Laras menemukan jodoh entah kebetulan atau terdesak oleh keinginan orangtuanya yang selalu memaksanya untuk segera menikah. Ia bertemu dengan Galih, seorang duda tampan. Awalnya Galih begitu baik dan sopan. Namun, sifatnya itu berubah 180 derajat setelah merenggut kesucian Laras sebelum hari H pernikahan. Ketakutan jika berbadan dua memaksa Laras untuk meneruskan acara pernikahan yang undangannya telah tersebar. Laras mengalami prahara rumah tangga dengan Galih. Laras yang awalnya dibutakan cinta, lambat laun sadar. Ia tidak ingin menjadi budak cinta untuk suaminya. Laras berjuang menyingkirkan ego untuk menjadi wanita yang tegar dan tidak ingin mengalah jika harga dirinya terus diinjak-injak suaminya.
Angin dingin menusuk hingga pori-pori kulit, membuatku tak sungkan untuk memeluknya dari belakang. Sinar purnama remang-remang mulai tenggelam tertutup awan. Galih melajukan kendaraannya.
Lampu rumah bagian ruang tamu dan ruang keluarga telah berganti lampu yang redup, pertanda Ayah, Ibu dan adikku telah tidur.
"Ayah dan Ibu udah tidur, gak usah pamitan! Biar besok aku yang bilang," ucapku saat Galih masih berdiri di bibir pintu.
"Aku pengen nginep di sini!" bisiknya seraya menarik lenganku hingga wajah ini saling beradu.
"Gak. Jangan, ah! Kita belom sah suami istri." Galih malah nekat masuk rumah, padahal aku telah berusaha menyuruhnya pulang.
Dengan rasa sedikit kesal, aku terpaksa menemani ngobrol lagi di ruang tamu.
"Jangan kenceng-kenceng suaranya! Takut ada yang kebangun, ini udah malam," ujarnya saat berusaha menarik tubuhku agar duduk di sebelahnya.
Sejenak kami berdua terdiam, hanya pandangan sayu kami yang saling beradu. Galih mendekatkan bibir, mengecup dan melumat bibirku. Jantungku berdegup hebat. Hampir saja ingin menolak tapi tak kuasa.
Malam semakin beranjak naik, akan tetapi Galih tak menunjukkan gelagat untuk pulang. Ingin rasanya memaksa dia pulang, akan tetapi, entahlah.
Tak banyak suara yang keluar dari bibir kami berdua. Hanya tatapan dan senyum yang menyungging menjadi bahasa tubuh antara kami berdua. Aku yang biasanya judes, galak dan angkuh bisa ditaklukkan olehnya.
Perlahan Galih merebahkan tubuhku di sofa panjang ruang tamu. Dia yang seolah-olah hendak menindihku, tangannya sigap mengelus lembut kepala, kemudian mendaratkan ciuman di kening, pipi dan turun ke leher.
Jantungku makin berdegup kencang dan tubuh gemetaran seketika.
"Aku sayang kamu, Ras," bisiknya. Embusan nafasnya yang mengenai leher membuat intonasi detak jantungku makin tak beraturan. Aku tak mampu menjawab, mata reflek terpejam. Mata elang itu menatap hingga menghunjam jantung. Aku sungguh tak berdaya malam ini.
Berkali-kali bibirnya menghujani dengan kecupan lembut hingga liar dan ganas. Tak ingin nafsu semakin berkuasa malam ini, aku mencoba mendorong pelan tubuhnya.
"Sebentar, aku mau pipis." Dengan tersenyum aku mencoba mengalihkan nafsu setan yang mulai memprovokasi. "Sebaiknya kamu pulang!" sambungku kemudian.
Aku berjalan mengendap menuju kamar mandi, agar tak ada yang terbangun. Di dalam kamar mandi, aku membasuh muka, tak lupa bibir pun ikut kuusap dengan air berkali-kali. Tak ingin berlama-lama meninggalkan Galih di ruang tamu, aku pun segera menemuinya.
Wajah Galih tampak murung begitu aku kembali dari kamar mandi. Aku pun menatapnya dengan heran.
"Kenapa? Kok, murung gitu, sih?"
"Aku mau pulang, sekarang," ujarnya seraya meraih kontak motor di meja."
"Iya. Hati-hati, ya. Gak usah ngebut!" sahutku berusaha menampilkan senyuman, walaupun ada yang ganjil dari sikapnya.
Aku lantas mengantarnya sampai halaman dan menyaksikan punggungnya kian menghilang menembus jalanan.
***
"Aku datang mau ngajak kamu. Ayuk buruan!" serunya yang tak berapa lama menungguku di teras.
"Bentar, napa? Ganti baju aja belum, apalagi kamu ngajaknya mendadak gini." Aku membalasnya dengan ketus, lantaran sikapnya berubah sejak tadi malam. Dingin dan berwajah muram. Bahkan senyum menawan yang selalu tersungging di bibirnya itu hilang seketika.
"Gak usah dandan lama-lama!" timpalnya lagi.
Aku berlalu menuju kamar lagi, berdandan sekenanya. Hanya bawahan rok selutut berbahan jeans dan kemeja wanita motif kotak-kotak. Menyapukan bedak ringan di wajah dan lipglos agar bibir tidak terlihat kering. Bergegas menemuinya dan berangkat.
Aku mulai bosan dengan sikapnya. Selama perjalanan dia hanya terdiam, aku pun enggan bersuara. Mengingat sikapnya yang dingin dan terkesan marah.
Batin ini merasa was-was saat melewati jalan yang belum pernah aku lewati sama sekali. Bahkan aku tidak tahu mau diajak ke mana.
Aku memandang sekeliling jalan yang dilewati. Jalanan berkelok khas daerah pegunungan, hutan pinus dan karet bahkan terkadang melihat hamparan sawah sebelah kanan dan kiri jalan. Hawa di jalan terasa sejuk, tapi tidak dengan hatiku.
"Sebenarnya ini mau ke mana, sih? Aku baru kali ini, lho, lewat jalan ini!" teriakku sambil menepuk pelan bahunya berkali-kali.
"Udah ... diem aja! Nanti juga tau. Sebentar lagi sampe, kok," balasnya seraya menoleh sejenak.
Aku mengedarkan pandangan lagi, begitu masuk jalan setapak yang lapisan aspalnya mulai mengelupas. Hamparan sawah berhektar-hektar mengapit jalan. Sunyi dan sepi. Sesekali diriku melihat penggembala kambing yang duduk di bawah pohon tepi jalan sambil memerhatikan gembalaannya.
Galih mulai membelokkan kendaraannya masuk gang kecil sebuah perkampungan yang masih pelosok. Masih banyak kebun bambu bahkan ada juga kebun-kebun yang ditumbuhi tanaman liar dan semak belukar. Sebagian rumah di sini juga masih berupa rumah bambu.
"Uffs, haduh!" teriakku saat ia mendadak menghentikan motor membuat tubuhku terdorong ke depan dan kepala ini otomatis terjedot helm-nya. "Kok berhenti di sini. Emang udah sampe, ya?" sambungku.
Galih tidak menjawab, malah ia bergegas masuk rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Aku masih berdiri di halaman rumah tersebut.
"Rumah siapa ini? Kenapa dia mengajakku ke sini?"
Aku memandang ke penjuru arah sekitar rumah bambu yang dikunjungi Galih. Rumah itu diapit kebun yang ditanami kacang dan singkong. Di halaman terdapat tiga pohon jati berukuran lumayan besar yang menjulang tinggi.
Tak berapa lama Galih keluar bersama perempuan tua memakai atasan kebaya dan bawahan kain batik yang telah terlihat usang. Dituntunnya perempuan tua itu menuju teras.
"Nduk, sini!" seru perempuan yang telah lanjut usia itu seraya melambaikan tangan ke arahku. Aku pun bergegas menghampirinya.
Aku menyodorkan tangan dan berjabatan erat dengannya sambil tersenyum.
"Duduk di dalam, apa di sini saja?" tanyanya ramah. Galih yang duduk di sampingku menatap dalam diam. Wajahnya muram. Entah apa penyebabnya.
"Sini aja, Bu," lirihku.
Aku memandang lekat perempuan tua di hadapanku. Mungkin saja itu ibu atau neneknya Galih. Aku kemudian mengalihkan pandang ke arah Galih yang tertunduk lesu.
"Ya, beginilah keadaan calon suamimu ini, Nduk. Mungkin sebagian dia udah cerita sendiri ke kamu. Dia ini duda anaknya satu. Tapi anaknya ikut nenek dari mantan istrinya."
Deg.
Rasanya aku tak percaya dengan pemandangan di depanku ini. Galih dan segala keadaannya.
"Iya, Bu. Galih udah cerita kalo dia, duda," sambungku mencoba menetralisir perasaan.
Aku masih saja tak percaya dengan apa yang terlihat kini. Rumah dari anyaman bambu, orang tua yang telah lansia. Ah, masih banyak pertanyaan yang mengendap dalam dada setelah dengan mata kepala sendiri melihat keadaan yang ada pada calon suamiku itu. Statusnya yang duda saja masih membuatku mengernyit bingung, ditambah pemandangan ini yang di luar pikiranku. Ah, entahlah! Aku masih syok.
Setelah cukup berbasa-basi saat menyambut kedatanganku, ibunya Galih melangkah masuk rumah.
"Ya, beginilah keadaanku, Ras. Terserah sekarang, lanjut atau tidak denganku?"
"Kenapa ngomong kayak gitu?"
"Kali aja kamu berubah pikiran."
"Aku akan nerima kamu apa adanya, soal keadaanmu aku gak masalah." Sejujurnya, ada rasa nyeri dalam dada, akan tetapi aku konsisten dengan ucapan. Teringat saat baru lulus SMA, aku pernah menuliskan sebuah mimpi tentang seorang suami di buku harian.
Saat itu diriku menginginkan suami yang wajahnya mirip artis tampan itu. Bahkan aku juga menulis, apapun keadaannya, miskin atau kaya tak masalah bagiku asal saling mencintai. Kenyataannya, Galih memang mirip sang artis idola, akan tetapi keadaannya jauh dari bayanganku saat pertama kali bertemu.
"Hei, melamun apa?" ujarnya membuyarkan lamunan yang baru saja kukunjungi.
"Eh ... gak!" sahutku seraya tersenyum.
"Masuk, yuk! Ngobrol di dalam, sekalian biar calon istriku tau keadaan kamarku."
Galih menggandeng lenganku melangkah masuk rumah. Dia lantas mengajak ke kamarnya.
Aku memandang sekeliling ruang yang bersekat dengan ruang tamu itu. Satu ranjang kayu yang hanya berlapis tikar anyaman daun pandan tanpa kasur, baju-baju milik Galih bergelantungan tak tentu arah di seutas tali. Banyak sarang laba-laba. Maklum, kelihatannya lama ditinggal penghuninya.
"Kenapa? Aku jorok banget, ya?" ujarnya dengan senyum yang menyungging di bibirnya.
"Mungkin karena kamu jarang pulang, ya?" balasku seraya meletakkan tas selempang yang sejak tadi bergelayut manja di bahu. Aku lantas meraih seikat sapu lidi untuk membersihkan ranjang.
"Calon istriku rajin."
"Gak juga. Biasa aja."
Galih meraih tubuhku begitu melihatku selesai membersihkan ranjang. Direbahkannya tubuh ini lantas dia menindihku.
Jantungku berdebar hebat saat Galih mengecup bibir kemudian turun ke leher.
"Cukup! Aku takut. Kita belum sah." Aku mencoba mendorong tubuhnya, akan tetapi tidak berhasil.
"Sebentar lagi kita nikah, Sayang. Kamu gak perlu takut," bisiknya seraya membuka kancing bajuku satu per satu.
'Astaga, bagaimana ini?'
Aku memejamkan mata tak kuasa menolak saat bibirnya menghujani ciuman pada bagian dada. Galih mulai membuka kaus lengan panjang yang dipakainya.
'Astaga! Sebelah lengannya penuh dengan tato.'
Perasaanku semakin tak tentu. Keringat dingin mulai bercucuran. Sementara Galih semakin beringas memperlakukan diriku yang belum sah menjadi istrinya.
"Jangan nolak lagi! Aku gak suka," bisiknya seolah mengintimidasi.
Atasan kemeja yang aku pakai telah terbuka, rok jeans pun telah ia singkap. Aku menangis meraung-raung saat dia hendak memulai aksi selanjutnya.
Galih bangkit dan berdiri di tepi ranjang saat diriku terisak. Dia menghentikan aksinya lantas meraih lenganku.
"Maafkan aku!" Galih mengelus pucuk kepala, saat aku memasang satu per satu kancing atasan kemeja yang kupakai. "Maafkan aku, ya, Sayang," sambungnya lagi.
"Jangan ulangi lagi! Aku pengen menikmati malam pertama bersamamu ketika udah sah, nanti." Sambil masih terisak, aku membenamkan wajah di dadanya dan memeluk erat pinggangnya.
Berkali-kali calon suamiku ini meminta maaf dan membelai kepalaku dengan lembut.