Fiona Megan Olaf, seorang mahasiswi yang yang biasa ditindas di kampus merasakan perubahan di usia 20 tahun setelah bertemu dengan seekor serigala. Pertemuan itu pelan membuka jati diri yang sesungguhnya bila dia adalah keturunan werewolf. Kekuatannya sedikit demi sedikit bisa dikendalikan. Mampukah dia membalas semua perlakuan buruk padanya? Juga mendapatkan hati pria yang dikejarya?
Bellevue College, Seattle.
Terdengar suara denting bel yang berbunyi yang menandakan waktu istirahat di sebuah universitas.
Seorang wanita keluar dari sebuah kelas. Di ruangan itu tertera sebuah tulisan kelas Ilmu Komputer. Baru berjalan selangkah, teman lain berhenti di dekatnya.
"Fiona kamu mau kemana buru-buru pergi?"
Wanita berambut cokelat panjang yang tertunduk itu menegakkan muka untuk menatap temannya. Hanya seper sekian detik mata mereka beradu dan gadis itu kembali menundukkan pandangan. Ada rasa takut menatap lama lawan bicaranya.
Lawan bicara Fiona, wanita berambut pendek sebahu dengan tatapan tajam kemudian memegang pucuk dagu Fiona dengan angkuh, mengangkatnya sejajar dengan mukanya.
"Jangan bilang kamu mau datang ke kelas kedokteran untuk menemui Garth. Sebaiknya kamu berkaca dulu. Mana mungkin pria itu mau jalan denganmu. Bukan, mungkin bicara denganmu saja dia tak mau. Kamu hanyalah seorang anak yatim piatu tanpa asal-usul yang jelas."
Fiona Megan Olaf, wanita yang ditemukan di depan pintu sebuah panti asuhan 20 tahun silam. Entah, siapa yang membuang bayi mungil tak berdosa yang hanya dibungkus selimut hangat itu. Saat itu pengurus panti menemukannya terus menangis, karena tak menemukan seseorang di sana dan sepertinya memang ditinggalkan, maka pengurus panti mengasuhnya hingga dewasa.
Bayi mungil itu kini tumbuh menjadi sosok wanita cantik, namun rendah diri. Fiona kurang percaya diri dengan penampilannya yang berbeda dari yang lain meski dia punya beberapa kelebihan di bidang akademis. Namun wajahnya berjerawat. Jerawat di mukanya bandel. Selalu muncul kembali setelah berulang kali diobati. Sampai lelah rasanya dia mengurus jerawat, hingga akhirnya dia biarkan saja jerawat itu tumbuh di muka, membuat wajah cantiknya tersembunyi di balik jerawat.
Fiona menyimpan rasa suka pada seseorang mahasiswa dari kelas kedokteran yang berada pada tingkat akhir, Garth. Bisa dibilang sudah lama dia mengagumi senior beda jurusan ini.
"Tidak, kenapa kamu melarangku bila sekadar bertemu saja? Kamu juga bukan kekasihnya," protes Fiona dengan sedikit keberanian.
Perkataan Fiona melecut emosi Lucy, ketua kelas yang juga merupakan ketua tim cheerleader di kampus ternama ini. Lucy cantik, seluruh tubuhnya terawat. Dia merupakan keturunan dari orang berada di wilayah ini. Hanya saja dia angkuh dan sombong. Dia sering memamerkan kekayaan orang tuanya yang tak akan habis dimakan tujuh turunan. Tak jarang pula dia bersikap semena-mena pada yang lain.
"Asal kamu tahu saja bila mau Garth akan bertekuk lutut padaku. Sayangnya dia bukan tipeku dan tidak selevel denganku. Aku hanya menjelaskan saja kamu tidak sebanding dengan Garth, sebaiknya kamu menyerah saja daripada terluka nanti," balas Lucy dengan senyuman menghina. Bisa dibilang dia jijik melihat Fiona, wanita yang menurutnya lusuh dan tak ada kelebihannya sama sekali. Baginya Fiona itu seperti kotoran yang mengganggu mata. Bau dan harus disingkirkan.
"Tapi Lucy bila kamu tidak suka pada Garth, kenapa kamu melarangku mendekatinya?" Fiona kembali mengumpulkan kekuatan untuk bertanya. Biasanya dia tak berani mengajukan banyak pertanyaan atau bicara lama dengan Lucy. Tapi, dia tidak tahan lagi. Kenapa Lucy terus melarangnya mendekati Garth.
"Kenapa, apakah aku tidak pantas mendekatinya?" Fiona menatap ke dalam mata Lucy dengan tubuh gemetar.
"Sudah aku jelaskan padamu di awal apa masih kurang jelas? Bila begitu aku akan memperjelasnya. Kamu belum makan siang 'kan? Nikmatilah ini. Aku sedang berbaik hati padamu." Lucy tersenyum miring. Satu tangannya membawa hamburger dan satu tangan lainnya membawa saus.
Lucy mengangkat tangannya yang memegang saus di atas kepala Fiona, kemudian menuang semua saus pada puncak kepala Fiona, lalu pergi begitu saja meninggalkan Fiona yang terkepal tangannya di bawah sana dengan tubuh yang semakin berguncang menahan perlakuan semena-mena Lucy.
Sekarang dia merasa kepalanya lengket oleh saus. Tak mungkin dia berjalan-jalan dengan kepala kotor begini. Fiona memutuskan untuk pergi ke toilet dan membersihkan saus di rambut.
Nahas, di tengah jalan dia berpapasan dengan Garth, pria yang ditaksirnya. Mahasiswa kedokteran tingkat akhir ini berjalan lurus seolah tak melihat keberadaan Fiona di tengah keramaian jalanan ke toilet. Malahan beberapa wanita yang juga lewat jalan ini berebut menyapa Garth.
"Halo, Garth. Apakah kamu ada waktu luang untuk keluar denganku?" tanya seorang mahasiswi dengan tatapan berbinar.
"Garth, aku dengar dari yang lain kamu senggang hari ini. Ayo kita bersenang-senang di akhir pekan." Mahasiswi lain ikut berhenti setelah seorang wanita menghentikan langkah Garth.
Kini ada dua wanita yang mengerubungi pria bermata hazel bulat ini. Dari fisik, Garth adalah seorang pria yang nyaris sempurna. Jadi, siapa wanita yang tidak akan tertarik padanya?
"Halo, Garth," sapa Fiona berhenti persis di samping pria yang dikaguminya dengan hati berdebar. Segala rasa sedih dan kesal yang bercampur aduk menjadi satu setelah apa yang dilakukan Lucy padanya seolah sirna, hilang entah kemana berganti dengan hati yang berbunga-bunga.
Garth mengangkat sebelah alis menatap gadis belepotan saus di kepala yang baru saja menatapnya. Jujur, dia merasa tak nyaman dan terganggu dengan kondisi Fiona saat ini. Bagaimanapun juga dia adalah calon dokter yang selalu menjaga segala sesuatunya bersih dan higienis.
"Kamu siapa?" tanya Garth dengan mata memicing. Dia lebih tak nyaman lagi menatap wajah Fiona yang penuh dengan jerawat.
"Fiona. Aku Fiona." Padahal Fiona bukan sekali ini saja menyapa Garth. Sudah seringkali dia menyapa pria ini. Namun dia sering mendengarkan jawaban yang sama. Entah, kenapa pria itu tak kunjung hafal dengan dirinya. Ada rasa kecewa dan sakit hati dirinya tak pernah ada dalam hati pria itu, namun dia tetap tersenyum di depan Garth, lalu pergi secepatnya sambil menutup puncak kepala dengan tisu agar saus di sana tak terlalu terlihat jelas. Dia malu Garth melihatnya dalam kondisi buruk begini.
Sekepergian Fiona, Garth beralih menatap dua wanita yang masih ada di sisinya.
"Kamu tahu siapa wanita tadi?"
"Dia Fiona, dari jurusan ilmu komputer. Sepertinya dia suka padamu. Tapi apa dia tidak berkaca dulu melihat dirinya sendiri seperti apa?"
"Fiona?" Garth kembali menyebut nama Fiona dan mengingatnya namun tetap saja dia tak ingat pada sosok wanita tadi. Setelahnya dia sibuk bicara dengan dua wanita tadi.
***
Fiona tiba di toilet. Dia membasahi tisu yang baru saja diambilnya dengan air keran setelah saus di kepalanya hilang. Meski saus itu hilang, namun masih terasa lengket. Fiona mengatasinya dengan tisu basah yang dicampur sabun cair sedikit untuk membersihkan sisa saus. Mungkin nanti pulang dia akan keramas.
Terdengar suara pintu dibuka. Tiga orang wanita masuk. Mereka berhenti setelah melihat Fiona ada di sini.
"Fiona, kenapa kamu membersihkan rambutmu? Apa rambut baumu itu kotor?" sindirnya dengan tatapan remeh.
Fiona menjeda sejenak aktivitasnya lalu menatap wanita yang merupakan teman sejurusan dengannya namun beda kelas. Sejenak dia menghela napas berat. Lucy tak lagi ada di dekatnya dan mengganggu tapi kini muncul pengganggu lain. Dia hanya berharap tiga wanita ini tak mengganggu dirinya.
"Tidak," jawab Fiona singkat karena tak mau berurusan dengan mereka. Meski belum selesai membersihkan Fiona buru-buru angkat kaki dari sana daripada terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Tiga orang mahasiswi yang melihat Fiona menuju ke pintu dan akan keluar, menghalangi. "Mau ke mana kamu buru-buru? Kamu sepertinya membersihkan bagian rambut. Apa kamu perlu bantuan dari kami?"
Fiona menggeleng menatap sorot mata dan senyum jahil mengerikan itu. Dia menarik pintu untuk keluar agar bisa menghindar dari mereka. Namun satu orang menarik kerahnya kasar lalu melepas hingga dia jatuh tersungkur. Tak puas dengan aksi itu, wanita lain mengambil keranjang sampah yang ada di sana lalu menumpahkan isinya ke tubuh Fiona.
"Apa kamu masih ingin bantuan dari kami?" tanya seorang wanita yang memegang satu botol sabun cair dan siap menuang itu ke tubuh Fiona.
Fiona hanya menggeleng saja, menolak keras tawaran itu. Namun sekeras apapun dia menolak tetap saja temannya itu menuang isi sabun cair ke tubuhnya. Dengan senyum berkembang dan tatapan puas, mereka bertiga kemudian keluar dari toilet meninggalkan Fiona dalam kesedihan.
Mata bulat Fiona memburam panas. Buliran bening kemudian menetes dari sudut matanya. Betapa sesak rasanya terus di bully di kampus yang merupakan tempat terpelajar ini.