Sepasang kekasih yang sudah bertunangan menghadapi cobaan berat ketika salah satu dari mereka memulai hubungan dengan orang lain. Konflik antara cinta, penyesalan, dan pengampunan menjadi inti perjalanan mereka.
Ardi memegang tangan Nadia dengan erat, matanya berkilat penuh cinta, sementara angin malam yang lembut meniup rambut Nadia yang tergerai. Mereka berdiri di tepi danau yang tenang, di mana bulan purnama memantulkan cahayanya yang indah, seakan dunia ikut merayakan momen yang mereka ciptakan bersama.
"Dari pertama kali kita bertemu, aku merasa ini adalah takdir. Tak ada yang lebih indah dari apa yang kita miliki sekarang, Nadia," ujar Ardi, suaranya lembut, penuh keyakinan.
Nadia tersenyum, matanya berbinar-binar. "Aku juga merasa begitu, Ardi. Sepertinya tak ada yang bisa menghentikan kita, kan?"
Ardi tertawa kecil, kemudian berlutut di hadapan Nadia. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Nadia terkejut, matanya melebar. "Ardi... apa yang kamu lakukan?"
Dengan senyum penuh harapan, Ardi membuka kotak itu, memperlihatkan cincin berlian yang berkilau di bawah sinar bulan. "Nadia, aku ingin menjadikanmu bagian dari hidupku selamanya. Aku berjanji akan selalu mencintaimu, dalam suka maupun duka. Maukah kamu menikah denganku?"
Air mata haru mulai menggenang di mata Nadia. Ini adalah momen yang telah ia tunggu-tunggu selama bertahun-tahun. "Iya, Ardi... aku mau. Aku akan selalu ada untukmu," jawab Nadia dengan suara yang bergetar, tetapi penuh keyakinan.
Ardi menempatkan cincin itu di jari manis Nadia, dan mereka saling berpelukan erat, seakan dunia milik mereka berdua. Udara malam yang sejuk seolah turut merayakan janji mereka.
Namun, meski hatinya penuh kebahagiaan, Ardi merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan merayap ke dalam dirinya. Bukankah seharusnya ia merasa lebih lega, lebih pasti? Kenapa ada keraguan yang menyelip di dalam hatinya, seperti bayangan gelap yang mengganggu kebahagiaan malam itu?
Nadia melepaskan pelukannya dan menatap Ardi dengan penuh cinta. "Kamu tidak tahu betapa bahagianya aku malam ini. Kita akan menjalani kehidupan yang indah bersama."
Ardi tersenyum, tapi senyum itu terasa sedikit dipaksakan. "Iya, kita akan menjalani kehidupan yang indah," jawabnya dengan suara pelan, mencoba menutupi perasaan yang mengusik hatinya.
Mereka berjalan kembali menuju mobil yang terparkir di dekat danau, tangan mereka tetap bergandengan. Namun, dalam hati Ardi, ada suara yang terus berdetak. Seperti sebuah pertanyaan yang tak terjawab. Apakah ia benar-benar siap untuk menjalani semua ini? Ataukah ada bagian dalam dirinya yang menginginkan sesuatu yang berbeda?
Nadia, yang tampak begitu bahagia, tidak menyadari kebimbangan yang menguasai hati Ardi. Ia merasa yakin bahwa cinta mereka akan mengatasi segala halangan, bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Tapi Ardi, meski tampak seperti pria yang penuh cinta, mulai merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum ia temukan dalam dirinya sendiri.
Sesampainya di rumah, mereka duduk bersama di sofa ruang tamu, masih terperangah dengan momen lamaran itu. Nadia menatap Ardi dengan penuh cinta, "Ardi, kita akan melewati semua ini bersama, kan?"
Ardi mengangguk, berusaha tersenyum, meskipun hatinya tak sepenuhnya yakin. "Tentu, Nadia. Aku berjanji."
Namun, ketika Nadia beranjak ke dapur untuk mengambil minuman, Ardi duduk terdiam, memandangi cincin yang baru saja dipasang di jari Nadia. Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, suara yang terus berbisik di dalam dirinya tak bisa ia abaikan. Apakah ini benar-benar yang kau inginkan, Ardi?
Dia meraih ponselnya dari meja samping, menatap layar yang kosong sejenak sebelum membuka pesan dari Lila, seorang wanita yang baru ia temui beberapa minggu lalu. Hanya beberapa pesan singkat yang ia balas, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai berkembang, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Ponsel itu bergetar di tangannya, dan sebuah pesan baru muncul: "Aku merindukanmu. Aku tahu kamu bertunangan, tapi... aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."
Ardi menggigit bibir bawahnya, merasa bingung dan terjebak di antara dua dunia. Di satu sisi, ada Nadia, wanita yang telah ia janjikan seumur hidupnya. Di sisi lain, ada Lila, yang entah mengapa membuatnya merasa hidup kembali. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana ia bisa menghadapinya?
"Nadia..." Ardi berbisik pelan, menatap cincin di jarinya sendiri.
Sementara di dapur, Nadia tersenyum bahagia, tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam hati Ardi. Ia yakin, semuanya akan baik-baik saja. Tapi Ardi tahu, malam itu, di bawah sinar bulan yang menyaksikan janji mereka, ia baru saja mengikatkan dirinya dalam sebuah komitmen yang tak mudah untuk dijalani.
Dan keraguan itu... masih menghantuinya.
Nadia kembali ke ruang tamu, membawa dua gelas anggur merah yang masih segar. Senyum di wajahnya tidak pernah pudar sejak malam itu dimulai. Ia duduk di samping Ardi, menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah mengambil langkah besar malam ini," katanya, menyandarkan kepalanya di bahu Ardi. "Aku merasa ini adalah awal dari semuanya yang indah."
Ardi menoleh ke arah Nadia, membalas tatapannya dengan senyum yang dipaksakan. "Aku juga merasa begitu." Jawabnya, suara terasa berat, seakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Nadia mengangkat gelasnya dan menatap Ardi, penuh harapan. "Kita akan bahagia, Ardi. Aku tahu itu. Tak ada yang bisa menghalangi kita."
Ardi menatap gelas anggur yang ada di tangannya, matanya kosong. Di satu sisi, ia ingin sekali membenarkan perkataan Nadia, meyakinkan dirinya bahwa inilah yang benar-benar ia inginkan. Tapi di sisi lain, suara dalam dirinya yang lebih gelisah semakin keras. Apakah dia akan bahagia dengan janji ini? Apakah dia bisa memberikan sepenuh hati untuk Nadia?
Ia akhirnya mengangkat gelas anggurnya, namun hanya menatapnya sejenak, kemudian menunduk. "Nadia, aku... aku perlu berbicara denganmu tentang sesuatu," katanya pelan, hampir tak terdengar.
Nadia menoleh padanya, sedikit terkejut dengan nada bicara Ardi yang berbeda dari biasanya. "Apa yang terjadi, Ardi? Kenapa kamu tampak serius sekali?"
Ardi menghela napas, matanya berpindah dari gelas anggur ke wajah Nadia yang penuh harap. "Nadia, ini tentang kita... tentang pernikahan kita nanti. Aku merasa ada beberapa hal yang belum aku ungkapkan padamu."
Nadia menatapnya bingung. "Apa maksudmu? Ardi, kau membuatku khawatir. Apa yang kamu rasakan? Bukankah ini saatnya kita merayakan kebahagiaan kita?"
Ardi diam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat, namun setiap kali ia membuka mulutnya, kata-kata itu terasa tidak cukup untuk menjelaskan perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. "Aku... aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku, Nadia," akhirnya ia mengungkapkan, suaranya pelan. "Aku... aku takut jika aku tidak bisa memberimu semuanya."
Nadia tercengang, matanya terbuka lebar. "Apa maksudmu, Ardi? Kenapa kamu bilang begitu? Kita sudah melalui banyak hal bersama. Kita sudah memutuskan untuk menikah. Apa yang bisa hilang?"
Ardi menghela napas panjang, matanya menunduk, merasa semakin terjebak dalam kebingungannya. "Aku... aku merasa seolah ada sesuatu yang belum aku temukan, Nadia. Aku tidak ingin berbohong padamu. Aku rasa aku belum sepenuhnya siap untuk komitmen seutuhnya. Ada bagian dari diriku yang... ragu."
Nadia menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Jadi, kamu bilang kamu tidak siap untuk menikah denganku? Kamu ragu?"
Ardi terdiam. Nadanya yang penuh kesedihan dan bingung membuat hati Ardi terhimpit. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku sangat mencintaimu, Nadia, tapi ada perasaan yang menggangguku. Aku rasa aku belum sepenuhnya menemukan kedamaian dalam hatiku."
Nadia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan kesedihan yang menyeruak. Ia ingin berkata sesuatu yang menenangkan, tapi kata-kata itu seakan hilang begitu saja. Ia menatap Ardi dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ardi?"
Ardi merasa hatinya semakin hancur saat melihat tatapan Nadia yang penuh kecewa. "Aku... aku tidak tahu. Aku merasa terjebak dalam rasa takutku sendiri."
Keheningan melanda ruangan itu. Nadia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya duduk diam, matanya tak pernah lepas dari Ardi, yang tampaknya juga tengah bergumul dengan dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, ponsel Ardi bergetar di atas meja, memecah kesunyian. Ia menatap layar ponselnya dan melihat nama Lila tertera di sana. Ardi hanya memandang layar itu beberapa detik, merasa semakin tersesat dalam dilema yang ada. Sebelum sempat ia memutuskan untuk menjawab atau tidak, Nadia meliriknya, memperhatikan ekspresi Ardi yang tiba-tiba berubah. "Siapa itu, Ardi?" tanya Nadia, suaranya sedikit cemas.
Ardi cepat-cepat menaruh ponselnya ke dalam saku, berusaha tersenyum. "Tidak ada, hanya teman lama. Tidak penting."
Namun, Nadia sudah menangkap perubahan kecil di wajah Ardi. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa ada hal lain yang Ardi sembunyikan darinya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Ardi? Kamu berubah. Aku merasa ada yang kamu sembunyikan."
Ardi merasa cemas. Ia ingin sekali jujur kepada Nadia, namun ia takut jika kebenaran itu akan menghancurkan segalanya. "Nadia, aku... aku akan coba mencari jalan keluarnya. Aku ingin kita baik-baik saja."
Nadia hanya bisa menatap Ardi, merasakan kebimbangan yang semakin membebani hatinya. "Aku berharap kamu bisa menemukan jawaban, Ardi. Karena aku... aku hanya ingin kita bahagia."
Ardi meremas tangannya, merasa tersiksa dengan keputusan yang harus ia buat. Dalam hati, ia tahu bahwa ia harus memilih dengan hati yang lebih jernih. Namun, jalan itu terasa semakin berat. Seiring malam yang semakin larut, Ardi menyadari satu hal: apapun yang ia pilih, janji yang telah ia buat di bawah sinar bulan itu tak akan pernah bisa dihapuskan begitu saja.
Dan saat itu juga, Ardi tahu bahwa jalan hidup mereka yang telah terjalin bersama, kini berada di persimpangan yang sangat sulit.
Bersambung...
Buku lain oleh SOENARYATI
Selebihnya