Lalita terpaksa harus menikahi Nicholas Atmadja, calon suami kakaknya sendiri. Hal itu terjadi karena sang kakak, Viona- mengalami kecelakaan dan terbaring koma sebelum pesta pernikahan. Sejak awal Lalita memang sudah mencintai Nicholas, tapi dia tahu bahwa hati pria itu hanya untuk Viona. Walaupun begitu, Lalita tetap menjalankan perannya sebagai istri yang baik, juga berharap bisa mendapatkan cinta yang sesungguhnya dari Nicholas. Hingga takdir memainkan perannya, membuat Viona kembali sadar dari koma, bersamaan dengan Lalita yang mengetahui bahwa dirinya hamil. Akan kah Lalita mampu mendapatkan cinta dari Nicholas, ataukah memilih merelakan sang suami untuk kakaknya?"
"Akhirnya kebaya untuk akad nikah kak Vio selesai juga."
Lalita dengan mata berbinar menatap kebaya putih gading di hadapannya. Kebaya dengan full payet itu khusus dia buat untuk kakak kesayangannya yang akan menikah tiga hari lagi.
"Eeenggg...." Lalita mengerang pelan sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, berharap bisa meregangkan otot-otot punggungnya yang terasa kaku.
"Capek banget," gumam Lalita sembari meraih gelas plastik yang berisi hazelnut latte dingin kesukaannya. Minuman bercafein itu memang telah menjadi sahabatnya setiap kali harus bekerja lembur untuk menciptakan desain-desain terbaru guna mengisi butik miliknya ini.
Tok... tok....
"Masuk!" seru Lalita dengan tatapan ke arah tembok kaca yang menampilkan langit malam Jakarta.
"Hai...."
Suara bariton itu membuat Lalita memutar badan cepat, terpaku sejenak saat melihat pria tinggi tegap dengan wajah nyaris sempurna di depan sana.
"Kebayanya sudah selesai?"
"Ah iya." Mata Lalita mengerjap cepat, menyadarkan kembali otaknya bahwa pria itu adalah milik kakaknya.
"Ini?" Pria bernama Nicholas itu menunjuk ke arah manekin di dekat meja.
"Iya, Mas... itu kebaya kak Vio."
"Aku ambil ya."
Lalita mengerutkan kening sembari bangkit dari kursinya. "Lho, kok mas Nicho yang ambil, katanya tadi kak Vio yang mau bawa langsung."
"Vio lagi pesta lajang sama teman-temannya, jadi aku aja yang bawa kebaya ini ke apartemennya," kata Nicholas dengan senyum kecil.
Lalita mengangguk-angguk pelan, perlahan bibirnya mengulas senyum iri. Selama ini dia tahu bahwa Nicholas memang sangat mencintai kakaknya, sedangkan hatinya malah dengan lancang mengagumi pria itu.
"Ini bagaimana lepasin dari patungnya?"
"Biar aku aja, Mas." Lalita bergegas berjalan ke arah manekin, membawa tangannya dengan sangat hati-hati untuk melepaskan kebaya itu dari manekin.
"Jangan terlalu keras."
"Iya, Mas. Ini udah hati-hati kok."
"Kerjamu maksudnya."
"Eh?" Refleks Lalita menoleh, mendapati Nicholas yang mendekat ke arahnya.
"Aku dengar dari Vio kalau kamu sering begadang hanya karena pekerjaan. Jangan seperti itu terus, kasihan tubuh kamu," ucap Nicholas dengan senyum kecil.
Lalita membeku, perlahan gelenyar hangat mulai menyebari wajahnya hanya karena kalimat sederhana itu.
"Lihat nih," Nicholas tampak mengusap bawah mata Lalita lembut, "mata kamu sudah kayak mata panda.
Lalita benar-benar tak bisa bernafas dengan benar saat ini, bahkan debaran jantungnya terasa menggila.
"Hei... kok malah bengong?"
