Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gigolo is My Father

Gigolo is My Father

Ina Raina

5.0
Komentar
852
Penayangan
3
Bab

Max (30) adalah seorang Ayah muda yang hebat, luar biasa dan sangat menyayangi anak gadisnya bernama Kimmy (18). Max memang sering gagal dalam bekerja namun ia tak ingin gagal menjadi seorang Ayah yang baik. Hidup Max terbilang alot dan juga kelam, ia tumbuh dari seorang remaja yang brengsek dan menikahi sang pacar karena hamil di luar nikah. Saat Kimmy berusia 5 tahun, rumah tangga Max dengan Laura pun harus berakhir dengan sebuah perceraian, sementara hak asuh jatuh ke tangan Max. Untuk membiayai segala kebutuhan hidup dirinya dan sang putri, Max pun terpaksa harus bekerja menjadi seorang gigolo karena ia tak punya pilihan lain. Namun kisah hidup tak ada yang tahu, ternyata pekerjaannya malah membuat malapetaka bagi sang putri

Bab 1 Kisah masalalu Max remaja

Max remaja terlihat masih bergelung dengan selimutnya, matanya masih terpejam seraya mendengkur kecil dan ia terlihat sangat begitu pulas akibat mabuk semalam yang telah di lakukannya. Sementara si wanita yang berada di sampingnya terlihat begitu sibuk memotret dirinya bersama Max dengan begitu intim. Seolah mereka berdua sedang menunjukan sisi mesra layaknya pasangan baru yang sama-sama larut dalam kepuasan cinta semalam.

Wanita itu bernama Laura, ia tersenyum puas setelah ia melihat kembali beberapa potret yang telah ia ambil dari ponselnya.

Suara menggeliat terdengar, Laura pun kembali meletakan ponselnya di atas nakas. Kemudian ia pun langsung memeluk Max yang tampaknya sudah terbangun dari tidurnya.

"Ah, sayang. Apa kau sudah bangun?" sambut Laura seraya mengelus-elus rahang Max dan ia mengerang.

Max tersenyum lalu mengecup bibir Laura sekilas. "Apa kau bangun lebih dulu?" tanyanya dengan suara yang masih serak.

Laura mengangguk. "Selisih lima menit darimu, aku bangun lebih awal, apa kau puas semalam?" tanya Laura dengan nada menggoda.

Max mengangguk, tentu saja ia mengangguk karena cinta semalam yang telah mereka lakukan berhasil sampai lima ronde dalam waktu satu jam tanpa jeda sedikitpun.

"Ya, aku sudah menduganya." Laura terkekeh kecil.

Max pun terbangun dari posisinya lalu bersandar di headboard sementara Laura semakin mengeratkan pelukannya seraya membelai dada telanjang Max dengan sentuhan seringan bulu.

"Aku tak percaya kita benar-benar melakukannya, Max. Banyak hal yang aku takuti setelah kita bercinta seperti ini." ungkap Laura dengan kepala menengadah.

"Apa yang kau takuti, hm?" tanya Max dengan suara beratnya seraya menatap Laura serius.

"Aku takut benihmu tumbuh di rahimku, Max. Dan kau akan meninggalkanku," lirih Laura terlihat muram.

Max menatap Laura seraya tersenyum kecil. "No, aku sama sekali tidak punya pikiran semacam itu. Aku berhubungan denganmu karena aku memiliki perasaan padamu, It is impossible for me to play with your love, while you are a woman who can satisfy me in bed." Max berkata seraya membelai rambut Laura dengan lembut.

Kata-kata semacam itu memang terdengar buaya, tapi percayalah Max memang serius mengatakannya.

"Well, jika aku hamil apa kau mau menikahiku?" tanya Laura ragu.

Max terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya ia mengulas senyum untuk menyakinkan Laura.

"Aku akan bertanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan padamu, karena aku mencintaimu." ikrar Max lalu mengecup puncak rambut Laura dengan sayang, sementara Laura terlihat senang mendengar apa yang baru saja Max katakan.

"Pinky promise?" Laura mengulurkan jari kelingking kearah Max, Max tersenyum kecik lalu ia pun ikut mengulurkan jari kelingking dan akhirnya mereka berdua pun saling mengaitkan jari kelingking itu sambil mengikrarkan sebuah janji.

"I'm promise," setuju Max seraya tersenyum lebar, sementara Laura menatap Max dengan binar mata cemerlang.

Setelah itu Laura pun semakin mengeratkan pelukannya pada Max dengan rasa sayang yang telah membuncah untuknya.

"Apa kau sama sekali tidak takut pada Ayahku, Max?" tanya Laura serius.

"Ayahmu memang tegas, tapi bukan berarti di galak. Aku percaya Ayahmu pasti akan memperlakukan ku dengan baik," yakin Max seraya mengulas senyuman.

"Ayah pasti tidak akan memperlakukanmu dengan baik. Apalagi kalau dia tahu kau sudah menghamiliku, putrinya." gurau Laura hingga membuat Max terkekeh mendengarnya.

"Yes you're right. It is impossible for a father to be happy to hear that his daughter is pregnant out of wedlock. Sepertinya aku harus mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu aku di hajar Ayahmu." Max mengedikan bahu santai, sementara Laura hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum kecik mendengar Max bicara.

"Apa kau benar mencintaiku, Max?" tanya Laura lagi yang sangat begitu ketakutan jika Max pergi darinya.

"I don't know how I can convince you, maybe I can just tell you something, that I love you. Aku harap kau tidak merasa naif, tidak mungkin kau tidak merasakan perlakuan istimewaku padamu selama ini." bisik Max mengucapkannya dengan sungguh-sungguh hingga Laura pun menatap Max dengan mata yang berkaca-kaca.

"Bukannya aku tidak percaya, tapi entahlah aku sangat begitu mencintaimu. Cintaku padamu terlalu besar sampai-sampai rasa takut kehilanganmu pun semakin besar pula. Jika benih ini memang tumbuh di rahimku, mungkin aku akan bersyukur because he will be the binder of our relationship." tutur Laura lalu mengecup bibir Max sekilas.

Max mengukir senyum sendu dan ia pun berkata dengan segenap hatinya. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, kau adalah gadis yang selalu membuatku merasa happy and you are everything in my life." Max mengelus pipi Laura dengan lembut dan konstan, bagaimana pun Max tidak bisa mendeskripsikan betapa sempurnanya sosok Laura dalam hidupnya.

"Thanks, Max." ucap Laura seraya tersenyum bahagia, begitupun dengan Max.

Bulan berikutnya terlihat Laura sedang sembunyi-sembunyi bertemu dengan Max di belakang sekolah, wajahnya pucat dan berekspresi seperti orang yang sedang ketakutan. Sementara Max yang melihat hal itu langsung panik, tangannya menyentuh kedua bahu Laura dengan sorotan mata penuh khawatir menatap Laura.

"Ada apa? Kenapa wajahmu pucat dan seperti ketakutan seperti ini, Lau?" tanya Max seraya mengangkat wajah Laura yang semula menunduk.

Lapisan bening yang membungkus kedua bola mata Laura pun kini berlinang, ia menatap Max penuh dengan ketakutan sehingga ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun padanya.

"Come on, jangan buatku khawatir seperti ini. Ada apa, Lau?" tanya Max lagi yang semakin panik karena Laura sedari tadi hanya diam saja.

"Max," sebut Laura yang langsung berhambur memeluk Max dengan erat lalu sebuah isak tangis pun lolos dari bibirnya.

Max terkejut karena tiba-tiba saja Laura menangis sesegukan di pelukannya, Max merasa bahwa kini Laura sedang tak baik-baik saja hingga ia pun langsung menarik tubuh Laura dari pelukannya.

"Ada apa, Lau? Aku bingung karena kau malah menangis seperti ini, sementara kau sama sekali tak mengatakan apapun. Apa yang terjadi?" desak Max tak sabaran seraya menatap Laura lamat-lamat.

Laura semakin berlinangan air mata, ia berusaha untuk mengatakan sesuatu meskipun rasanya sulit sekali. Laura menarik napas dan berusaha untuk menenangkan diri agar ia bisa bicara, meskipun sekalinya ia bicara harus dengan nada bergetar.

"Max, aku takut kau meninggalkanku." cicit Laura seraya sesegukan dan bibir bergetar.

Max tersenyum getir. "No, aku takan pernah meninggalkanmu tanpa sebab. Untuk apa?" kilah Max apa adanya.

"Meskipun selama kita berhubungan orang tuaku sama sekali tak merestui hubungan kita?" tanya Laura memastikan.

Max terdiam sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk. "Ya,"

"Apa kau siap dengan perjuanganmu selanjutnya untuk mendapatkan aku?" tanya Laura lagi degan serius yang semakin membuat Max tak mengerti.

"Lau, please ... Katakan ada apa?!" mohon Max yang semakin penasaran dengan pembahasan Laura sekarang yang menurutnya sangat begitu ambigu.

"Aku hamil!" ungkap Laura berterus terang seraya sesegukan kemudian ia pun langsung berhambur memeluk Max lagi dengan jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Seketika saja Max langsung terpaku, napasnya mulai tak beraturan ia seperti mengalami shock yang begitu dahsyat setelah mendengar pengakuan Laura yang membuatnya merasa sangat lemas dan tak berdaya, jika saja ia sudah kehilangan keseimbangan mungkin tubuhnya akan meluruh ke tanah. Tapi beruntung ia masih bisa mengendalikan diri.

Laura terus menangis sesegukan, ia tak bisa membendung semua yang ia rasakan sekarang. Entah ia harus merasa bahagia atau harus bersedih setelah ia mengetahui bahwa kini ia tengah berbadan dua. Hal terbesar yang ia takuti adalah ia takut jika Ayahnya akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap Max. Karena bagaimana pun keluarga besar Laura memang menentang hubungan mereka, termasuk sang Ayah.

Mereka tak menyukai Max yang mereka anggap sebagai rakyat jelata yang tak sepadan dengan keluarga Laura yang sangat terpandang. Di lain hal Laura memang menginginkan benih itu tumbuh di raimnya karena menurutnya benih itulah yang akan membuat hubungannya dengan Max semakin terikat dan takan pernah berakhir. Bahkan Laura pun rela mempertaruhkan masa depannya hanya demi ia ingin terus bersama Max. Namun secara bersamaan ketakutan itu pun semakin membuatnya tertekan, rasa takut kehilangan Max pun semakin besar. Laura percaya pada Max namun ia hanya takut jika Ayahnya akan melakukan segala cara untuk memisahkan mereka.

"It's okay Lau, kau jangan bersedih seperti ini." lirih Max seraya merangkum kedua pipi Laura setelah pelukan mereka terlepas. "Aku ingin janin yang ada dalam rahimmu tumbuh dan aku akan bertanggung jawab. Kau jangan khawatir, ini adalah resiko aku. Biarkan aku menghadapinya. Dan aku berjanji padamu, aku takan pernah meninggalkanmu, Lau." ikrar Max bersungguh-sungguh seraya menatap mata Laura serius.

Laura menatap Max nanar, ia hanya bisa menangis dan terus menangis. "Aku takut Ayah akan memarahimu dan Ayah melakukan sesuatu padamu." cicit Laura diantara Isak tangisnya.

Max berusaha untuk menenangkan Laura dengan tersenyum lembut. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan, Lau. Kau jangan memikirkan apapun, kita jaga calon bayi kita. Dan aku akan berusaha untuk memperjuangkan kamu, bagaimana pun caranya aku tak peduli. Aku akan bertanggung jawab, aku akan menghadapi semua keluargamu termasuk Ayahmu. It's okay." ujar Max yakin dan dapat di percaya.

Laura mengangguk patuh kemudian mereka pun saling berpelukan kembali sebagai penguat satu sama lain.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku