Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Iparku Ayah Anakku

Iparku Ayah Anakku

yeorana

5.0
Komentar
4.6K
Penayangan
13
Bab

Setelah setahun menganggur, Andini akhirnya bekerja sebagai sekretaris di perusahaan milik kakak iparnya, Rama, berkat bantuan kakaknya, Anjani. Tinggal bersama Anjani dan Rama, Andini berusaha menyesuaikan diri meski menghadapi sikap dingin Rama. Namun, hubungan yang tak terduga terjadi antara Andini dan Rama. Dalam keadaan mabuk, Rama menyebabkan Andini hamil. Rama yang begitu menginginkan anak, memohon agar Andini mau dijadikan istri keduanya. Lalu bagaimana dengan Anjani, kakaknya sendiri? Akankah Andini mengungkapkan kebenaran kepada Anjani? Bagaimana Rama menghadapi konsekuensi dari perbuatannya? Dan bisakah Anjani menerima pengkhianatan dari adiknya sendiri meskipun itu sebuah kecelakaan?

Bab 1 Malam Itu

"Ini data yang salah," kata Rama dengan suara dingin. "Di mana data yang benar?"

Andini merasakan jantungnya berdebar keras. Dia mencoba mencari dokumen yang benar di laptopnya, namun tidak menemukannya. "Maaf, Mas-maksud saya, Pak Rama. Saya pikir ini sudah benar..."

Meskipun Rama adalah suami kakaknya, Rama tidak pernah berlaku hangat pada Andini. Tatapannya tajam bak elang, dan sikapnya sebagai bos terkesan sangat galak.

Rama memandangnya tajam. "Kesalahan seperti ini tidak bisa diterima. Rapat ini sangat penting dan kamu harus memastikan semua data benar sebelum diserahkan."

Andini menunduk, merasa malu dan bersalah.

"Ikut ke ruangan saya sekarang," perintah Rama dengan nada tegas.

Andini mengikuti langkah Rama dengan hati-hati, merasakan ketegangan di udara. Sesampainya di ruangan, Rama berdiri di belakang meja kerjanya, wajahnya kaku dan penuh amarah yang terpendam.

"Duduk," perintah Rama tanpa senyuman.

Andini duduk dengan gugup, menatap meja, tidak berani menatap langsung ke mata Rama.

"Ini bukan pertama kalinya kamu melakukan kesalahan besar, Andini," kata Rama dengan suara yang semakin tinggi. "Sekarang, kamu memberikan data yang salah untuk rapat penting. Itu memalukan. Dan apakah kamu tidak ingat, kamu pernah mengirim email yang salah kepada klien kita yang paling penting! Apa yang kamu pikirkan?"

Andini menelan ludah, mencoba menjelaskan. "Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya sedang berusaha menyesuaikan diri dengan pekerjaan ini. Saya benar-benar tidak bermaksud untuk membuat kesalahan..."

"Berusaha? Berusaha saja tidak cukup, Andini!" potong Rama dengan keras. "Ini bukan tempat untuk orang yang hanya 'berusaha'. Ini adalah perusahaan yang serius, dan setiap kesalahan yang kamu buat berakibat besar pada kita semua."

Air mata mulai menggenang di mata Andini, tetapi dia mencoba menahannya. "Saya akan lebih berhati-hati, Pak. Saya akan belajar dari kesalahan-kesalahan saya sebelumnya."

Rama menggelengkan kepala, menunjukkan ketidakpuasan. "Saya sudah cukup memberi kesempatan. Kamu harus memahami bahwa setiap tindakanmu membawa konsekuensi. Jika kamu tidak bisa mengikuti ritme kerja di sini, mungkin kamu harus mempertimbangkan kembali apakah kamu cocok untuk pekerjaan ini."

Andini merasa dunia seolah runtuh di sekitarnya. Dia tahu bahwa Rama benar, tetapi tekanan dan kritik yang diberikan membuatnya merasa hancur. "Jangan mentang-mentang karena kamu adik ipar saya kamu bisa seenaknya, Andini. Ingat, kamu saya terima di perusahaan ini karena Anjani yang meminta. Saya ulangi, hanya karena Anjani yang meminta. Karena dia sangat menyayangi adik perempuannya yang manja ini."

Andini semakin menunduk, harusnya dia sadar Rama menerimanya karena tidak mungkin menolak permintaan istri tercintanya.

"Saya... saya akan berusaha lebih baik lagi, Pak. Tolong beri saya satu kesempatan lagi."

Rama menatapnya tajam, wajahnya penuh ketegangan. "Ini kesempatan terakhir. Jika kamu membuat satu kesalahan lagi, saya tidak akan ragu untuk memecatmu."

Andini mengangguk lemah, merasa keputusasaan semakin dalam. Dia keluar dari ruangan Rama dengan langkah gontai, mencoba menenangkan diri. Namun, kejadian-kejadian itu membuat Andini merasa semakin tidak nyaman tinggal bersama Rama dan Anjani.

***

"Mau ke mana kamu?"

Andini yang sedang mengemasi barang-barangnya bersiap pulang menatap Rama, masih takut setelah dimarahi tadi.

"Pulang, Pak. Ada yang Anda butuhkan lagi?"

"Siapa yang menyuruhmu pulang? Kamu harus ikut saya ke acara pesta pertunangan investor baru kita. Itu salah satu tugasmu sebagai sekretaris juga, Andini."

Andini tidak bisa berkata tidak, jadi dia mengangguk. 'Baik, Pak. Saya akan siapkan jas Anda dulu-"

"Tidak perlu, saya pakai ini saja. Ayo, kita sudah hampir terlambat."

Andini mengikuti Rama menuju mobil pribadinya. Biasanya, Andini yang menyetir untuknya, tapi kali ini pria 28 tahun itu ingin menyetir sendiri.

Suasana dalam mobil terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang tidak diungkapkan oleh keduanya.

Tiba-tiba, ponsel Rama berbunyi.

"Halo, sayang?" sapanya ke seseorang di seberang sana. Itu Anjani, istrinya.

"Sayang, aku malam ini nggak pulang dulu, ya. Bridal showernya tengah malam banget, jadi kita-kita mau sekalian nginap. Boleh yaa sayang yaaa..." Anjani merengek agar diizinkan.

Rama menghela napas berat.

"Iya boleh."

"Yeay terimakasih suamiku i love you!"

"Saya juga malam ini mungkin pulang te-"

Tut.

Sambungan telepon diputuskan begitu saja oleh Anjani.

Rama meremas setir, mungkin dia sedikit kesal dengan sikap Anjani yang semena-mena.

Andini hanya bisa mencuri pandang dari kursi penumpang, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di kepala bosnya itu.

Mereka tiba di hotel mewah tempat pesta itu berlangsung.

Andini tentu hanya mengekor Rama saja, berusaha menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin meskipun perasaannya bercampur aduk.

Pesta semakin larut, dan Rama terlihat banyak minum.

"Minum, Din." Rama menuangkan segelas wine.

"Maaf, Pak, saya tidak minum." Andini menolak dengan sopan, menggeleng kecil.

Baru kali ini dia melihat kakak iparnya mabuk. Dia pikir Rama bukan orang yang seperti itu.

"Minum saja satu gelas." Kata Rama lagi, pria itu tampak sedang banyak pikiran dan minum banyak sekali.

"Pak... saya pikir Anda sudah cukup minumnya. Lebih baik berhenti, Pak." Andini menerima gelas dari Rama tadi namun tidak meminumnya.

"Kamu pikir saya lemah?" Rama kembali meneguk minumannya.

"Saya hampir kehilangan investor yang sangat saya incar sejak dulu karena ulahmu."

Deg!

Andini menunduk, meremas gelasnya lalu meneguknya dalam sekali teguk. Diingatkan kembali dia jadi merasa gelisah.

"Maafkan saya, Pak."

Malam semakin larut, Rama berakhir harus menginap di hotel ini.

Andini yang masih sadar, berusaha memapah Rama menuju kamarnya sembari berusaha menghubungi Anjani namun tidak ada jawaban.

"Tolong, kak Anjani, angkat teleponnya..." Andini berbisik cemas pada dirinya sendiri.

Andini membanting pelan tubuh mabuk Rama di kasur king size itu. Kamar ini sangat gelap, lampu belum satupun dinyalakan.

Hanya mendapat penerangan dari cahaya bulan di jendela.

Berniat ingin berdiri untuk menyalakan lampu, tiba-tiba tangan besar menahan pergelangan tangannya.

"P-pak?"

"Kamu mau ke mana?"

"Err..." Andini merasa canggung, mengapa Rama bertanya seperti itu.

"Saya-"

"Anjani...." Rama tiba-tiba menariknya dan terus menyebut-nyebut nama Anjani.

"Pak... saya Andini... bukan kak Anjani..." Andini berusaha melepaskan cengkeraman tangan Rama yang cukup kuat.

Ranjang berdecit dan entah bagaimana ceritanya Rama sudah berada di atas tubuh Andini dan menciumi lehernya. Nafasnya bau alkohol sekali.

"M-mas Rama! Mas Rama! Aku bukan kak Anjani!!"

Tubuh besar Rama yang menindih tubuh mungil Andini membuatnya tidak bisa bergerak.

Di antara cahaya remang-remang, Andini bisa melihat wajah tampan Rama yang menatapnya sayu.

"Andini..."

Dia bergumam lirih, dan sebelum Andini sempat bereaksi, Rama menundukkan kepala, bibirnya mencari-cari bibir Andini.

Segala upaya Andini untuk memberontak terasa sia-sia, kekuatan Rama terlalu besar.

"Mas, tolong! Jangan..." bisiknya dengan suara serak.

Namun, tidak ada yang bisa menghentikan pria mabuk itu sekarang.

Ketika tangan Rama mulai menjelajahi tubuhnya dengan kasar, Andini merasa semakin terperangkap, hati kecilnya berteriak minta tolong, namun suaranya hilang dalam kepanikan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku