Bukan Cinta, Hanya Perjanjian Utang

Bukan Cinta, Hanya Perjanjian Utang

Aldi

5.0
Komentar
Penayangan
21
Bab

Adhitama tak pernah memilih pernikahan ini. Dia hanyalah pion dalam permainan keluarga, dipaksa menikahi seorang wanita bernama Riani seorang janda yang nyaris tak ia kenal. Sejak hari pertama, Adhit sudah memasang dinding es. Ia bersikap dingin, menjaga jarak, dan berharap Riani mengerti: ia tak pernah menginginkan wanita itu di sisinya. Namun, Riani terlalu tenang, terlalu menerima seolah sikap dingin Adhit tak mampu menyentuh perasaannya sedikit pun. Awalnya, Riani setuju menjadi 'pengantin pengganti' karena terdesak untuk membalas budi. Adhit tidak peduli apa motifnya. Lalu, sebuah tragedi mengubah segalanya. Adhit terluka, fisik dan batinnya rapuh. Di tengah keterpurukan itu, Riani selalu ada. Tanpa keluh kesah, tanpa menuntut, ia setia merawat dan mendampingi. Kehadirannya yang dulu diabaikan, perlahan berubah menjadi sesuatu yang Adhit harapkan. Adhit mulai memperhatikan Riani, melihat sisi-sisi dirinya yang tak pernah ia pedulikan sebelumnya. Yang paling mengusik, hatinya mulai bergejolak setiap kali ada pria lain yang menatap Riani terlalu lama. Rasa itu datang tiba-tiba: cemburu. Ia mencoba menolaknya, namun semakin ia melawan, semakin kuat keinginan untuk memiliki Riani seutuhnya. Adhit tak tahan lagi. Ia pun memulai pergerakan, berusaha keras menghancurkan batas yang selama ini justru ia ciptakan, dan mencoba menembus ketenangan Riani yang misterius. Akankah Adhit berhasil meruntuhkan 'tembok' di antara mereka, ataukah ia sudah terlambat menyadari perasaannya?

Bab 1 Pernikahan ini omong kosong

Pernikahan ini... omong kosong.

Adhitama menatap pantulan dirinya di cermin, rahangnya mengeras. Tuxedo hitam yang ia kenakan hari ini terasa seperti borgol, mencekiknya, membatasi setiap inci kebebasannya. Di sampingnya, riuh rendah perayaan di ballroom hotel bintang lima itu terasa semakin memuakkan. Mereka merayakan sesuatu yang mati sebelum sempat bernapas.

Dia tahu, dia seharusnya ada di sini, berdiri di pelaminan itu. Tapi bukan dengan Riani. Seharusnya dengan Kiara, kekasihnya, wanita yang sudah ia impikan sejak dulu. Tapi takdir, atau lebih tepatnya, kehendak ayahnya, menamparnya telak. Kiara pergi. Dan untuk mengamankan posisi Adhit di perusahaan-dan warisan yang sudah diujung tanduk-ayahnya mendesaknya, memaksanya, mengancamnya untuk menikahi Riani.

Seorang janda. Nyaris tak ia kenal.

Adhit menyesap whiskey-nya cepat. Rasa pahitnya tak sebanding dengan rasa marah yang membakar di dalam dadanya. Ia kembali menghadap cermin, lantas berbalik saat pintu kamar ganti pribadi itu terbuka perlahan.

Riani masuk.

Seketika, aura dingin Adhit meningkat sepuluh derajat. Riani tampak... tenang. Terlalu tenang, pikir Adhit. Dalam gaun pengantin putih yang panjang, Riani terlihat anggun, tapi di mata Adhit, ia hanya melihat sosok wanita yang telah merenggut segalanya. Gaun itu tidak membuatnya terlihat seperti pengantin impiannya. Gaun itu hanya membungkus penyesalan terbesarnya.

Riani menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Ruangan itu kedap, membiarkan keheningan tebal mengisi kekosongan.

"Kita akan pulang sebentar lagi," ucap Adhit, suaranya datar dan keras, tanpa basa-basi. Ia tidak menoleh, pura-pura sibuk membenarkan dasi kupu-kupunya yang sudah sempurna.

Riani melangkah lebih dekat, tapi berhenti di jarak yang sopan. "Iya, aku tahu." Suaranya lembut, tanpa getaran.

Itu yang paling mengesalkan bagi Adhit. Riani terlalu menerima. Tidak ada air mata, tidak ada protes, tidak ada upaya untuk mendekat, seolah ia benar-benar hanya menjalankan tugas.

Adhit akhirnya berbalik, menatap Riani lurus-lurus. Matanya menantang, mencari celah, mencari keraguan di mata Riani. Tapi yang ia temukan hanyalah sepasang mata cokelat yang teduh, tenang seperti danau di pagi hari.

"Dengar," Adhit melangkah, kini jarak mereka hanya beberapa langkah. "Aku akan bicara blak-blakan, agar kita tidak buang waktu."

Riani mengangkat dagunya sedikit, menunggunya bicara.

"Pernikahan ini tidak nyata," kata Adhit, menekankan setiap kata. "Ini kontrak. Transaksi. Kita berada di sini karena Ayahku. Dan kau ada di sini karena hutang budi, atau apalah alasan konyol yang kau berikan pada keluarga."

Ia melihat kilasan rasa sakit di mata Riani, tapi itu hanya sepersekian detik. Riani segera mengendalikan ekspresinya.

"Aku mengerti, Mas Adhit," balas Riani, menggunakan panggilan formalitas yang membuat Adhit merinding.

"Jangan potong aku," potong Adhit tajam. "Aku belum selesai. Kita akan tinggal di bawah satu atap, itu keharusan. Tapi kau harus tahu batasmu."

Adhit meletakkan gelas whiskey-nya di meja rias, menimbulkan bunyi yang keras.

"Pertama. Kamar kita terpisah. Malam ini, dan seterusnya. Aku akan meminta Bi Ijah menyiapkan kamar tamu di ujung koridor untukmu. Kau punya kuncimu sendiri. Jangan pernah memasuki kamarku tanpa izinku. Aku tidak peduli kau istriku secara hukum. Bagiku, kau adalah... rekan sekamar yang dipaksakan."

Riani mengangguk pelan. "Baik."

"Kedua. Di depan keluarga dan publik, kita harus bersikap layaknya suami istri. Kau mengerti? Senyum, genggam tanganku di acara formal, anggukan kepala saat aku bicara. Hanya akting. Begitu kita di dalam mobil, atau di rumah, kau kembali ke posisimu. Diam, dan jaga jarak."

"Aku paham. Aku akan bersikap profesional," jawab Riani, suaranya tetap stabil.

Adhit merasa darahnya mendidih. Profesional? Wanita ini bicara seolah mereka sedang menjalankan proyek kantor. Ia ingin Riani melawan, ingin Riani menunjukkan sedikit emosi, sedikit rasa sakit, agar ia bisa membenarkan sikap kasarnya. Tapi Riani tidak memberinya apa-apa.

"Ketiga. Kita tidak akan pernah memiliki... keintiman. Aku tidak akan pernah menyentuhmu, dan kau tidak perlu mencoba apa pun yang membuatku berpikir sebaliknya. Aku punya hidupku, kau punya hidupmu. Kita hanya berbagi alamat surat menyurat."

Adhit sengaja membuat kata-katanya setajam belati. Ia menatap lekat, berharap melihat air mata atau setidaknya getaran di bibir Riani.

"Aku menghormati keputusanmu, Mas Adhit," kata Riani. Ia menarik napas tipis. "Aku datang ke pernikahan ini bukan untuk mencuri hatimu, atau menggantikan siapa pun di hidupmu. Aku di sini untuk melunasi janji. Ketika janji itu selesai, aku akan pergi. Tanpa drama, tanpa tuntutan."

Pengakuan Riani, yang terdengar sangat tulus, justru membuat Adhit semakin curiga. Kenapa semudah ini? Kenapa ia tidak merengek, tidak memohon, tidak mencoba untuk setidaknya menanyakan kenapa Adhit begitu membencinya?

"Bagus kalau kau sadar diri," ejek Adhit, melipat tangannya di dada. "Satu hal lagi. Aku akan memberimu uang bulanan yang lebih dari cukup. Anggap itu kompensasi atas drama yang harus kau jalani. Ambil. Tapi jangan pernah berpikir uang itu akan memberimu hak untuk mencampuri urusanku, terutama soal Kiara. Aku tidak ingin ada satu pun pertanyaan tentangnya."

"Aku tidak butuh uangmu, Mas Adhit," sahut Riani, kini ada sedikit nada tegas dalam suaranya. "Aku di sini bukan untuk menjual diri. Uang itu, silakan gunakan untuk kebutuhanmu sendiri. Aku masih bisa mencari nafkah."

Penolakan Riani terhadap uang itu terasa seperti tamparan tak terduga. Adhit terdiam sejenak. Ia sudah menyiapkan skenario bahwa Riani adalah wanita materialistis yang akan dengan senang hati menerima setoran bulanannya. Kenyataannya, Riani justru menolak.

"Jangan bodoh," desis Adhit. "Ambil saja. Itu bagian dari transaksi ini. Agar kau tidak bisa berdalih bahwa aku tidak memberimu apa-apa."

"Aku akan menggunakannya seperlunya untuk operasional rumah tangga, jika itu bagian dari tugasku," kata Riani, memegang buket bunga mawar putihnya erat-erat. "Selebihnya, aku tidak akan menyentuhnya."

Adhit menghembuskan napas panjang. Ia merasa lelah berdebat dengan ketenangan Riani. Ia berharap wanita ini adalah lawan yang mudah ditebak, tapi Riani adalah kotak hitam.

"Terserah kau," Adhit menyerah untuk saat ini. "Yang jelas, kau sudah dengar aturannya. Jangan sampai kau melanggarnya, Riani. Karena kalau kau melanggar, aku tidak akan segan-segan membuat hidupmu-"

"-Aku tidak akan melanggar. Aku hanya ingin menjalani sisa kontrak ini dengan damai," Riani memotongnya, tidak dengan nada marah, tapi dengan kejujuran yang menenangkan.

Mereka terdiam lagi. Adhit menatapnya. Sekarang ia memperhatikan detail Riani. Kulitnya yang bersih. Matanya yang besar. Punggungnya yang tegak. Ia mengakui, Riani cantik. Kecantikannya alami, tidak menantang, tapi justru itu yang membuatnya terlihat kuat.

Tiba-tiba, ia merasakan dorongan aneh, sebuah dorongan untuk bertanya.

"Kenapa kau setuju melakukan ini, Riani?" tanyanya, nada suaranya sedikit lebih rendah, tidak lagi berupa perintah. "Kau harus menikah dengan pria yang membencimu, hanya demi 'hutang budi'? Hutang macam apa yang sampai mengharuskan kau mengorbankan masa depanmu?"

Riani tersenyum tipis. Senyum itu tidak menjangkau matanya. Itu adalah senyum kesedihan yang ia tutupi dengan baik.

"Itu urusanku, Mas Adhit. Sama seperti Kiara adalah urusanmu," jawab Riani, menggunakan peraturannya sendiri untuk memblokir Adhit.

Adhit merasa seperti dipukul balik. Riani benar. Ia sudah melarang Riani bertanya tentang Kiara, jadi Riani juga berhak menjaga rahasia pribadinya.

"Baiklah," Adhit mengalah, membiarkan kemarahannya mereda. "Aku hanya ingin semuanya jelas. Aku tidak akan pernah menginginkanmu di sini, Riani. Kehadiranmu hanya membuatku teringat betapa kacau hidupku sekarang. Jadi, tolong, buat dirimu tidak terlihat."

Riani mengangguk, kali ini tanpa senyum. Rasa sakit itu akhirnya kembali ke matanya, namun ia menelannya cepat.

"Aku akan berusaha, Mas Adhit. Sekarang, pesta hampir selesai. Kita harus kembali ke hadapan tamu," kata Riani, melangkah ke pintu.

Adhit memperhatikan Riani. Ia menyadari sesuatu. Riani tidak pernah mencoba menyentuhnya, tidak pernah mencoba mendekat, bahkan saat pernikahan ini dilangsungkan. Ia selalu menjaga jarak, bahkan sebelum Adhit membuat peraturan itu.

Dia terlalu tenang. Terlalu menerima. Seolah keberadaanku di hidupnya tak berarti apa-apa.

Perasaan itu, rasa bahwa dirinya tidak berarti bagi Riani, entah kenapa, lebih menyebalkan daripada perlawanan terbuka. Ia berharap Riani setidaknya peduli pada penolakannya. Tapi Riani tampak acuh tak acuh.

"Tunggu," panggil Adhit, sebelum Riani sempat membuka pintu.

Riani berbalik. "Ada lagi?"

Adhit melangkah maju, meraih tangan Riani. Ia melakukan ini bukan karena ia ingin menyentuh Riani. Ia melakukan ini karena ini adalah bagian dari sandiwara. Di pelaminan, mereka harus bergandengan.

Riani terkejut. Tubuhnya sedikit menegang saat jari-jari Adhit yang dingin menyentuh kulitnya.

"Kita sudah sepakat, sandiwara harus sempurna," kata Adhit, suaranya kembali dingin dan penuh perintah. "Tunjukkan senyummu. Senyum bahagia. Bukan ekspresi tertekan seperti itu. Orang akan curiga."

Adhit menarik Riani lebih dekat, hanya untuk mengoreksi ekspresinya. Riani memejamkan mata sesaat, lalu membukanya dan memaksakan seulas senyum di bibirnya. Senyum itu terlihat palsu, tapi cukup meyakinkan untuk publik.

"Ayo," ajak Adhit, melepaskan genggaman tangannya saat Riani sudah siap.

Mereka keluar dari ruangan kedap suara itu dan langsung disambut oleh tatapan puluhan orang. Tawa, tepuk tangan, dan suara musik menyergap mereka.

Saat kembali berjalan di samping Riani menuju meja utama, Adhit kembali meraih tangan Riani, menggenggamnya erat, seolah mereka adalah pasangan yang paling bahagia di dunia.

Riani, tanpa diminta, membalas genggamannya, dan tekanan jari Riani terasa lembut, namun kuat. Ia bahkan berbalik sebentar, menatap Adhit dengan mata yang sekarang menunjukkan kebahagiaan palsu yang sempurna.

Saat itu, Adhit sadar, Riani adalah seorang aktris yang handal.

Dan ini adalah pertunjukan yang harus ia mainkan selama ia tidak tahu sampai kapan. Ia benci setiap detik pertunjukan ini. Ia benci Riani karena telah menjadi bagian dari panggung sandiwara hidupnya. Tapi, lebih dari segalanya, ia benci dirinya sendiri karena tidak bisa menolak kehendak ayahnya.

Mereka duduk di kursi pelaminan. Di depan semua orang, Adhit bahkan menyandarkan kepalanya sebentar ke bahu Riani, hanya untuk melihat reaksi ibunya. Sempurna. Ibunya tersenyum lega.

Riani, saat Adhit menyandarkan kepala, tidak bergerak. Ia tidak menyambut, tidak juga menolak. Ia hanya diam, membiarkan Adhit bersandar padanya seperti pada bantal. Tindakan pasif itu sekali lagi membuat Adhit merasa dirinya tidak berarti. Ia segera menegakkan tubuhnya kembali.

Malam itu, Adhit menghabiskan sisa acara dengan menghindari kontak mata dengan Riani, berbicara hanya seperlunya, dan membiarkan Riani menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dari tamu. Riani menjawab semua dengan anggun, menyebut Adhit 'suami yang baik' dan 'pria yang sabar'. Kebohongan-kebohongan itu terdengar begitu alami dari bibirnya.

Pukul 11 malam, mereka akhirnya meninggalkan hotel. Di dalam mobil mewah, Adhit melepas dasi kupu-kupunya kasar dan melemparkannya ke kursi belakang.

"Kerja bagus," kata Adhit sinis, tanpa menatap Riani. "Kau layak dapat Oscar untuk peran itu."

Riani hanya menoleh ke luar jendela. "Terima kasih."

Jawaban yang santai itu membuat Adhit semakin frustrasi. Ia ingin Riani bereaksi, ingin Riani menunjukkan bahwa ia terluka dengan sindiran itu.

"Kau tidak punya perasaan, ya?" tanya Adhit, nadanya sekarang lebih menyerang.

Riani menoleh perlahan. "Aku punya, Mas Adhit. Hanya saja, aku tidak perlu menunjukkannya padamu. Aku sudah membuat janji untuk melunasi hutang budi, dan janji itu bukan tentang perasaanku. Janji itu tentang komitmen pada skenario ini."

"Kau gila," Adhit mendengus.

"Mungkin," jawab Riani sambil tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyum itu benar-benar terlihat pahit. "Atau mungkin aku hanya lebih realistis. Aku tahu aku bukan pilihanmu. Dan aku menghormati itu. Aku tidak akan pernah mencoba menjadi sesuatu yang bukan aku di matamu."

Adhit terdiam. Riani mengucapkan kebenaran yang kejam, namun ia mengucapkannya dengan ketenangan yang menghancurkan.

Sampai mereka tiba di rumah Adhit yang megah.

"Aku akan minta Bi Ijah menyiapkan kamar tamu. Kamar di ujung koridor lantai dua. Pastikan kau tahu batasmu, Riani," kata Adhit sebelum keluar dari mobil.

Adhit bahkan tidak menunggu Riani. Ia langsung masuk ke rumah. Saat ia mencapai tangga, ia berbalik. Riani masih berdiri di ambang pintu, tampak kecil dan sendirian di bawah lampu kristal yang mahal.

"Besok pagi, kita sarapan bersama. Hanya di meja makan. Untuk dilihat oleh para pelayan," perintah Adhit, sebagai bagian dari skenario pernikahan yang harus terus dimainkan.

"Tentu," jawab Riani, anggun.

Adhit menaiki tangga tanpa menoleh lagi. Ia masuk ke kamarnya, mengunci pintu, dan membuang pakaian formalnya. Ia kemudian berjalan ke kamar mandi, menyalakan pancuran air dingin. Di bawah guyuran air, ia berharap ia bisa membersihkan dirinya dari hari yang penuh sandiwara ini, dan yang paling penting, membersihkan otaknya dari bayangan Riani.

Tapi yang paling mengganggunya saat itu bukanlah rasa marahnya, melainkan keheningan Riani yang mematikan. Keheningan yang menunjukkan bahwa Adhit tidak punya kekuatan apa pun untuk menyentuh hati wanita itu. Keheningan itu membuat Adhit merasa tidak penting.

Di sisi lain, setelah Adhit naik, Riani berdiri di sana selama beberapa menit, membiarkan keheningan rumah besar itu memeluknya. Ia melepaskan senyum yang ia kenakan sepanjang malam.

Dadanya terasa sesak. Kata-kata Adhit-tidak nyata, transaksi, aku tidak akan pernah menginginkanmu-berputar-putar di kepalanya. Tentu saja itu menyakitkan. Siapa yang tidak terluka saat pernikahannya dimulai dengan deklarasi perang?

Tapi Riani menarik napas dalam. Ini adalah harga yang harus ia bayar. Sebuah janji yang harus dilunasi.

Ia kemudian berjalan pelan menuju dapur. Bi Ijah menyambutnya dengan tatapan khawatir.

"Nyonya Riani, selamat datang. Maafkan Den Adhit, dia memang begitu..."

Riani tersenyum pada Bi Ijah, senyum yang kali ini lebih tulus. "Tidak apa-apa, Bi. Aku sudah tahu risikonya."

"Den Adhit menyuruh saya menyiapkan kamar di ujung koridor..."

"Iya, Bi. Tolong tunjukkan jalannya. Dan tolong, untuk besok, siapkan menu sarapan biasa saja. Jangan terlalu repot," pinta Riani.

Bi Ijah mengantar Riani ke kamar tamu. Kamar itu besar, mewah, tapi dingin. Riani duduk di tepi ranjang. Ia membuka resleting gaun pengantinnya perlahan, melepaskan mahkota kecil di kepalanya. Ia tidak menangis. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis.

Riani memandang sekeliling kamar. Di meja samping tempat tidur, ia melihat sebuah Alkitab kecil. Ia membukanya, membaca satu ayat yang selalu memberinya kekuatan.

"Aku akan baik-baik saja," bisik Riani pada dirinya sendiri. "Ini hanya sementara."

Ia lalu berganti pakaian. Saat ia melihat gaun pengantin itu teronggok di lantai, ia tidak merasa menyesal. Ia hanya melihatnya sebagai kostum yang harus ia kenakan.

Ia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di lantai dua. Tujuannya bukan mengintai Adhit, tapi hanya mencoba mengenali rumah ini. Ia berjalan melewati kamar-kamar kosong, hingga ia berdiri di depan pintu kamar Adhit. Pintu itu tertutup rapat, dan dari dalam, ia bisa mendengar samar-samar suara gemericik air dari pancuran kamar mandi.

Riani tahu, di balik pintu itu, ada pria yang sangat membencinya.

Ia mengangkat tangannya, ingin mengetuk, mungkin menawarkan air atau makanan. Tapi ia menarik tangannya kembali. Tidak. Ia sudah diberi instruksi. Jaga jarak, buat dirimu tidak terlihat.

Ia tahu, jika ia menembus batas itu sekarang, Adhit akan menganggapnya sebagai agresi. Adhit akan berpikir ia sedang mencoba merebut sesuatu.

Riani berbalik. Ia berjalan ke kamarnya sendiri. Ia menyadari satu hal: untuk bertahan di rumah ini, ia harus lebih dingin dari Adhit. Ia harus menjadi cangkang kosong, membiarkan kata-kata pedas Adhit mental begitu saja. Hanya dengan begitu, ia bisa melunasi janjinya dan pergi dengan kepala tegak.

Malam itu, Adhit tidur sendirian di kamarnya yang besar, dikelilingi kemarahan. Riani tidur sendirian di kamarnya yang besar, dikelilingi kesepian yang tenang.

Tembok es sudah resmi dibangun. Dan ironisnya, yang membangun tembok itu adalah Adhit, tapi yang tampaknya paling nyaman dengan tembok itu adalah Riani. Ini adalah awal dari pernikahan mereka, yang bukan didasari cinta, tapi didasari oleh penolakan yang keras dan penerimaan yang misterius.

Keesokan paginya, Adhit turun. Ia melihat Riani sudah duduk di meja makan. Riani sudah berpakaian rapi, kemeja putih sederhana dan celana panjang berwarna navy. Ia terlihat seperti siap pergi bekerja, bukan seperti pengantin baru.

"Pagi," sapa Adhit, lagi-lagi dengan suara datar.

"Pagi, Mas Adhit," balas Riani, tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir tehnya.

Bi Ijah datang membawa sarapan. Adhit makan dengan cepat dan tanpa suara.

"Aku akan pergi ke kantor," kata Adhit, setelah menghabiskan kopinya.

"Baik," jawab Riani.

"Aku akan pulang larut. Jangan tunggu aku," tambah Adhit, ia mencoba memberikan perintah yang lebih tajam.

"Aku tidak pernah menunggu siapa pun, Mas Adhit," kata Riani, akhirnya menatapnya. Matanya tenang, tanpa cela, tanpa emosi. "Aku sudah punya kegiatan sendiri. Jangan khawatir."

Adhit membeku di tempatnya. Ia ingin Riani menanyakan ke mana ia pergi, atau setidaknya menunjukkan sedikit kepedulian. Jawaban Riani yang begitu independen itu sekali lagi membuatnya merasa, dalam pernikahan ini, dia adalah pihak yang tidak penting.

Adhit pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Pintu depan tertutup dengan suara keras, meninggalkan Riani sendirian di meja makan besar itu, sambil menikmati tehnya dengan santai.

Ia harus terus bersikap seperti ini. Jika Adhit menganggapnya tidak penting, maka ia akan menjadi tidak penting. Jika Adhit menganggapnya hanya formalitas, maka ia akan menjadi formalitas. Itu adalah satu-satunya cara ia bisa bertahan sampai hari di mana ia bisa meninggalkan rumah ini, dan Adhitama, untuk selamanya.

Tapi di dalam hati Riani, ada bagian kecil yang berbisik, bertanya-tanya: Akankah Adhit pernah melihatku lebih dari sekadar pengantin pengganti?

Ia segera membungkam suara itu. Tidak. Tidak akan pernah. Ia harus fokus pada misinya, bukan pada hati pria yang sudah membencinya sejak awal.

Ia bangun dari kursi, merapikan cangkirnya, dan bersiap untuk hari pertamanya sebagai 'istri' di rumah yang asing ini. Sandiwara dimulai.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Aldi

Selebihnya

Buku serupa

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku