/0/25602/coverorgin.jpg?v=f78608e96138309796e790df68c40154&imageMogr2/format/webp)
Aku ditinggalkan untuk mati di dalam mobil yang terbakar oleh suamiku sendiri. Dia lebih memilih menyelamatkan selingkuhannya, junior kerjaku. Saat aku membuka mata lagi, aku kembali ke masa lalu, dengan semua ingatan tentang pengkhianatan mereka.
Di kehidupan sebelumnya, aku terperangkap di kursi penumpang, melihat Arifin, suamiku, memeluk Liana dengan senyum puas saat mobil kami meledak.
Ini bukan kecelakaan. Ini adalah pembunuhan berencana yang kejam demi menguasai harta warisanku.
Rasa sakit karena dikhianati jauh lebih membakar daripada api yang melahap tubuhku.
Aku mati dengan hati hancur dan penuh dendam.
Aku tidak mengerti mengapa takdir memberiku kesempatan kedua.
Saat aku membuka mata, aku kembali ke masa kuliah, jauh sebelum tragedi itu terjadi. Arifin berdiri di hadapanku, dengan senyum polos yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Tapi kali ini, aku melihat kebusukan di baliknya. Aku akan membuat mereka membayar semua penderitaanku.
Bab 1
Natania POV:
"Aku menyesali setiap detik yang kubuang untuk mencintaimu, Arifin," kataku, suaraku serak, teredam oleh rasa sakit yang menusuk.
Tenggorokanku tercekat, perih dan panas. Aku merasakan hawa panas yang membakar melingkari kakiku.
Mobil itu, rumah kedua kami, sedang terbakar. Api menjilat-jilat kursi, melahap dasbor yang retak. Asap hitam pekat memenuhi paru-paruku.
Kupalingkan wajahku ke samping. Arifin, suamiku, arsitek brilian yang kucintai, baru saja menarik Liana Tambunan keluar dari kobaran api.
Liana, rekan kerja juniorku yang selalu kubimbing.
Tubuhnya, yang biasanya lincah dan bersemangat, kini tergeletak lemas di pelukan Arifin. Arifin memeluknya erat, menepuk-nepuk pipinya, seolah dialah satu-satunya yang penting.
Arifin, yang pernah bersumpah akan mencintaiku sampai mati, kini meninggalkanku begitu saja di dalam mobil yang sebentar lagi akan meledak.
Aku melihat matanya. Tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi rasa panik. Hanya ketenangan dingin. Seolah dia sudah merencanakan ini.
Seolah dia memang ingin aku mati di sini.
Seketika, rasa sakit di hatiku jauh lebih membakar daripada api yang menjilat-jilat kakiku. Lebih menyakitkan daripada tulang-tulangku yang mungkin patah akibat benturan.
Ini pengkhianatan. Pengkhianatan yang paling kejam.
"Tolong! Arifin! Selamatkan aku!" teriakku, suaraku pecah.
Tapi Arifin tidak menoleh. Dia terus memeluk Liana, tatapannya terpaku pada wajah Liana yang pucat.
Dunia di sekitarku berputar. Warna merah, oranye, dan hitam memenuhi pandanganku.
Panas itu semakin hebat, membakar kulit dan rambutku. Bau bensin dan karet terbakar menusuk hidungku.
Aku merasakan jantungku berdebar kencang, lalu melambat. Napasku tersengal-sengal.
Melihat Arifin dengan Liana, semua kenangan kami berkelebat. Malam-malam tanpa tidur saat kami merancang maket rumah impian kami.
Tawa renyah saat kami menerima penghargaan pertama sebagai duo arsitek muda. Janji yang terucap di depan altar, disaksikan oleh kalung giok pusaka keluargaku yang melingkari leherku.
Semua itu kini terasa seperti kebohongan besar.
Satu detik. Dua detik.
Aku memejamkan mata, menunggu ledakan yang tak terhindarkan.
Tapi kemudian, sebuah cahaya terang menusuk kelopak mataku. Rasa dingin yang aneh merambat di tubuhku, menggantikan panas yang membakar.
Aku membuka mata. Aku tidak lagi di dalam mobil. Aku berdiri di sampingnya, melihat diriku sendiri yang terperangkap di kursi penumpang.
Wajahku pucat pasi, rambutku acak-acakan. Mataku menatap kosong ke depan.
Lalu, sebuah ledakan dahsyat. Api melambung tinggi, melahap habis sisa-sisa mobil yang hancur.
Dan di sana, di dekat semak-semak, Arifin masih memeluk Liana. Wajahnya dipenuhi senyum tipis, puas.
Sebuah senyum yang tidak pernah diberikannya padaku dalam beberapa bulan terakhir.
Aku merasakan diriku melayang, transparan. Aku adalah arwah.
Aku kembali.
Karena janji suci yang terikat pada kalung giok itu. Janji yang kini terasa pahit.
Aku kembali untuk menyelesaikan urusan terakhirku.
Berpisah. Berpisah dengannya.
Aku terbangun di tempat tidurku yang lembut. Ini kamarku, kamar kami.
Cahaya matahari menembus tirai, menerangi ruangan yang tertata rapi. Maket rumah impian kami, yang dulu kubuat dengan penuh cinta, berdiri anggun di sudut ruangan.
Piagam-piagam penghargaan kami berjejer rapi di dinding.
Aku bangkit, berjalan ke cermin. Bayanganku muncul, samar, hampir transparan.
Aku menyentuh pipiku. Tidak ada lagi rasa sakit. Tidak ada lagi kesedihan yang membakar. Hanya kekosongan.
Aku berjalan ke balkon, melihat ke bawah.
Di halaman, Arifin sedang menyiram bunga. Bunga mawar yang dulu selalu kuberikan padanya setiap ulang tahun pernikahan kami.
Dia tersenyum. Senyum itu. Senyum yang sama saat dia memeluk Liana di dekat mobil yang meledak itu.
Aku mengepalkan tinju. Rasa marah menyengat hatiku.
Aku harus mengakhiri ini. Hari-hariku terbatas. Tujuh hari.
Aku kembali ke kamar, mencari kalung giok itu. Kalung yang diwariskan turun-temurun di keluargaku, yang konon menyimpan kekuatan cinta sejati dan ikatan pernikahan.
Aku menyentuhnya. Dingin. Penuh energi.
Aku mulai menulis. Menulis surat cerai.
Keesokan harinya, aku melihat Arifin di ruang kerja. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon, suaranya pelan dan mesra.
"Ya, sayang. Tentu saja. Firma kita akan menjadi yang terbaik."
/0/31004/coverorgin.jpg?v=02caae0f37961c6004b43ddb7dc81e9b&imageMogr2/format/webp)
/0/2841/coverorgin.jpg?v=20250120160218&imageMogr2/format/webp)
/0/4053/coverorgin.jpg?v=4611eb4715991ae118af1d3d0798752d&imageMogr2/format/webp)
/0/24713/coverorgin.jpg?v=d5ec8a1ab9d841d707913428394d96b4&imageMogr2/format/webp)
/0/12939/coverorgin.jpg?v=6c174984c8ef1145cdac2fdce22ee108&imageMogr2/format/webp)
/0/13104/coverorgin.jpg?v=bdd767dfe4ccbcd919c9d423c9e4c222&imageMogr2/format/webp)
/0/6602/coverorgin.jpg?v=20250122151422&imageMogr2/format/webp)
/0/14553/coverorgin.jpg?v=70c0a6def8075f778c511b668778bee4&imageMogr2/format/webp)
/0/23841/coverorgin.jpg?v=f504fd44d5add382fb179085698f1b10&imageMogr2/format/webp)
/0/28474/coverorgin.jpg?v=d120edfc595220e29f599bab7a546f88&imageMogr2/format/webp)
/0/16564/coverorgin.jpg?v=1fea2c047e0199e457c5dfea4689e55f&imageMogr2/format/webp)
/0/20056/coverorgin.jpg?v=2756edc4f12942a260feff6696126824&imageMogr2/format/webp)
/0/16958/coverorgin.jpg?v=97ed2f639923e0c792d22df0e3e325a1&imageMogr2/format/webp)
/0/30894/coverorgin.jpg?v=20251212162935&imageMogr2/format/webp)
/0/28647/coverorgin.jpg?v=796a27162829ed6a2165b9cafa0a6eb6&imageMogr2/format/webp)
/0/4887/coverorgin.jpg?v=0a325a82d88002794a6b6fcc627955e2&imageMogr2/format/webp)
/0/7212/coverorgin.jpg?v=a93a4ff531b7a044cca38de6c68b3f2e&imageMogr2/format/webp)
/0/16901/coverorgin.jpg?v=2b23a53fc3917b0a29dd0a241be3a429&imageMogr2/format/webp)
/0/3135/coverorgin.jpg?v=d437c03b6913e6281de45100a11f8f00&imageMogr2/format/webp)