Bukan Cinta, Hanya Perjanjian Utang
/0/30249/coverbig.jpg?v=9a0645046effe8b1d75fe574e30f0892&imageMogr2/format/webp)
ini... om
seperti borgol, mencekiknya, membatasi setiap inci kebebasannya. Di sampingnya, riuh rendah perayaan di ballro
ng sudah ia impikan sejak dulu. Tapi takdir, atau lebih tepatnya, kehendak ayahnya, menamparnya telak. Kiara pergi. Dan untuk mengamank
da. Nyaris
rasa marah yang membakar di dalam dadanya. Ia kembali menghadap cermi
i ma
gantin putih yang panjang, Riani terlihat anggun, tapi di mata Adhit, ia hanya melihat sosok wanita yang telah merenggut s
pa suara. Ruangan itu kedap, membiarka
tar dan keras, tanpa basa-basi. Ia tidak menoleh, pura-pu
henti di jarak yang sopan. "Iya, aku
ma. Tidak ada air mata, tidak ada protes, tidak ada upaya un
encari celah, mencari keraguan di mata Riani. Tapi yang ia temukan hanya
ka hanya beberapa langkah. "Aku akan bicar
dagunya sedikit,
trak. Transaksi. Kita berada di sini karena Ayahku. Dan kau ada di sini ka
iani, tapi itu hanya sepersekian detik.
iani, menggunakan panggilan formal
elum selesai. Kita akan tinggal di bawah satu a
skey-nya di meja rias, men
tamu di ujung koridor untukmu. Kau punya kuncimu sendiri. Jangan pernah memasuki kamarku tanpa izi
angguk pel
i? Senyum, genggam tanganku di acara formal, anggukan kepala saat aku bicara. Hanya akting.
kap profesional," jawab Ri
ankan proyek kantor. Ia ingin Riani melawan, ingin Riani menunjukkan sedikit emosi, sediki
yentuhmu, dan kau tidak perlu mencoba apa pun yang membuatku berpikir sebaliknya
elati. Ia menatap lekat, berharap melihat ai
pernikahan ini bukan untuk mencuri hatimu, atau menggantikan siapa pun di hidupmu. Aku di sin
in curiga. Kenapa semudah ini? Kenapa ia tidak merengek, tidak memohon,
ng lebih dari cukup. Anggap itu kompensasi atas drama yang harus kau jalani. Ambil. Tapi jangan pernah berpikir uang it
tegas dalam suaranya. "Aku di sini bukan untuk menjual diri. Uang itu, s
sejenak. Ia sudah menyiapkan skenario bahwa Riani adalah wanita materialistis yang ak
bagian dari transaksi ini. Agar kau tidak bi
, jika itu bagian dari tugasku," kata Riani, memegang buket bunga
at dengan ketenangan Riani. Ia berharap wanita ini adalah
dah dengar aturannya. Jangan sampai kau melanggarnya, Riani. Karen
sa kontrak ini dengan damai," Riani memotongnya, tidak d
ya yang bersih. Matanya yang besar. Punggungnya yang tegak. Ia mengakui, Riani cantik
dorongan aneh, sebuah
tidak lagi berupa perintah. "Kau harus menikah dengan pria yang membencimu, hanya demi
k menjangkau matanya. Itu adalah senyu
a adalah urusanmu," jawab Riani, menggunaka
Ia sudah melarang Riani bertanya tentang Kiara, j
jelas. Aku tidak akan pernah menginginkanmu di sini, Riani. Kehadiranmu hanya membuat
um. Rasa sakit itu akhirnya kembali k
sta hampir selesai. Kita harus kembali ke h
enyentuhnya, tidak pernah mencoba mendekat, bahkan saat pernikahan ini dilang
nerima. Seolah keberadaanku di
pa, lebih menyebalkan daripada perlawanan terbuka. Ia berharap Riani
hit, sebelum Riani s
balik. "A
karena ia ingin menyentuh Riani. Ia melakukan ini karena ini ada
t menegang saat jari-jari Adhit
nya kembali dingin dan penuh perintah. "Tunjukkan senyummu. Senyu
i memejamkan mata sesaat, lalu membukanya dan memaksakan seulas senyum di
askan genggaman tanganny
angsung disambut oleh tatapan puluhan orang. Taw
Adhit kembali meraih tangan Riani, menggenggamnya erat,
erasa lembut, namun kuat. Ia bahkan berbalik sebentar, menatap Adhit
, Riani adalah seoran
p detik pertunjukan ini. Ia benci Riani karena telah menjadi bagian dari panggung sandiwara hidupn
bahkan menyandarkan kepalanya sebentar ke bahu Riani, hanya
. Ia hanya diam, membiarkan Adhit bersandar padanya seperti pada bantal. Tindakan pasif itu s
dan membiarkan Riani menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dari tamu. Riani menjawab semua dengan anggun, menye
l. Di dalam mobil mewah, Adhit melepas dasi kupu-
, tanpa menatap Riani. "Kau lay
eh ke luar jendel
rustrasi. Ia ingin Riani bereaksi, ingin Riani
ya?" tanya Adhit, nadanya
unjukkannya padamu. Aku sudah membuat janji untuk melunasi hutang budi, dan ja
," Adhit
hat pahit. "Atau mungkin aku hanya lebih realistis. Aku tahu aku bukan pilihanmu. Dan aku
aran yang kejam, namun ia mengucapkann
iba di rumah Ad
r di ujung koridor lantai dua. Pastikan kau tahu ba
t ia mencapai tangga, ia berbalik. Riani masih berdiri di ambang p
ntuk dilihat oleh para pelayan," perintah Adhit, sebagai
jawab Ria
emudian berjalan ke kamar mandi, menyalakan pancuran air dingin. Di bawah guyuran air, ia berharap ia bisa membersi
iani yang mematikan. Keheningan yang menunjukkan bahwa Adhit tidak punya kekuatan apa
ma beberapa menit, membiarkan keheningan rumah besar itu mem
pernah menginginkanmu-berputar-putar di kepalanya. Tentu saja itu menyakitkan
i adalah harga yang harus ia bayar
enuju dapur. Bi Ijah menyamb
datang. Maafkan Den Adh
yang kali ini lebih tulus. "Tidak a
saya menyiapkan kama
long, untuk besok, siapkan menu sarapan bia
tepi ranjang. Ia membuka resleting gaun pengantinnya perlahan, melepaskan mahkota kecil d
at tidur, ia melihat sebuah Alkitab kecil. Ia membukan
bisik Riani pada dirinya se
n itu teronggok di lantai, ia tidak merasa menyesal. Ia
engenali rumah ini. Ia berjalan melewati kamar-kamar kosong, hingga ia berdiri di depan pintu kamar Adhit. Pintu
pintu itu, ada pria y
r atau makanan. Tapi ia menarik tangannya kembali. Tidak. Ia s
dhit akan menganggapnya sebagai agresi. Adhit a
, ia harus lebih dingin dari Adhit. Ia harus menjadi cangkang kosong, membiarkan kata-kata pedas Ad
ar, dikelilingi kemarahan. Riani tidur sendirian di k
tampaknya paling nyaman dengan tembok itu adalah Riani. Ini adalah awal dari pernikahan mereka,
iani sudah berpakaian rapi, kemeja putih sederhana dan celana panjang berwar
it, lagi-lagi de
iani, tanpa mengalihkan pa
arapan. Adhit makan deng
or," kata Adhit, setela
" jawa
gu aku," tambah Adhit, ia mencoba m
ni, akhirnya menatapnya. Matanya tenang, tanpa cela, tanpa
knya menunjukkan sedikit kepedulian. Jawaban Riani yang begitu independen itu sekal
an tertutup dengan suara keras, meninggalkan Riani sendirian d
enting. Jika Adhit menganggapnya hanya formalitas, maka ia akan menjadi formalitas. Itu adalah satu-satun
berbisik, bertanya-tanya: Akankah Adhit pernah m
an pernah. Ia harus fokus pada misinya, bukan p
an bersiap untuk hari pertamanya sebagai 'ist