/0/23599/coverorgin.jpg?v=ed918f85207337f1a3fe2e5fd61a4091&imageMogr2/format/webp)
Suara mesin monitor berbunyi datar.
"Dokter Nayra... detak jantungnya-!"
Seseorang berteriak, tapi suara itu terdengar semakin jauh, tenggelam dalam kabut putih. Semua cahaya lampu operasi yang sebelumnya menyilaukan perlahan memudar, berganti dengan keheningan.
Tubuh Nayra Adeline terasa ringan. Tangannya yang tadi memegang pisau bedah sudah tak bisa ia rasakan. Ia mencoba berbicara, tapi lidahnya kelu. Hanya satu pikiran yang muncul di kepalanya sebelum kesadarannya menghilang: "Aku bahkan belum sempat tidur."
Ketika kesadarannya kembali, hal pertama yang ia rasakan adalah rasa lengket di kulitnya. Bukan darah pasien. Tapi keringat-tebal dan asin, mengalir dari pelipis ke leher. Ia membuka mata, tapi yang terlihat bukan langit-langit ruang operasi berwarna putih bersih. Melainkan papan kayu dengan sarang laba-laba di sudutnya.
"Apa... ini?" gumamnya pelan.
Telinganya menangkap suara ayam berkokok, lalu suara perempuan menjerit dari luar, "Ratri! Bangun! Sudah jam tujuh, kau belum juga cuci piring semalam!"
Nayra mengerjap. Ratri? Siapa Ratri?
Ia berusaha bangkit, tapi tubuhnya berat seperti karung beras. Kakinya terasa kaku, dan ketika ia menurunkan pandangan, ia terbelalak.
Tubuhnya membesar dua kali lipat dari sebelumnya. Lengan bergelambir, perut menonjol, dan kulitnya tampak kusam. Ia memandangi dirinya di cermin kecil yang tergantung di dinding kamar. Wajah bulat dengan pipi tembam menatap balik, rambut awut-awutan, dan di bibirnya ada sisa cokelat.
"Tidak..." suaranya tercekat. "Ini bukan aku."
Ia berlari kecil ke arah pintu, tapi langkahnya goyah. Begitu membuka daun pintu, udara pagi yang dingin menyapa wajahnya, disertai bau arang dan sabun cuci. Di luar, ia melihat rumah-rumah kayu berjajar rapi. Di ujung jalan ada papan bertuliskan "Kompleks Perwira Militer Kodam Siliwangi – 1975."
1975?
Jantungnya berdebar keras. Tidak mungkin. Aku... mati?
Seorang perempuan paruh baya dengan daster batik dan rambut digelung mendekat, sambil membawa ember berisi cucian. "Ratri, kau sakit apa? Mukamu pucat sekali. Jangan-jangan kau begadang lagi makan keripik sampai habis setoples?"
Nayra mematung. Otaknya bekerja cepat. Ia memutar nama itu di kepalanya. Ratri... jadi aku Ratri sekarang?
"Bu?" tanyanya ragu.
Perempuan itu mengerutkan dahi. "Ya ampun, apa sekarang kau panggil ibumu pakai 'Bu' segala? Biasanya 'Mamah', kan? Ada apa denganmu, Ratri?"
Nayra menelan ludah. "Aku... hanya sedikit pusing, Mah."
"Oh, pasti karena kebanyakan tidur," omel ibunya. "Lihat badanmu, makin besar saja. Nanti Kapten Ardan makin muak. Sudah seminggu dia tidak pulang makan siang karena malu punya istri seperti ini."
Nama itu-Kapten Ardan.
Seketika, memori samar muncul di kepalanya. Potongan wajah laki-laki tegap berseragam, dengan rahang keras dan tatapan dingin. Jadi suami Ratri itu seorang perwira militer?
"Sudah, cepat mandi," kata sang ibu lagi. "Nanti ikut aku ke arisan istri perwira. Jangan bikin malu."
Kamar mandi yang dipakai Nayra sederhana, berdinding semen abu-abu dan hanya memiliki ember besar penuh air. Ia menatap bayangan dirinya di air bening itu. Dingin merambat ke tulang.
Napasnya berat.
"Jadi begini caranya Tuhan memberi kesempatan kedua?" katanya lirih. "Memberiku tubuh baru... tapi penuh masalah."
Ia mencelupkan wajah ke air, berharap itu hanya mimpi. Tapi sensasi dingin membuatnya yakin-ini nyata. Ia benar-benar hidup kembali, dan kali ini sebagai perempuan yang dibenci banyak orang.
Selesai mandi, Nayra membuka lemari pakaian. Hampir semua isi lemari adalah daster longgar dan baju dengan motif ramai. Ia menemukan satu rok panjang dan kemeja sederhana, lalu mengenakannya. Begitu keluar kamar, ibunya melotot.
"Ratri! Kenapa pakai baju itu? Itu baju yang Ardan belikan dulu waktu kalian masih baru menikah. Sudah kusimpan karena tidak muat di badanmu."
Nayra tersenyum kecil. "Sekarang muat kok, Mah."
Padahal kenyataannya kancingnya hampir copot.
Ibunya menatapnya aneh, tapi tak berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan bersama menuju rumah salah satu tetangga di blok depan.
Sepanjang jalan, Nayra merasa semua mata menatapnya.
Beberapa perempuan berbisik-bisik.
"Itu dia, si Ratri. Katanya makan uang suami tapi nggak pernah masak."
"Iya, kemarin malah teriak di pasar karena harga telur naik. Malu banget jadi istri perwira."
Nayra menegakkan punggung. Dulu, ia terbiasa menghadapi tatapan orang di ruang operasi-tapi bukan tatapan meremehkan seperti ini.
Saat duduk di kursi bambu, ia hanya diam dan memperhatikan. Para istri perwira berbicara tentang ransum, pesta dinas, dan kabar terbaru tentang latihan militer di luar kota. Tapi Nayra merasa terasing. Semua pembicaraan itu terasa asing baginya.
"Bu Ratri," sapa seorang perempuan muda dengan senyum tipis. "Saya dengar kemarin Kapten Ardan tidak pulang karena sedang tugas. Tapi... apa betul beliau tidur di barak saja, bukan di rumah?"
Nada suaranya jelas mengejek. Nayra menatapnya dengan tenang. "Kalau iya, kenapa? Beliau punya tanggung jawab besar. Lebih baik di barak daripada membiarkan pasukannya tanpa pengawasan."
Seketika suasana terdiam. Perempuan itu terbatuk kecil, lalu pura-pura sibuk dengan cangkir tehnya.
Ibunya menatap Nayra, antara kaget dan bangga. Karena biasanya, Ratri hanya diam atau malah menangis kalau diejek.
Dalam hati, Nayra menghela napas. Kalau mereka ingin melihatku sebagai lelucon, aku akan ubah pandangan mereka.
Sore itu, Nayra duduk di halaman belakang sambil membawa buku catatan yang ia temukan di meja rias. Di dalamnya, tertulis tulisan tangan Ratri: "Aku ingin kuliah, tapi Mamah bilang perempuan cukup di rumah."
Hatinya mencubit. Jadi bahkan di masa ini, keinginan perempuan untuk belajar masih dianggap aneh.
Ia membuka halaman berikutnya. Ada coretan daftar makanan, jam tidur, dan keluhan tentang Ardan yang jarang pulang. Semakin dibaca, semakin ia mengerti mengapa pernikahan mereka dingin. Ratri hidup tanpa arah, mencari kasih sayang dengan cara salah, dan akhirnya kehilangan hormat suaminya.
Nayra menatap langit sore. "Ratri, aku akan hidupkan mimpi yang kau tulis di sini. Aku akan perbaiki hidupmu-hidup kita."
Malam tiba. Rumah sepi. Ibunya sudah tidur. Nayra sedang menulis di meja kecil ketika pintu depan berderit. Seorang pria tinggi berseragam hijau gelap masuk, membawa aroma asap rokok dan udara malam.
Kapten Ardan.
Tatapannya tajam dan dingin. Wajahnya keras, tapi lelah. Ia melepas topi dan sarung tangannya, lalu berhenti ketika melihat Nayra di ruang tamu.
"Kau masih bangun," katanya datar. Suaranya berat, rendah, mengandung wibawa yang sulit diabaikan.
/0/29378/coverorgin.jpg?v=20251205185357&imageMogr2/format/webp)
/0/28208/coverorgin.jpg?v=20251121185248&imageMogr2/format/webp)
/0/6109/coverorgin.jpg?v=20250120174959&imageMogr2/format/webp)
/0/12656/coverorgin.jpg?v=c9626fbcae3e583f3765ce46ec87d742&imageMogr2/format/webp)
/0/16975/coverorgin.jpg?v=20240419170157&imageMogr2/format/webp)
/0/30469/coverorgin.jpg?v=457d50ab47bd5ccb4157b7e9162c8b93&imageMogr2/format/webp)
/0/29102/coverorgin.jpg?v=fe96be1fdce6c6b952b09697e2127b92&imageMogr2/format/webp)
/0/5756/coverorgin.jpg?v=22395f8a604d06774cbebbcddcc206b3&imageMogr2/format/webp)
/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
/0/29707/coverorgin.jpg?v=6a5e2553a396061dcab0e8081b7e7f0e&imageMogr2/format/webp)
/0/29103/coverorgin.jpg?v=20251106214102&imageMogr2/format/webp)
/0/18255/coverorgin.jpg?v=b7a696c08d0c0f623b0a2407ab5290b0&imageMogr2/format/webp)
/0/5748/coverorgin.jpg?v=0430529f42cea1ef799a4bc21422463d&imageMogr2/format/webp)
/0/2937/coverorgin.jpg?v=9dc443fd9e7180fe77a94c7c5124e558&imageMogr2/format/webp)
/0/3563/coverorgin.jpg?v=e73096bd8ac98bb375d88d45ce6ff856&imageMogr2/format/webp)
/0/21441/coverorgin.jpg?v=20250109180902&imageMogr2/format/webp)
/0/23561/coverorgin.jpg?v=20250518122655&imageMogr2/format/webp)
/0/7669/coverorgin.jpg?v=20250122152153&imageMogr2/format/webp)
/0/21470/coverorgin.jpg?v=20250317154745&imageMogr2/format/webp)