Lalita tergagap saat merasakan tepukan lembut di pundaknya. Dia kembali mengerjap cepat, menarik nafas dalam-dalam seolah oksigen baru saja meninggalkan ruang di sekitarnya.
"Ma... maaf, Mas." Lalita berjalan sedikit menjauh, mulai membungkus kebaya indah itu dengan tangannya yang gemetar. Sesekali dia melirik ke arah Nicholas yang saat ini duduk di salah satu sofa sembari bergumam dalam hati. "Astaga... dia calon kakak iparku... aku nggak boleh terus mengaguminya."
Setelah selesai, Lalita memberikan kebaya tersebut pada Nicholas.
"Thank you, Ta," ucap Nicholas sembari menepuk bahu wanita itu pelan. "Cepat pulang, ini sudah malam."
"Iya, Mas...." Lalita tersenyum kecil sembari mengangguk, terlalu takut menatap mata tegas itu- takut kembali terpesona.
"Ya sudah, aku balik dulu."
Lalita baru berani mengangkat wajah saat Nicholas sudah berjalan ke arah pintu. Dia mendesah panjang, merutuki perasaannya yang masih tak berubah sejak dua tahun lalu, mencintai kekasih kakaknya.
Lalita memutar badan, kembali menatap ke arah langit malam yang seolah menyadarkannya bahwa waktu bekerja telah habis. Akhirnya, dia memutuskan untuk berkemas dan pulang.
Namun, ponselnya berdering nyaring saat dia baru akan memasuki mobil yang terparkir di halaman butik. Senyumnya merekah saat melihat nama sang ibu di sana.
"Hallo, Ma... iya, ini Lita juga mau pulang," oceh Lita dengan ponsel menempel di telinga.
"Lita...."
Kening Lita berkerut dalam saat mendengar suara ayahnya yang seperti sedang menangis. "Papa, kenapa?"
"Kakak kamu, Ta... kakakmu kecelakaan...."
Tubuh Lalita menegang dengan jantung yang seolah berhenti berdetak saat itu juga.
"Kondisinya kritis di rumahsakit Atma Medika."
"Lita- ke sana sekarang, Pa."
***
Lalita berlari menapaki lorong rumahsakit, menuju ke ruang ICU seperti yang dikatakan oleh resepsionis di depan. Ternyata di sana sudah tampak kedua orang tuanya dan juga ny. Atmadja, calon mertua kakaknya.
"Pa, gimana kondisi kak Vio?" tanya Lalita dengan mata memburam, menatap ke arah sang ayah yang terus memeluk ibunya.
"Viona... viona mengalami perdarahan otak yang serius," jawab papa Suseno dengan menahan isak tangis.
"Dokter sudah melakukan operasi satu jam yang lalu, tapi ternyata kondisi Viona masih sangat kritis," sahut bu Utari Atmadja dengan wajah tetap tenang.
"Ya Allah...." Lalita membungkam mulutnya yang terbuka, mendadak merasakan lemas pada sekujur tubuhnya.
"Tenanglah, Lita... kita masih menunggu penjelasan lebih lanjut dari dokter," kata bu Utari sembari mengusap lengan Lalita lembut.
"Di mana kak Vio sekarang, Tante?" tanya Lalita dengan air mata yang sudah membanjir.
"Viona ada di dalam, ditemani Nicho."
"Lita boleh masuk kan?"
Bu Utari mengangguk pelan. "Katakan saja pada perawat kalau tante sudah memberimu izin."
Tanpa pikir panjang Lalita langsung masuk ke dalam ruang ICU tersebut. Awalnya dia ditahan oleh salah satu perawat, tapi dia menggunakan nama Utari Atmadja sebagai perisai, karena rumah sakit ini memang milik keluarga Atmadja.
Lalita telah menggunakan jubah steril saat memasuki kamar ICU yang ditempati oleh Viona. Dia terpaku saat melihat Nicholas yang saat ini duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan kakaknya erat. Bisa terlihat jelas kesedihan di wajah tampan itu yang membuat hatinya semakin teriris nyeri.
Dengan langkah gontai, Lalita semakin mendekat ke arah ranjang, berdiri di seberang tempat Nicholas saat ini. Dia menatap sendu ke arah Viona yang terbaring lemah di sana, tampak perban besar yang membungkus kepala kakaknya dan wajah cantik itu terlihat sangat pucat.
"Kakak harus bangun...." gumam Lalita sembari duduk pada kursi di sana, ikut menggenggam tangan Viona yang berhias selang infus. "Kebaya kak Vio udah jadi lho."
Perlahan rasa sesak menghantam dada Lalita, berimbas pada air mata yang kembali mengucur deras. "Kenapa kayak gini sih, Kak?"
"Viona menyetir dalam kondisi mabuk," sahut Nicholas.
Lalita mengusap air matanya kasar, menatap ke arah pria itu. Dia bisa melihat mata Nicholas yang memerah seperti menahan tangis.
"Seharusnya aku tadi menjemputnya," tambah Nicholas dengan suara bergetar.
"Ini semua bukan salah mas Nicho," balas Lalita sembari menahan isakannya. "Ini semua adalah takdir."
Tatapan Lalita bergeser pada wajah Viona. "Aku yakin, kak Vio pasti bisa cepat sadar. Dia pasti ingin kembali melanjutkan acara pernikahan-"
"Tidak bisa."
Suara itu membuat mereka menoleh, mendapati bu Utari yang berjalan mendekat ke arah ranjang.
"Apa maksud mama?" tanya Nicholas dengan mata memicing ke arah ibunya.
"Mama datang untuk menyampaikan hal penting pada Lalita," jawab bu Utari.
"Saya?" Lalita mengarahkan jari telunjuk pada wajahnya sendiri. "Kenapa, Tante?"
Bu Utari tampak menghela nafas berat saat menatap ke arah Viona yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumahsakit. "Kata dokter, otak Viona kehilangan aktifitasnya, itu berarti Viona telah mengalami koma."
"Ya Allah!" pekik Lalita dengan bahu mulai bergetar.
"Kita semua tidak tahu kapan dia akan bangun atau malah mungkin tidak bisa bangun."
"Ma!" bentak Nicholas dengan tatapan tajam. "Viona pasti bangun, kita hanya perlu sabar."
"Sabar katamu?" Bu Utari menatap putra sulungnya itu dengan senyum miring. "Kehormatan keluarga Atmadja dipertaruhkan di sini, Nich... dan kamu yang harus bertanggung jawab untuk itu."
"Di saat seperti ini mama masih ngomongin kehormatan! Di mana hati nurani mama!" balas Nicholas dengan suara meninggi.
"Oke, maafkan Mama," balas bu Utari dengan menurunkan nada suara, kembali menatap ke arah kakak beradik di hadapannya. "Mama datang untuk berbicara dengan Lalita, dan memang harus di hadapan Viona."
"Sebenarnya ada apa, Tante?" Lalita mengerutkan kening bingung.
"Lalita," bu Utari meraih sebelah tangan gadis itu, menggenggamnya lembut, "maaf kalau Tante harus berbicara langsung padamu, karena semua ini harus dilakukan demi kebaikan keluarga kita berdua."
Mendadak perasaan Lalita berubah tak enak, apalagi saat melihat ketegangan di wajah Nicholas. Otaknya berjalan cepat, membayangkan spekulasi menyakitkan yang tak ingin didengar. "Apa kalian- ingin membatalkan pernikahan ini?"
"Tidak, Sayang...." bu Utari tersenyum lembut. "Pernikahan ini akan tetap berlangsung karena semua sudah siap seratus persen, undangan pun sudah disebar."
Pernyataan itu sedikit membuat Lalita bisa menghela nafas lega. Namun, kalimat selanjutnya benar-benar membuat Lalita seolah tertampar keras.
"Tapi kamu yang akan menjadi pengantinnya, menggantikan Viona."
To be continue....