Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kakak Iparku Istriku

Kakak Iparku Istriku

Dewi Fortuna

5.0
Komentar
182
Penayangan
2
Bab

Adel adalah sosok mahasiswi, kehidupannya berubah karena kehadiran seorang bocah mungil bernama Caca. Caca sangat mencinti Adel, entah apa dan mengapa cinta bocah kecil itu sangat luar biasa, bahkan melebihi kepda ibu kandungnya. hingga ia berkeinginan, seorang Adel, yang ia panggil dengan sebutan Mama menjadi mama kandung yang sebenarnya. Erma ibunda Caca meninggal dunia, membuat Adel dilema, Caca menginginkannya untuk menjadi ibu seutuhnya. Adel menikah dengan Arman setelah Erma meninggal Namun dalam pernikahan Adel dan Arman, Adel justru baru merasakan bahwa sebenarnya ia mencintai William adik dari Arman., William kerap menyatakan cinta, kerap itu pula ditolak oleh Adel Apakah ada rahasia besar di balik pertemuan Adel dan keluarga Caca. benarkah Caca lahir hasil dari Inseminasi jangan-jangan Caca adalah anak kandung Adel. selamat membaca

Bab 1 CARI KOST

Akhirnya cita-cita yang kudambakan selama ini terwujud, kuliah di salah satu Universitas Islam, dengan biaya tanpa menyulitkan orangtua.

Sehari setelah kelulusan ujian masuk, aku menjadi tenaga pengajar di Madrasah Diniyah yang cukup dekat dengan kos-kosan.

Mencari tempat tinggal nyaman lagi murah di kota besar bukan perkara yang mudah, Tuhan itu mengetahui apa yang dibutuhkan hambanya saat kesulitan, seperti yang kualami, membutuhkan tempat tinggal sesuai ukuran kantong.

Alhamdulillah rumah yang dibentuk bermodel susunan kamar menjadi pilihan, tidak terlalu ramai, juga tidak sepi, dan mulai besok aktivitasku dimulai.

Waktu terus berjalan, aku mengenal banyak orang. Di kampus, di kos, maupun di lingkungan sekitar.

Kuliah, kerja, pulang ke kos mengerjakan tugas makalah dan cuci mata sesekali di Mall, rutinitas setiap harinya.

Tak terasa satu semester telah berlalu, begitu cepat, rasanya aku baru kemarin ikut test masuk ke Universitas itu, ternyata enam bulan bagai sehari terlewati. Satu hal yang menarik yang ingin kuceritakan.

Adakah yang hendak mendengar?

Aku menemukan cinta dari sosok gadis kecil. Setelah berusaha sekuat tenaga mengubur masa lalu dari perbuatan menjijikkan

*

Namanya Caca, gadis usia empat tahun yang diberi gelar 'bayi mahal' karena mendapatkan bocah itu butuh lembaran merah satu keranjang.

Rambutnya ikal sebahu, matanya bulat, senyumnya lepas, ramah pada semua mahasiswi yang ngekos sepanjang jalan berhadapan dengan rumahnya.

Meskipun kamar-kamar kost berderet sepanjang satu kilometer dari ujung gang hingga ujung gang lainnya, bocah cantik itu lebih suka menjambangi kamar-kamar penghuni kos kami termasuk berseliweran di kamarku daripada kos-kosan lain yang lebih mewah.

Sambil membawa majalah bobo yang jelas tak bisa ia baca, hanya menunjuk-nunjuk gambar sambil tertawa.

Menggores pensil membentuk coretan tak beraturan, kemudian merengek minta dibuatin jus jeruk, plus makan disuapin--super Manja.

Yanti, Lidya, Ira dan Tiva teman satu kos terbiasa memanjakan Caca.

Entah bagaimana gadis kecil itu bisa akrab dan menjadi bagian dari kami, seperti adik, anak, teman bahkan boneka lucu.

Akhirnya kamarku menjadi rumah kedua bagi Caca.

Caca yang memiliki nama panjang Armeyenti Salsabila Arman.

Memiliki panggilan khusus pada kami mahasiswi yang baru enam bulan menempati kos-kosan tersebut.

Memanggil dengan sebutan Ummi untuk Tiva, panggilan Bunda untuk Yanti, Mami untuk Lidya dan Ibu untuk Ira dan terakhir ia menatapku tersenyum manja.

Dengan gaya polosnya menunjuk wajahku.

"Ini ... Mama!" Teriaknya kegirangan.

Panggilan itu melekat bertahun kemudian, tak sekalipun ia menyebut kakak, lidahnya seolah terbiasa menyebut Mami, Bunda, Ibu, Ummi dan Mama untuk memanggilku.

Bahkan dengan mudah membedakan tiap panggilan dan orangnya.

Di usianya yang ke lima tahun, Caca sudah pandai membaca, jika tidak ada kegiatan kampus, aku menghabiskan waktu bersenda gurau dengannya.

Bermain Ludo, ular tangga, dan sesekali mengajari menulis dan membaca.

Bu Erma, Ibunda kandung Caca, sosok wanita luar biasa, guru di sebuah SMA Negeri, Bu Erma sangat bahagia melihat kedekatan putrinya pada kami. Terutama padaku, hampir setiap hari ia mengantarkan gulai, sambal atau kue-kue ringan.

Mahasiswi mana yang tak suka diberi makanan. Gratis pula.

Awalnya ia selalu memberikan untuk kami berlima, namun lambat laun makanan hanya ditujukan untukku. Teman-teman memaklumi, bisa bangkrut Bu Erma kalau ngasih makan lima mahasiswi dengan gratis tiap hari.

Alasannya, Caca tidak mau makan kalau tidak bersamaku, tidak mau makan kalau tidak aku suapin, tidak mau tidur kalau tidak di sampingku.

Dan ... kebaikannya menjadi berkali lipat saat mengetahui Caca pandai membaca dan menulis plus pandai membaca Alquran di usia lima tahun.

Bu Erma sangat terharu, ia tidak butuh guru les atau kursus yang super mahal untuk Caca, cukup bertandang ke kamarku, gadis itu mendapatkan semua yang diinginkan orangtuanya.

Pandai membaca, menulis, membaca Alquran, dan beberapa ayat yang juga sudah berhasil ia hafal.

Di hari ulang tahunku Bu Erma menghadiahi sebuah handphone keluaran terbaru. Sungguh membuat terharu, ia juga memberikan beberapa lembar uang untuk makan-makan sederhana ala anak kos.

"Del ... kalo kamu kuliah, saya itu susah banget pici kamu, hape kamu kan, masih hape senter. Caca mau bicara sama kamu dulu, baru mau makan, baru mau mandi. Jadi saya diskusi sama papahnya. Nah hasilnya ... Ni hape dibeliin buat kamu. Biar nanti Caca bisa pici. Saya suruh telpon gak mau, katanya harus liat mamahnya dulu."

Bu Erma menjelaskan perihal alasan ia memberiku handphone mahal itu, karena ia tau aku tak suka diberi uang atau benda mahal lainnya.

Beberapa kali Bu Erma memberikan uang dengan dalih karena sudah mengajari Caca, berkali juga kutolak.

Entah bagaimana mulanya, mungkin karena terbiasa selalu bersama, aku menyayangi gadis itu seperti adik, anak atau apalah.

Aku sendiri tak bisa menafsirkannya. Baru beberapa jam di kampus rengekannya menjadi begitu dirindukan.

*

Begitulah ....

Waktu berlalu begitu cepat, Caca masuk sekolah dasar. Semakin lama gadis itu seperti lumrah memanggilku mama, justru memanggil ibunya dengan sebutan 'Bu Erma'.

Mamanya hanya tertawa mendengar panggilan yang ia anggap, lelucon si gadis kecil.

Tetangga dan teman-teman ibunya, bahkan teman-temanku ikut serta melumrahkan panggilan itu.

"Caca ... mau ke mana? ke rumah mama?"

Jika yang disebut mama, maka yang dimaksud adalah aku. Jika yang dimaksud ibunya maka para tetangga dan yang lainnya menyebut 'Bu Erma'

"Caca ... nanti yang ambilin raport siapa? mama atau Bu Erma?"

Begitulah Kalimat yang terdengar, setiap hari, pada akhirnya rutinitas kebiasaan yang terjalin bersama, tak lagi bisa di-urai. Gadis kecil itu benar-benar seperti anak kandungku.

*

Hingga suatu hari yang naas, kecelakaan merenggut kebahagiaan, Bu Erma tertabrak motor gede, kakinya cacat, kursi roda menjadi teman sehari-hari.

Hari naas itu berketepatan aku diterima mengajar di sekolah Islam terpadu yang cukup jauh dari kos-kosan sehingga harus segera pindah agar hemat transportasi.

Semua barang sudah dikemas untuk segera berangkat. Berita mengejutkan itu menghentikan sejenak aksi beres-beres, aku berlari menuju rumah Caca, setelah mendengar suara sirine ambulance.

Bu Erma tampak pucat, kaki kanan dibalut perban, sebelah kiri tungkai dan betisnya memakai gips yang juga dibalut perban. Hanya kedua tangan tidak memakai apapun.

Kemungkinan tidak cedera, aku mendekat memeluk Caca yang menangis menatap ibunya.

Untuk pertama kali sosok berbadan tegap, berkulit hitam, sorot mata setajam elang, kulihat dengan mata kepala sendiri mengurus Bu Erma dengan begitu telaten--suaminya.

Selama ini hanya kudengar dari cerita. Anggota instansi pengamanan negara. Tanpa senyum ia melewati para tamu. Dingin. Membawa Bu Erma menuju ruangan yang telah ditunggu banyak tetangga.

*

"Mohon saya Del, jangan pergi! Tinggallah di rumah ini, demi Caca. Saya akan memberi gajimu sesuai dengan yang kamu terima di sekolah itu." Bu Erma menggemgam tanganku. Berharap pembatalan pindahan dan pembatalan mengajar.

Tiga hari lalu aku meminta izin untuk mengundurkan jadwal masuk mengajar pada kepala sekolah, dan beliau mengizinkan. Selama tiga hari kuhabiskan membantu apa saja yang dibutuhkan di rumah Bu Erma.

Setidaknya sebagai balas budi kebaikan yang selama ini ia berikan.

Menyuruh Caca mandi, menyusun peralatan sekolahnya, menyuapkan makan, sampai memakaikan ia baju dan mengantarkannya ke sekolah.

Caca semakin manja dua kali lipat sejak Bu Erma kecelakaan. Aku sampai kewalahan, hal sepele pun ia bergantung padaku.

"Ma, nanti yang buat klir tuk gunung dan sawahnya mama, ya!" Untuk memberi warna pada tugas seninya yang biasa ia lakukan sendiri kali ini harus aku yang turun tangan.

"Ma ... Caca mau mama tungguin di sekolah."

Perintahnya padaku.

"Kalo gitu mama pindah saja dari rumah ini." Jawabku santai.

"Enggak jadi deh, Caca berani kok di sekolah."

Ternyata jawabanku membuatnya takut. Dan tidak lagi meminta macam-macam. Caca sangat mencintaiku. Aku tahu itu.

Pulang kuliah aku berencana bicara pada pak Arman. Lebih tepatnya Harmiyanto Arman. Papa Caca, berat memang meninggalkan Bu Erma, tapi tidak mungkin aku selamanya di rumah mereka.

Kesempatan mengajar sangat sulit bagi mahasiswi semester bawah sepertiku.

Alhamdulillah ini berkah, dengan mudah diterima di sekolah cukup favorit di seantero kota.

Di sinilah aku, di ruangan berdesain pedepokan, dengan nuansa coklat bercampur putih bersih, Khas Melayu-Jawa.

Di hadapan duduk lelaki berperawakan garang, berwajah serius tanpa senyum, seakan aku makhluk yang siap ditelan.

"Berapa gaji kamu di sekolah itu?" tanya-nya tanpa basa-basi. Aku menyebutkan angka. Ia mengangguk.

"Saya akan bayar kamu lebih dari itu, asal kamu mau tinggal di sini. Anggap ini rumahmu." Aku menunduk diam.

Memindai wajahnya sepersekian detik. Sepertinya sedang ada masalah pada detak jantungku.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku