Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Antara Takdir dan Cinta

Antara Takdir dan Cinta

Rfi Dianafi

5.0
Komentar
561
Penayangan
25
Bab

"Azra Guzel Nawala, menikahlah denganku. Jadilah istriku dan ibu dari anak-anakku. Satu-satunya wanita yang akan melahirkan keturunanku." "Kamu sama sekali tidak minta pendapatku apakah aku mau menikah denganmu atau tidak. Perkataan yang kamu keluarkan menjelaskan kalau kamu tidak meminta persetujuanku untuk sebuah pernikahan yang akan dijalani. Seolah-olah pernikahan hanya permainan yang dengan mudahnya kamu ucapkan." "Oh, tidak! Bahkan kamu seperti memberikan perintah agar aku menikah denganmu." Azra Guzel Nawala. "Aku memang tidak sedang meminta pendapat dan persetujuan dari mu, Azra. Aku hanya memberitahumu." "Mau atau tidak, suka atau tidak, setuju atau tidak, kamu akan menikah denganku. Kamu tidak akan pernah menikah dengan pria manapun selain denganku. Sekali aku menginginkanmu, maka selamanya kamu akan menjadi milikku." "Kenapa, Azra? Jangan berpikiran aku kejam padamu. Aku mencintaimu, Azra," lirih Daren sembari berjalan perlahan mendekati Azra. "Kamu memang pria kejam! Kamu pria yang tidak mengerti arti cinta suci. Kamu hanya pria egois yang hanya tahu bahwa semua keinginan mu harus terpenuhi," sarkas Azra sembari terus menangis. "Lalu, apa itu arti cinta yang sebenarnya, Azra? Pria seperti apa yang mengerti bagaimana cinta suci? Apa pria seperti Bima yang menurutmu pantas mendapatkan cinta darimu?" tanya Daren membuat Azra bungkam. Beginikah kehidupan ini? Aku mencintai Bima, tapi pria itu jauh sangat tinggi untuk ku gapai. Sisa umurku ini haruskah aku habiskan bersama orang yang tidak aku cintai? Ya Tuhan, aku mencintai Bima, tapi aku tidak bisa bersamanya. Engkau justru menakdirkan aku menikah dengan orang asing. Beginikah takdir dan cinta yang engkau tetapkan kepadaku, Tuhan?

Bab 1 Part 1 Pertemuan yang Mengesankan

Taman Putri Kaca Mayang, Pekanbaru.

Jum'at, 5 Agustus 2022.

Siang hari, 14.00 WIB.

Azra sedang duduk di salah satu tempat yang ada di taman Putri kaca Mayang Pekanbaru. Matanya menatap kosong ke depan menerawang sesuatu yang sudah beberapa hari ini membuat sesak dadanya. Sekuat mungkin Azra menahan air mata yang terus saja mendesak ingin keluar. Berbagai macam beban bertumpu di pundak. Belum selesai satu masalah, sudah datang lagi masalah yang lain sampai Azra sendiri bingung bagaimana caranya mencari solusi agar dapat keluar dari segala kerumitan ini.

Hah!

Azra menghembuskan nafas panjang. Mencoba tersenyum sembari menatap anak-anak yang berbahagia tengah bermain bersama keluarga mereka. Terlintas di pikiran Azra, andai saja dia dapat tertawa lepas bahagia seperti anak itu mungkin semuanya akan terasa sangat ringan tanpa beban. Getaran ponsel mengalihkan perhatian Azra. Senyuman manis terukir di bibirnya mendapati pesan dari seorang pria yang sangat dia cintai.

"Lagi di mana, Dek? Udah pulang dari klinik, belum?" Isi pesan singkat dari Bima, pria yang sudah menjalin hubungan dengannya beberapa bulan terakhir. Hanya pesan singkat seperti itu saja, tetapi berhasil menghangatkan hati Azra.

"Udah, Mas. Nih, aku lagi duduk di Kaca Mayang," balas Azra dengan cepat. Dia tidak mau Bima terlalu lama menunggu pesan balasan darinya.

"Gimana kata dokter, Dek?" tanya Bima akan kesehatan Azra yang memang sedikit terganggu beberapa bulan terakhir.

"Semuanya udah mulai baik, Mas. Cuma, bulan depan tetap harus check up lagi. Setiap bulan harus ke klinik sampai benar-benar sembuh." Azra mengetik dengan gerakan yang sangat cepat. Wajar saja, dia yang menggunakan ponselnya untuk mencari uang tambahan tentu sudah terbiasa mengetik cepat.

"Maaf, Mas ngak bisa ngantar," lanjut Bima dengan emoticon sedih.

Mengirimkan balasan dengan senyuman yang terdapat love di sana, Azra berusaha menunjukkan kalau dia sekarang sedang baik-baik saja.

"Ngak papa, Mas. Aku ngerti, ko."

"Lagian, aku udah biasa kemana-mana sendiri. Jadi, aku nggak kaget lagi. Mas tenang aja. Mas tahu kan, kalau aku pemberani?"

Dua kali Azra mengirimkan pesan singkat balasan. Azra tidak mau Bima mengetahui kalau sebenarnya saat ini dia sedang membutuhkan sandaran.

Berbagi cerita dan keluh kesah sembari mengeluarkan segala apa yang tertahan di hatinya. Sayang sekali, kesempatan itu belum datang padanya saat ini.

"Iya, Mas tahu. Cuma, rasanya lain aja. Biasanya, kan Mas bisa ngantar Adek, tapi karena kerjaan Mas yang bener-bener ngak bisa ditinggal, jadi Adek harus pergi sendiri," balas Bima mengungkapkan penyesalannya.

Yah, sebelumnya Bima tidak pernah absen mengantarkan Azra pergi ke klinik memeriksakan kesehatannya. Hanya saja, kali ini pekerjaan yang menumpuk benar-benar tidak bisa ditinggal. Bahkan beberapa berkas kantor yang akhir-akhir ini menggunung membuat Bima harus lembur tiap malam.

Azra tersenyum kecut membaca pesan dari kekasihnya. Dia sama sekali tidak marah. Bukan teman pergi ke klinik yang dibutuhkan Azra, tapi teman untuk berbagi masalah yang saat ini mengganggu pikirannya.

"Yah, Mas rasanya memang lain. Bukan cuma karena Mas Bima yang nggak bisa ngantar aku ke klinik, tapi ada hal lain yang lebih besar dari itu. Sesuatu yang membuatku terganggu dalam tidurku. Sayangnya, Mas Bima nggak pernah mau membicarakan hal itu bersamaku," gumam Azra pelan sembari menatap ponsel dalam genggamannya. Membaca pesan Bima yang sampai saat ini sudah lebih dari 15 menit belum juga dia balas.

"Belum lagi tentang ibu yang kesehatannya semakin hari semakin memburuk. Dari mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu? Sementara gajiku dari bekerja ditambah dengan tabunganku masih jauh dari kata cukup," lanjut Azra yang masih menatap ponsel seolah Bima mendengar apa yang menjadi kegelisahannya saat ini.

Belum sampai Azra mengetik pesan balasan untuk Bima, pesan baru yang masuk dari pria itu membuat Azra hanya bisa tersenyum terpaksa.

"Ya, udah dulu ya, Dek. Mas mau lanjut kerja biar nanti malam ngak lembur. Mas pingin pulang cepet biar bisa istirahat cepet juga," isi pesan Bima. Lalu tidak lama kemudian pesan kedua dari Bima menyusul.

"Nanti kalau mau pulang, hati-hati. Jangan ngebut-ngebut. Oh, ya, jangan lupa kasih tahu sama Mas kalau udah sampai rumah. Assalamualaikum."

Senyuman tipis terbit di sana, Azra menggeleng tidak mengerti. Padahal Bima tahu kalau rumahnya tidak jauh. Masih sekitaran Pekanbaru, tapi pria itu menganggap rumahnya seolah berada di ujung dunia sampai harus memberikan pesan seperti itu.

"Yang semangat kerjanya, Mas. Kalau capek natap laptop terus, Mas istirahatkan sebentar matanya. Jangan lupa menjaga kesehatan. Nanti kalau udah kayak aku, jadinya malah payah buat sembuh." Pesan pertama sudah Azra kirimkan. Dia kembali mengetik pesan kedua untuk membalas pesan kedua Bima.

"Ya, nanti kalau aku udah sampai di rumah, aku kasih tahu Mas Bima. Jangan lupakan kalau rumahku sebenarnya deket, cukup 30 menit saja udah sampe. Jadi, Mas Bima ngak usah khawatir banget sama aku. Wa alaikumussalam."

Pesan sudah terkirim keduanya, tapi belum bercentang biru. Padahal saat ini Bima masih aktif. Mungkin pria itu sedang sibuk dengan rekan kerjanya, pikir Azra mencoba untuk selalu berpikiran positif.

Merasa dia sudah cukup mengistirahatkan pikirannya di tempat itu Azra beranjak dari tempat. Dia berjalan sembari membawa minuman di tangan kanannya. Tas ransel sederhana selalu setia menemani kemanapun Azra pergi.

Saat sudah hampir sampai di tempatnya meletakkan sepeda motor, Azra yang sedang sibuk dengan ponselnya tidak fokus melihat keadaan. Dia hampir saja terserempet oleh orang yang tengah melintas dengan kecepatan tinggi. Bahkan bisa dibilang orang itu termasuk ugal-ugalan dalam membawa sepeda motor di tempat yang tidak seharusnya.

Beruntung sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Tepat ketika Azra hampir saja terserempet, seseorang menariknya cepat menyelamatkan.

Azra merasa tubuhnya tertarik kuat. Spontan, Azra tidak sadar langsung mengalungkan kedua tangannya di leher orang yang sudah menyelamatkan dia sembari memejamkan matanya erat.

Syukurnya ponsel Azra tidak terjatuh. Benda pipih itu masih tetap berada dalam genggaman meski saat ini dia memeluk leher orang yang sudah menyelamatkannya.

"Orang itu sudah pergi, Nona. Anda sudah bisa tenang, sekarang. Lain kali berhati-hati lah kalau sedang berjalan. Jangan hanya karena sebuah ponsel justru membuat nyawa anda berada dalam bahaya," ucap seorang pria yang saat ini kedua tangannya memeluk pinggang Azra.

Posisi mereka berdua terlihat begitu mesra. Jika orang tidak tahu mengenai kejadian yang sebenarnya pasti mereka mengira yang tidak-tidak tentang Azra dan pria itu.

Suara seorang pria yang terdengar sangat dekat membuat Azra membuka pejaman matanya. Seketika dia langsung disambut oleh mata indah pria itu. Azra seperti terhanyut di dalamnya. Bahkan dunia terasa berhenti berputar.

Bukan hanya itu saja, orang-orang yang tengah melintas dan melihat mereka berdua yang masih dalam posisi berpelukan menganggap seolah dunia hanya milik mereka berdua, yang lain cuma numpang.

"Terpesona oleh ketampananku, Nona?" Pria itu bertanya setelah tidak mendapatkan tanggapan Azra.

Ternyata, pertanyaan itu masih belum dapat menyadarkan Azra. Akhirnya pria itu kembali membuka suara sembari melepaskan sebelah tangan kanannya yang tadi memeluk pinggang Azra.

Sementara tangan kiri masih tetap berada di sana menahan tubuh Azra. Dengan tangan kanan menyingkirkan rambut halus yang menutupi wajah Azra, perkataan pria itu berhasil membawa wanita di hadapannya kembali pada kesadaran saat ini.

"Apa aku terlalu mempesona sampai membuatmu melupakan duniamu, hmm? Atau aku perlu membawamu langsung menghadap kedua orang tuamu lalu merubah status kita berdua menjadi sah?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku