/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Di dalam kamar tidur yang remang-remang di Vila Tanjung, Kota Nasan.
Setelah berhubungan intim, Vovo dengan lembut mengecup tahi lalat kecil di dada Jasmine, lalu duduk tegak.
Dengan ekspresi datar, dia berkata, "Ayo kita bercerai."
Jasmine, yang masih terengah-engah setelah berhubungan dengannya, menoleh perlahan, sorot mata liar penuh ketidakpercayaan terpancar dari matanya.
Mereka telah menikah selama setahun. Kenapa dia tiba-tiba mengatakan ingin bercerai?
"Dia mengidap kanker perut dan hidupnya hanya tersisa enam bulan lagi," ucap Vovo sambil menyalakan sebatang rokok.
Asap itu mengepul perlahan di sekitar wajahnya.
"Harapan terakhirnya adalah menjadi istriku," tambahnya, nyaris tanpa beban.
Mendengar itu, Jasmine hanya bisa tertegun. Keheningan menyelimuti ruangan seperti kabut tebal.
Lampu di samping tempat tidur menyala redup, memancarkan bayangan panjang di dinding, membuat jarak keduanya tampak lebih jauh dari kenyataannya.
Vovo melirik Jasmine sambil mengerutkan kening.
"Pernikahan itu hanya untuk menghiburnya," jelas Vovo. "Kita akan menikah lagi setelah enam bulan. Jasmine, hidupnya tidak akan lama lagi."
Suaranya tenang, hampir tanpa emosi, seperti seseorang yang menyampaikan pesan yang tak ada hubungannya dengan dirinya.
Jasmine menatap Vovo dalam diam, matanya tak berpaling dari wajah suaminya.
Vovo berbicara seolah-olah kata-katanya adalah perintah, bukan permintaan.
Hubungan mereka selalu sepihak. Sejak awal, Jasmine-lah yang selalu mengejarnya, terbawa oleh rasa cinta masa muda.
Dia tetap berada di sisinya selama bertahun-tahun, melewati masa-masa sulit tanpa pernah menyerah.
Jasmine masih ingat hari itu, saat hujan deras membasahi tubuh mereka berdua, Vovo berdiri tegak, melindunginya dari ayah tirinya—sambil memegang tongkat yang retak, dan berkata dengan suara penuh amarah, "Sentuh Jasmine lagi, dan kamu akan menyesal."
Momen itu terukir dalam hatinya. Bahkan ketika Jasmine lemah dan berlumuran darah, dia melihat Vovo—tak bergeming, melindungi, dengan penuh keberanian.
Sejak saat itu, Jasmine adalah miliknya.
Dia mencintai pria itu tanpa ragu, memenuhi setiap permintaannya dengan sepenuh hati, lebih sempurna dari siapa pun.
Vovo akan selalu menepuk kepalanya dengan lembut dan hangat, lalu berkata dengan suara pelan, "Jasmine, kamu melakukannya dengan sangat baik."
Tetapi pujian Vovo tidak pernah bertahan lama, ciumannya hanya berlangsung singkat, dan kasih sayang yang mereka bagikan selalu terasa asing. Tetapi Jasmine meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah sifatnya.
Bahkan ketika orang lain menyebutnya naif, dia tetap bertahan—setia dan penuh keyakinan.
Dia sudah mendedikasikan tujuh tahun hidupnya untuk pria itu.
Setahun yang lalu, kakek Vovo, Derek, menderita sakit parah. Keluarga, yang berharap dapat menghiburnya, memutuskan bahwa Vovo harus segera menikah. Mungkin pernikahan cucunya bisa memberi pria tua itu kebahagiaan dan semangat untuk bertahan.
Jadi Vovo akhirnya menikahi Jasmine.
Jasmine berpikir mimpinya akhirnya akan terwujud. Tetapi setelah menikah, sesuatu malah berubah. Vovo mulai menjauh. Terkadang, pria itu memandangnya seolah-olah dia adalah orang asing.
"Jasmine, apa kamu mendengar perkataanku?" Vovo mengerutkan kening saat melihat tatapan jauh di mata Jasmine.
"Apa harus melakukan ini?" tanyanya pelan.
Vovo tidak menjawab secara langsung. Sebaliknya, dia berkata, "Jasmine, dia sangat menderita."
Mendengar itu, dada Jasmine terasa sesak. "Lalu bagaimana denganku?"
Vovo tidak langsung menjawab. Sorot matanya suram dan tenang, mengerjap dengan sedikit ketidaksabaran.
Kemudian, setelah terdiam sekitar tiga detik, dia berkata, "Jasmine, dia sedang sekarat. Mungkin kamu tidak tahu, tapi dia mencintaiku. Karena kita sudah menikah, dan dia tidak ingin menyakitimu, dia tidak pernah membiarkan hubungan kami berkembang terlalu jauh. Bahkan saat aku mencoba menebusnya, dia akan selalu menolak. Dia wanita yang baik. Kumohon, biarkan dia memenuhi harapan terakhirnya. Jangan membuatku berpikir kalau kamu tidak berperasaan."
Kata-katanya, yang diucapkan dengan begitu tenang, menusuk hatinya lebih dalam daripada jika pria itu berteriak.
Jadi, menurut Vovo, seorang wanita yang jatuh cinta pada pria beristri—yang berjanji akan menahan diri tapi sebenarnya tidak benar-benar pergi, adalah wanita baik.
Dan seorang istri yang hanya ingin mempertahankan suaminya untuk dirinya sendiri justru dianggap tidak berperasaan.
Jasmine menatap wajahnya. Wajah yang sama yang dulu membuatnya jatuh cinta—mata yang tajam, hidung yang tegas, bibir yang indah.
Kapan segalanya mulai hancur?
/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
/0/3925/coverorgin.jpg?v=f35beec2a693ab20cde31366697c77fa&imageMogr2/format/webp)
/0/7222/coverorgin.jpg?v=fa840bf8f80501551acf4848587246b5&imageMogr2/format/webp)
/0/12904/coverorgin.jpg?v=2589c8c89ccd7dcafbfe40a8212f700b&imageMogr2/format/webp)
/0/8780/coverorgin.jpg?v=b064d962beb6d58a8985decb2c0c21bb&imageMogr2/format/webp)
/0/21897/coverorgin.jpg?v=31156dc72b2797871c94a083151f0cce&imageMogr2/format/webp)
/0/4319/coverorgin.jpg?v=2d2dbc24418772e1e84fae29a97b16dd&imageMogr2/format/webp)
/0/13422/coverorgin.jpg?v=8dbc5d2ea4081bab48f62d4af138b7d2&imageMogr2/format/webp)