Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Sajak-sajak penuh kemuraman menghinggap di salah satu episode kisah tua kesukaan seorang gadis bersurai hitam legam. Tak terpatri setiap kalimat yang tertulis seolah menghakimi. Alih-alih memberikan penggugah selera, ia justru menyajikan kepahitan yang tiada akhir. Kendati demikian, sorot mata dengan iris amber langka itu tak mau menghilang dari sana.
Tinggal sekian menit lagi, ia masih berusaha mengalihkan rasa takutnya, lantaran jarum jam tak mau disuruh berhenti. Dirinya tahu betul bahwa suasana hening yang melingkupinya akan segera berganti menjadi sebuah kutukan yang sangat ingin sang gadis hindari.
Papan tulis putih diketuk perlahan. Jari jemari yang semula bergerak di atasnya ikut menghindar dari sana. Bersamaan dengan itu pula, suara dering lonceng yang memekakan telinga terdengar membahana, merasuki indra pendengaran setiap penghuni ruangan.
“Baik. Kita selesaikan pelajaran sampai di sini. Sampai berjumpa lagi, anak-anak,” ucap seorang wanita paruh baya yang sedari tadi memimpin jalannya kegiatan dalam ruangan bernuansa putih itu.
“Terima kasih, Miss Lorraine,” sahut seisi ruangan yang kemudian diikuti dengan bisik-bisik pembicaraan lain.
Waktu istirahat telah tiba. Momen yang paling dinantikan oleh semua orang di sana. Oh, tentu saja pengecualian bagi gadis bermata amber. Ia sangat benci dengan detik-detik ini, lantaran kutukan itu akan segera menghampirinya. Tunggu saja, sebentar lagi bedebah itu pasti akan memunculkan wajahnya di depan sang gadis.
Miss Lorraine telah membawa langkah kakinya untuk keluar dari ruangan. Maka, ini saat yang tepat bagi para bedebah untuk beraksi. Sebelumnya, gadis bermata amber telah berusaha secepat mungkin meninggalkan tempat duduknya.
Namun sayang, langkahnya tetap tidak lebih cepat dari sosok yang sangat membuatnya muak, hingga ingin menghilang dari semesta.
“Eitss, kau mau kemana, Sarah? Jangan terburu-buru karena aku ingin membicarakan satu-dua hal denganmu.”
Sosok itu muncul, menghalangi langkah Sarah yang baru saja beranjak dari bangkunya. Gadis berambut blonde dengan kardigan merah yang membalut tubuhnya, kini tengah berdiri tepat di depannya. Gadis itu juga tak segan mendorong tubuh Sarah untuk kembali duduk di bangku.
“Kemarikan bekal makan siangmu!” serunya sembari menepuk ujung meja gadis berambut hitam legam itu. Di belakangnya, dua gadis lain tengah memasang wajah yang sama menyebalkannya.
“Tidak ada yang menarik dari bekalku hari ini, Monica,” lirih Sarah dengan nada yang sangat datar. Sorot matanya tampak menajam.
Mendengar kalimat itu, Monica tentu saja semakin geram. Ia tak mau berhenti mendesak gadis malang itu. Sebenarnya, Monica bukanlah seorang peminta-minta, lantaran ia memang hidup dengan serba berkecukupan. Bagaimana tidak? Ayahnya merupakan CEO dari perusahaan terkenal. Sedangkan, Ibunya sendiri merupakan pemilik butik terbanyak di kotanya.
Namun, semua aset berharga itu justru membuatnya menjadi gadis yang teramat sombong. Ia memang lebih dalam kekayaan juga rupa, tetapi tidak dalam sikap. Gadis blonde perundung yang mengerikan mungkin sangat cocok menjadi julukannya. Ia dan kedua teman dekatnya membentuk geng biadab yang setiap harinya selalu mencari korban. Barangkali itu pula yang terjadi pada Sarah.
Monica mencondongkan tubuh rampingnya ke arah Sarah, lantas mendekatkan bibir merah kepunyaannya ke telinga gadis malang itu. “Aku tidak peduli apa bekalmu. Perkataanku adalah perintah buatmu, Sarah,” bisiknya yang terdengar amat menusuk.
Sebagai jawaban, Sarah menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tak berniat memberikan bekalnya, sekalipun nyawanya menjadi taruhan. Bukan kali pertama gadis bersurai hitam legam itu berada dalam posisi demikian. Perundungan barangkali telah menjadi makanan rutin untuknya. Kendati demikian, kali ini Sarah tak mau menurut, lantaran gadis itu sungguh berada dalam ambang kelaparan.
Bangun kesiangan membuat ia tak sempat memasukkan sesuatu ke dalam perutnya. Maka, siang ini pun Sarah harus menanggung kepalaran yang luar biasa.
“Berikan Sarah!”
Suara Monica semakin meninggi hingga membuat atensi seluruh penghuni kelas tertuju padanya. Kendati demikian, tidak ada satu pun dari mereka yang berani membela Sarah, lantaran mereka tahu akibat yang akan diterima setelahnya.
Sarah bukan gadis lemah. Ia seorang pemberontak, tetapi di depan Monica dan teman-temannya, gadis itu menciut. Pernah dua kali ia berusaha melawan, mempertahankan harga dirinya, tetapi justru berujung pada sesuatu yang sangat mengerikan. Maka sejak saat itu, Sarah memilih diam, walaupun dalam hatinya ia sudah sangat muak.
Tak mendapatkan tanggapan apapun dari lawan bicaranya, Monica segera menarik paksa bekal yang tengah berada di genggaman sang gadis.
“Apakah harus kupaksa dulu agar kau mau memberikan padaku, Nona Sarah?” sarksas Monica. Gadis bersurai blonde itu tergerak untuk memeriksa sesuatu di dalam kotak bekal milik Sarah.
Bukannya mencicipi menu yang tersedia, tanpa disangka-sangka Monica justru menuangkan seluruh isinya tepat di atas kepala Sarah, hingga membuat sang empunya terlonjak kaget.