Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Takdir 2 Dimensi

Takdir 2 Dimensi

Ree Ichi

5.0
Komentar
673
Penayangan
11
Bab

Candy tak sengaja menemukan seekor kucing lucu, namun di tengah kebahagiaannya mendapatkan kucing yang lucu dan cantik dari jalanan tersebut, kehidupannya mulai berubah. Ternyata kucing tersebut merupakan seorang pangeran yang dikutuk oleh seorang penyihir jahat. Hingga kutukannya tersebut menghilang karena ketulusan dari Candy yang merawat kucing tersebut. Akan tetapi saat bibit cinta dalam hati keduanya mulai mekar, mereka dihadapkan pada suatu hal yaitu perbedaan dimensi keduanya, lantas bagaimana cerita selanjutnya?

Bab 1 Menemukan Makhluk Imut

Sepulang sekolah aku harus berjibaku dengan tugas piket esok hari bersama Riya, teman sebangku ku yang selalu menemaniku setiap jadwal piket."Candy ayo pulang, lihat sudah mulai mendung tuh," ujar Riya dengan nada kesal karena piketku belum juga selesai."Sedikit lagi, Ya. Kalau kamu mau pulang duluan tidak mengapa, toh sebentar lagi aku juga segera meninggalkan kelas dan pulang," tawarku kepada temanku yang selalu bawel saat aku lelet.

"Hah, iya deh aku tunggu saja, nanti anak orang diculik peri penunggu pohon toge bisa berabe," candanya kepadaku sambil menirukan drama di televisi.

Aku pun meletakkan sapu dan kembali dengan memakai tas di pundakku.

"Ayo pulang!" ajak ku kepada Riya yang memang rumah kami satu arah.

Kami menunggu bus yang sering lewat di depan sekolah, biasanya akan lenggang jika saat aku pulang agak belakangan.

Namun entah kenapa hari ini rasanya bus selalu penuh sesak, tidak ada cara lain selain nekat dan berdesakan di ambang pintu.

"Kampung hijau.. Kampung hijau," teriak kernet yang kini mendekat ke arah kami.

"Kita naik saja yuk, Ya, sebelum nanti kita telat pulang karena kelamaan nunggu bus lenggang," ajak ku kepada Riya yang tampaknya sedikit kesal, namun dia mengangguk mengiyakan.

Sebelah tanganku melambai ke arah bus yang akan mendekat ke arah kami.

"Hati-hati Neng, dan yang lain agak ke dalam agar bisa kebagian tempat," pinta pak kernet yang mengatur tempat kami berdua berdiri.

"Terima kasih, Pak," sahutku dengan nada sopan.

'Mungkin dengan begini aku bisa segera kembali ke rumah tepat waktu,' batinku yang sebenarnya juga kesal namun terpaksa.

Hujan mulai turun dengan derasnya, untungnya aku dan Riya sudah mendapatkan tempat duduk karena banyak yang sudah turun.

"Pak, kampung hijau ya," pintaku sambil memberikan beberapa lembar uang pecahan seribuan kepada pria paruh baya di depanku.

"Oke, Neng. Hati-hati saat turun, jalannya licin," ujar pak kernet ramah kepadaku.

"Iya, Pak."

Saat aku hendak turun, aku berkata dengan Riya, "Aku turun duluan ya."

Riya hanya mengangguk dan tersenyum manis ke arahku.

Bus akhirnya berhenti di salah satu kedai yang sering ramai dikumjungi kaum muda sepertiku saat sepulang sekolah. Aku melangkah turun dengan hati-hati dan berteduh sebentar untuk mencari payung lipat yang selalu aku bawa ketika musim hujan tiba.

"Untung masih ada jimat keberuntungan," ocehku seorang diri di kursi panjang yang tidak jauh dari kedai kopi tersebut.

"Candy, mampir dulu," teriak wanita paruh baya yang merupakan pemilik kedai kopi tersebut.

"Terima kasih, Mbok Nana. Aku harus segera pulang, takut dicariin karena tidak bawa ponsel tadi," sahutku jujur karena pagi tadi terburu-buru saat jam hampir pukul tujuh pagi.

"Ya sudah hati-hati ya, Nak."

Saat aku ingin melangkah dan bersiap menembus hujan yang lebat dengan payung antik kesayanganku, kucing kecil lucu berbulu halus mendekati diriku.

"Kamu pasti kehilangan indukmu ya?" tanyaku pada binatang yang jelas-jelas tidak bisa berbicara bahasa manusia.

'Ingin aku tinggalkan tapi kasihan, tapi kalau aku bawa nanti kamu makan apa?' batinku berkecamuk.

Melihatnya yang begitu sangat menyedihkan dan kedinginan, akhirnya aku meminta Mbok Nana sebuah kantong kresek warna hitam.

"Buat apa, Neng!" tanya wanita paruh baya itu dengan raut wajah bingung.

"Untuk ini, Mbok," jawabku sambil menyengir.

Mbok Nana tertawa melihatku yang begitu polos saat ingin membawa kucing yang kutemukan di luar kedai tadi.

"Harusnya bukan itu, Nak!" ucap wanita paruh baya yang tertawa melihatku.

Dia menyodorkan sebuah benda dan membuatku semakin melongo.

Wanita paruh baya itu memberikanku sebuah tas besar, tas belanjanya yang sering dia gunakan saat ke pasar membeli bahan untuk kafenya.

"Mbok ih, yakali kucing imut ini dimasukkan ke dalam tas belanja, bukannya tambah aman tapi makin basah nanti kena air," ujarku dengan menggendong kucing imut yang nyaman di pelukanku.

"Bercanda, Neng. Lagian dibawa seperti itu juga gak masalah, Neng. Daripada nanti dikira sama Bunda gorengan tempe dan kawan-kawan," ujar Mbok Nana setengah tertawa.

"Iya juga sih, Mbok. Ya sudah aku pulang dulu ya Mbok."

Aku menggendong kucing lucu yang kedinginan karena kehujanan dengan hati-hati, sambil terus membawa payung yang melindungi ku dan kucing itu dari hujan.

"Tunggu sebentar lagi ya, kita akan segera sampai rumah," menolongku berbicara dengan kucing lucu itu.

"Anak gila, bicara sama kucing," sindir Wahyu-anal orang kaya yang tidak punya sopan santun.

"Hah, jangan dengerin ucapan besarnya, tubuhnya saja yang besar tapi otaknya gak ada," oceh ku mencibir Wahyu yang berlalu memakai jas hujannya.

Entah apa yang terjadi, aku melihat pemuda bertubuh gembul itu nyungsruk ke sawah milik orang yang baru ditanami padi.

"Duh itu gak di tolongin kasihan, tapi dilihat juga bikin sakit perut," kataku sambil menertawakan pemuda yang tadi mengejekku dengan sebutan gila.

Dari arah berlawanan, ada bapak-bapak yang lewat dan membantu Wahyi dari kubangan lumpur.

"Ya ampun, mirip pisang coklat," ucapku lirih dan menahan tawa. Sedangkan kucing di dekapanku tampak juga setuju dengan apa yang aku katakan.

"Eh, hujannya padahal belum berhenti, kenapa aku malah melihat adegan nyungsruk itu. Kalau gak kena omel Bunda aku."

Dengan kecepatan kilat, aku lari menerjang rintik hujan sambil membawa kucing yang kehujanan tadi.

Di depan rumah tampak Bunda melihatku dengan tatapan khawatir, detik kemudian telingaku kena jewer Bunda yang mode singa.

"Kamu dari mana saja, Can. Lihat nih sudah hampir sore, hujan lebat malah keluyuran kesana kemari. Dan itu kenapa bawa kucing segala," omel Bunda yang melihatku dengan pakaian kotor, basah, serta ditambah lagi tadi masih tugas piket.

"Maaf, Bunda. Tadi aku masih piket kelas, biar besok gak usah lagi berangkat pagi," ucapku dengan jujur.

"Ya sudah masuk dan mandi, jangan lupa cuci seragam sekolahmu agar tidak meninggalkan bercak bintik hitam seperti dosa."

Bunda mencoba melucu, namun yang ku dengar malah terdengar garing dan tidak tepat.

Selesai bersih-bersih aku menemui Bunda yang berada di ruang tamu, menonton siaran ikan terbang kesukaannya.

"Bun, aku boleh meminta sesuatu gak?"

Atensi Bunda kini menghadap kearahku.

"Kamu mau minta apa, Nak?" tanya Bunda lembut. Wanita paruh baya itu selalu menyempatkan diri untuk mendengar keluh kesahku setiap hari.

"Bunda, bolehkah aku merawat kucing lucu ini, tadi aku melihat dia kedinginan di luar sana dan tidak punya tempat tinggal."

Tampak Bunda ingin menyampaikan jawabannya, namun aku segera memotong dulu, "Jika tidak boleh dipelihara, aku juga tidak masalah kok, Bun," kataku dengan nada lirih.

"Nak, dengar dulu kata, Bunda. Kamu boleh memelihara kucing ini, tapi ingat beri dia makan juga."

"Beneran, Bun?" tanyaku dengan nada senang tak terkira.

'Tak ku sangka ternyata Bunda mengizinkanku memelihara kucing lucu ini,' batinku bersyukur dalam hati.

"Kamu tahu 'kan apa saja yang harus diperhatikan jika punya hewan peliharaan?" tanya Bunda kepadaku.

Sejenak aku berpikir lalu tersenyum.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku