.
Aku mendekat, jantungku berdebar kencang. Aku tahu Natalie. Dia adalah mantan rekan bisnis Raja, wanita yang selalu disebut-sebut sebagai 'cinta sejati' Raja oleh media, meskipun aku tidak pernah melihat bukti apa pun.
Pesan itu berbunyi: "Jangan khawatir, sayang. Rencana balas dendam kita akan berhasil."
Duniaku berhenti berputar.
Balas dendam?
Air mataku jatuh tanpa kusadari. Semua keintiman, semua bisikan, semua kata-kata manis yang dia katakan padaku... apakah itu semua hanya bagian dari rencana balas dendam? Aku adalah pion, bukan kekasih. Aku adalah alat, bukan cinta. Jari-jariku gemetar saat aku menyentuh layar ponselnya, mencari kebenaran yang mengerikan. Ada foto-foto Natalie, yang dia simpan di folder tersembunyi. Foto-foto mereka berdua, berpelukan, tertawa. Beberapa dari foto-foto itu diambil saat aku bersamanya. Saat dia memanggilku "Gadisku."
Semua kenangan kami, momen-momen yang kuanggap sakral, satu per satu terlintas dalam benakku, berubah menjadi racun yang membakar. Pernikahan ini, perjodohan ini, semua keputusasaan ini, apakah ini yang dia inginkan? Apakah ini bagian dari skemanya?
Aku menatap Raja, yang masih tertidur pulas di ranjang. Wajahnya terlihat damai, tapi di mataku, dia adalah monster. Monster yang telah menghancurkan hatiku, jiwaku, dan segalanya yang kupercayai. Aku merasakan hawa dingin yang menusuk jauh ke dalam tulangku. Bukan hanya karena pendingin ruangan, tapi karena kebenaran yang baru saja kuungkap.
Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku harus tahu lebih banyak. Aku harus tahu sejauh mana kebohongan ini.
Aku mengambil kunci mobilku dan keluar dari penthouse, tanpa suara. Aku harus mencari Natalie. Aku harus melihatnya dengan mataku sendiri.
Aku mengemudi tanpa tujuan, mengikuti instingku. Aku tahu Natalie sering mengunjungi sebuah galeri seni di pusat kota. Aku memarkir mobilku di kejauhan, jantungku berdegup kencang di dadaku. Apakah aku siap untuk apa yang akan kutemukan?
Aku melihatnya. Natalie, berdiri di luar galeri, tertawa riang. Dan di sampingnya, Raja. Dia memegang tangan Natalie, tersenyum padanya dengan senyum yang tidak pernah kutemukan. Senyum yang penuh kelembutan, penuh kasih sayang. Senyum yang kuinginkan untuk diriku sendiri.
Tanganku mengepal erat di kemudi. Semua kenangan manis yang kuanggap nyata, kini berubah menjadi abu. Perasaanku hancur berkeping-keping. Aku merasa ditikam, dihantam, dan diludahi. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu membakar, sehingga aku tidak bisa bernapas. Aku hanya bisa duduk di sana, di dalam mobil, menyaksikan pria yang sangat kucintai, pria yang telah menghancurkanku, berbagi tawa dan kelembutan dengan wanita lain. Wanita yang menjadi alasan di balik semua kesakitanku.
Aku ingin berteriak, aku ingin menangis, aku ingin menghancurkan segalanya. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa duduk di sana, di dalam mobil, menyaksikan pria yang sangat kucintai, pria yang telah menghancurkanku, berbagi tawa dan kelembutan dengan wanita lain. Wanita yang menjadi alasan di balik semua kesakitanku.
Aku mengingat kembali pertemuan pertama kami. Aku adalah arsitek muda yang bersemangat, penuh impian. Raja adalah klien besar, konglomerat yang datang dengan aura kekuasaan dan karisma. Dia melihatku, bukan hanya sebagai arsitek, tapi sebagai sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa dia kendalikan.
Awalnya, aku memberontak. Aku menolak pesonanya, aku menolak kekuatannya. Tapi dia gigih. Dia memburuku dengan segala cara, membuatku merasa istimewa, membuatku merasa dicintai. Aku jatuh cinta padanya, dengan semua janji dan rayuannya. Aku menyerahkan hatiku, jiwaku, dan segalanya padanya.
Dan sekarang, semua itu hanyalah kebohongan. Sebuah skema balas dendam. Sebuah permainan yang dia mainkan dengan hatiku sebagai taruhannya. Aku tidak pernah menjadi apa pun selain pion.
Aku menatap Natalie dan Raja sekali lagi. Mereka tampak sempurna bersama. Rasanya seperti seluruh duniaku hancur, dan aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya. Aku merasa hampa, kosong, dan mati rasa.
Pernikahan bisnis dengan Irvan Adiningrat? Mungkin itu adalah takdirku. Mungkin ini adalah cara semesta menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak pernah benar-benar memiliki apa pun. Aku harus menerima takdir itu, dan aku harus bertahan. Aku akan menerima pernikahan itu, tapi tidak lagi dengan harapan akan cinta, melainkan dengan tujuan untuk melindungi diriku sendiri.
Aku meninggalkan tempat itu, membiarkan air mataku membasahi pipi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tahu satu hal: Sarita yang dulu, yang bodoh dan naif, yang mencintai Raja dengan sepenuh hati, telah mati. Dan yang tersisa hanyalah Sarita yang baru. Sarita yang dingin, Sarita yang hampa, Sarita yang akan melakukan apa pun untuk bertahan hidup.
Aku membiarkan mobilku melaju, meninggalkan Raja dan Natalie di belakangku, bersama dengan semua kenangan pahit yang takkan pernah bisa kuhapus. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupku, babak yang penuh dengan rasa sakit, pengkhianatan, dan mungkin, sebuah kesempatan untuk menemukan diriku yang sebenarnya.
"Sudah cukup," bisikku pada diriku sendiri. "Ini sudah cukup."
Bab 1
03/12/2025
Bab 2
03/12/2025
Bab 3
03/12/2025
Bab 4
03/12/2025
Bab 5
03/12/2025
Bab 6
03/12/2025
Bab 7
03/12/2025
Bab 8
03/12/2025
Bab 9
03/12/2025
Bab 10
03/12/2025
Bab 11
03/12/2025
Bab 12
03/12/2025
Bab 13
03/12/2025
Bab 14
03/12/2025
Bab 15
03/12/2025
Bab 16
03/12/2025
Bab 17
03/12/2025
Bab 18
03/12/2025
Bab 19
03/12/2025
Bab 20
03/12/2025
Bab 21
03/12/2025
Bab 22
03/12/2025
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya