icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Bukan Cinta, Hanya Perjanjian Utang

Bukan Cinta, Hanya Perjanjian Utang

Penulis: Aldi
icon

Bab 1 Pernikahan ini omong kosong

Jumlah Kata:2678    |    Dirilis Pada: 26/11/2025

ini... om

seperti borgol, mencekiknya, membatasi setiap inci kebebasannya. Di sampingnya, riuh rendah perayaan di ballro

ng sudah ia impikan sejak dulu. Tapi takdir, atau lebih tepatnya, kehendak ayahnya, menamparnya telak. Kiara pergi. Dan untuk mengamank

da. Nyaris

rasa marah yang membakar di dalam dadanya. Ia kembali menghadap cermi

i ma

gantin putih yang panjang, Riani terlihat anggun, tapi di mata Adhit, ia hanya melihat sosok wanita yang telah merenggut s

pa suara. Ruangan itu kedap, membiarka

tar dan keras, tanpa basa-basi. Ia tidak menoleh, pura-pu

henti di jarak yang sopan. "Iya, aku

ma. Tidak ada air mata, tidak ada protes, tidak ada upaya un

encari celah, mencari keraguan di mata Riani. Tapi yang ia temukan hanya

ka hanya beberapa langkah. "Aku akan bicar

dagunya sedikit,

trak. Transaksi. Kita berada di sini karena Ayahku. Dan kau ada di sini ka

iani, tapi itu hanya sepersekian detik.

iani, menggunakan panggilan formal

elum selesai. Kita akan tinggal di bawah satu a

skey-nya di meja rias, men

tamu di ujung koridor untukmu. Kau punya kuncimu sendiri. Jangan pernah memasuki kamarku tanpa izi

angguk pel

i? Senyum, genggam tanganku di acara formal, anggukan kepala saat aku bicara. Hanya akting.

kap profesional," jawab Ri

ankan proyek kantor. Ia ingin Riani melawan, ingin Riani menunjukkan sedikit emosi, sediki

yentuhmu, dan kau tidak perlu mencoba apa pun yang membuatku berpikir sebaliknya

elati. Ia menatap lekat, berharap melihat ai

pernikahan ini bukan untuk mencuri hatimu, atau menggantikan siapa pun di hidupmu. Aku di sin

in curiga. Kenapa semudah ini? Kenapa ia tidak merengek, tidak memohon,

ng lebih dari cukup. Anggap itu kompensasi atas drama yang harus kau jalani. Ambil. Tapi jangan pernah berpikir uang it

tegas dalam suaranya. "Aku di sini bukan untuk menjual diri. Uang itu, s

sejenak. Ia sudah menyiapkan skenario bahwa Riani adalah wanita materialistis yang ak

bagian dari transaksi ini. Agar kau tidak bi

, jika itu bagian dari tugasku," kata Riani, memegang buket bunga

at dengan ketenangan Riani. Ia berharap wanita ini adalah

dah dengar aturannya. Jangan sampai kau melanggarnya, Riani. Karen

sa kontrak ini dengan damai," Riani memotongnya, tidak d

ya yang bersih. Matanya yang besar. Punggungnya yang tegak. Ia mengakui, Riani cantik

dorongan aneh, sebuah

tidak lagi berupa perintah. "Kau harus menikah dengan pria yang membencimu, hanya demi

k menjangkau matanya. Itu adalah senyu

a adalah urusanmu," jawab Riani, menggunaka

Ia sudah melarang Riani bertanya tentang Kiara, j

jelas. Aku tidak akan pernah menginginkanmu di sini, Riani. Kehadiranmu hanya membuat

um. Rasa sakit itu akhirnya kembali k

sta hampir selesai. Kita harus kembali ke h

enyentuhnya, tidak pernah mencoba mendekat, bahkan saat pernikahan ini dilang

nerima. Seolah keberadaanku di

pa, lebih menyebalkan daripada perlawanan terbuka. Ia berharap Riani

hit, sebelum Riani s

balik. "A

karena ia ingin menyentuh Riani. Ia melakukan ini karena ini ada

t menegang saat jari-jari Adhit

nya kembali dingin dan penuh perintah. "Tunjukkan senyummu. Senyu

i memejamkan mata sesaat, lalu membukanya dan memaksakan seulas senyum di

askan genggaman tanganny

angsung disambut oleh tatapan puluhan orang. Taw

Adhit kembali meraih tangan Riani, menggenggamnya erat,

erasa lembut, namun kuat. Ia bahkan berbalik sebentar, menatap Adhit

, Riani adalah seoran

p detik pertunjukan ini. Ia benci Riani karena telah menjadi bagian dari panggung sandiwara hidupn

bahkan menyandarkan kepalanya sebentar ke bahu Riani, hanya

. Ia hanya diam, membiarkan Adhit bersandar padanya seperti pada bantal. Tindakan pasif itu s

dan membiarkan Riani menjawab pertanyaan-pertanyaan basa-basi dari tamu. Riani menjawab semua dengan anggun, menye

l. Di dalam mobil mewah, Adhit melepas dasi kupu-

, tanpa menatap Riani. "Kau lay

eh ke luar jendel

rustrasi. Ia ingin Riani bereaksi, ingin Riani

ya?" tanya Adhit, nadanya

unjukkannya padamu. Aku sudah membuat janji untuk melunasi hutang budi, dan ja

," Adhit

hat pahit. "Atau mungkin aku hanya lebih realistis. Aku tahu aku bukan pilihanmu. Dan aku

aran yang kejam, namun ia mengucapkann

iba di rumah Ad

r di ujung koridor lantai dua. Pastikan kau tahu ba

t ia mencapai tangga, ia berbalik. Riani masih berdiri di ambang p

ntuk dilihat oleh para pelayan," perintah Adhit, sebagai

jawab Ria

emudian berjalan ke kamar mandi, menyalakan pancuran air dingin. Di bawah guyuran air, ia berharap ia bisa membersi

iani yang mematikan. Keheningan yang menunjukkan bahwa Adhit tidak punya kekuatan apa

ma beberapa menit, membiarkan keheningan rumah besar itu mem

pernah menginginkanmu-berputar-putar di kepalanya. Tentu saja itu menyakitkan

i adalah harga yang harus ia bayar

enuju dapur. Bi Ijah menyamb

datang. Maafkan Den Adh

yang kali ini lebih tulus. "Tidak a

saya menyiapkan kama

long, untuk besok, siapkan menu sarapan bia

tepi ranjang. Ia membuka resleting gaun pengantinnya perlahan, melepaskan mahkota kecil d

at tidur, ia melihat sebuah Alkitab kecil. Ia membukan

bisik Riani pada dirinya se

n itu teronggok di lantai, ia tidak merasa menyesal. Ia

engenali rumah ini. Ia berjalan melewati kamar-kamar kosong, hingga ia berdiri di depan pintu kamar Adhit. Pintu

pintu itu, ada pria y

r atau makanan. Tapi ia menarik tangannya kembali. Tidak. Ia s

dhit akan menganggapnya sebagai agresi. Adhit a

, ia harus lebih dingin dari Adhit. Ia harus menjadi cangkang kosong, membiarkan kata-kata pedas Ad

ar, dikelilingi kemarahan. Riani tidur sendirian di k

tampaknya paling nyaman dengan tembok itu adalah Riani. Ini adalah awal dari pernikahan mereka,

iani sudah berpakaian rapi, kemeja putih sederhana dan celana panjang berwar

it, lagi-lagi de

iani, tanpa mengalihkan pa

arapan. Adhit makan deng

or," kata Adhit, setela

" jawa

gu aku," tambah Adhit, ia mencoba m

ni, akhirnya menatapnya. Matanya tenang, tanpa cela, tanpa

knya menunjukkan sedikit kepedulian. Jawaban Riani yang begitu independen itu sekal

an tertutup dengan suara keras, meninggalkan Riani sendirian d

enting. Jika Adhit menganggapnya hanya formalitas, maka ia akan menjadi formalitas. Itu adalah satu-satun

berbisik, bertanya-tanya: Akankah Adhit pernah m

an pernah. Ia harus fokus pada misinya, bukan p

an bersiap untuk hari pertamanya sebagai 'ist

Buka APP dan Klaim Bonus Anda

Buka