Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pudarnya Pesona Janji

Pudarnya Pesona Janji

Tiny Tin

5.0
Komentar
142
Penayangan
20
Bab

Bagaimana jika seorang juragan melamarmu untuk anaknya? Kaget? Itu yang dirasakan Iman tatkala Haji Junaedi datang melamar. Dia bilang, anaknya yang bernama Intan sudah menyukai Iman sejak lama, kira-kira sejak Iman SMP. Terpaut usia lima tahun lebih tua, apa yang terjadi dengan pernikahan Iman?

Bab 1 Lelaki Kedua

Entah bagaimana mulanya, lelaki berambut sebahu itu bisa mengambil hati Intan. Tak dipungkiri, lelaki itu memang pintar. Rasa bersalah yang mengungkung Intan akhir-akhir ini dilenyapkannya dengan mudah. Bahkan ia tak canggung lagi mengatakan bahwa dirinya lebih baik dari suaminya yang bejat itu.

'Ayolah, lupakan suamimu!'

'Untuk apa mengharapkan yang jauh kalau ada yang dekat?'

'Berhenti mengharap sesuatu yang belum tentu! Sekarang saatnya melirik kepastian.'

Kalimat-kalimat Dodi terus memengaruhi pikiran Intan. Hingga lama-lama mereka jalin pertemanan dan tak canggung bertukar cerita. Intan pun bisa mengalihkan pikirannya.

Kedekatan yang tak lagi biasa membuat Intan berani mengajak Dodi ke rumah untuk dikenalkan pada Bapak dan Ibu. Dengan mobil yang dibawa Dodi, orang tuanya pasti senang. Setidaknya pilihan anak perempuannya kali ini benar dan tidak mengecewakan. Toh, mereka sendiri yang mengajarkan Intan untuk mencari lelaki kaya agar bisa memenuhi segala kebutuhan. Agar hidupnya tak perlu susah layaknya orang miskin.

Rupanya benar. Orang tua Intan menyambut baik. Tentu saja sebab Dodi adalah pengusaha sepatu yang memiliki cabang di beberapa kota. Muda. Kaya. Dua hal yang selama ini diharapkan Bapak dan Ibu.

***

"Segera urus perceraianmu!" Ibu berkata ketika Intan baru saja pulang main. Hari itu Sabtu sore menjelang malam.

Ibu tahu Intan diantar Dodi meskipun lelaki itu tidak mampir. Baru saja suara mobil berlalu. Sudah menjadi rahasia umum penduduk sini tidak punya mobil. Boro-boro mobil, motor saja baru hitungan jari.

"Kasihan Dodi. Jangan dibiarkan menunggu terlalu lama. Laki-laki tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka butuh kepastian. Kalau dibiarkan tanpa harapan, mereka akan berpikir dua kali," ucap Ibu.

Intan tidak menjawab. Dia hanya melabuhkan badannya ke sofa.

"Ibu lihat Dodi itu lelaki baik. Kamu beruntung mendapatkannya. Di luar sana mungkin banyak perempuan antre ingin menikahinya."

Intan lagi-lagi membiarkan Ibunya mencerocos. Malah hingga ibunya bosan dan Intan masuk kamar.

Tanpa pikir panjang lagi Intan langsung berbaring. Menatap langit-langit yang berwarna putih. Diam-diam hatinya menyuarakan kejujuran bahwa ia memang masih mencintai Iman dan berharap lelaki itu kembali.

[Selamat istirahat, cantik. Semoga mimpi indah.]

Dodi mengirim pesan itu beberapa menit kemudian. Intan membacanya meski tak antusias membalas. Intan tengah dirundung bimbang. Benarkah ini jalannya? Benarkah hadirnya orang baru bisa melupakan masa lalu? Benarkah rasa senangnya selama dengan lelaki baru ini? Atau Dodi hanya pelampiasan?

[Jangan lupa mimpiin aku. Aku sayang kamu.]

Diiringi emoticon senyum dan love, untuk kali kedua Intan hanya membaca.

Intan lalu membenarkan posisinya menjadi berbaring ke sisi kiri. Pandangannya tanpa sengaja melihat poto pernikahan. Senyum merekah sepasang pengantin itu jelas terlihat. Cantik dan anggun. Gaun hijau pas dengan warna kulit mereka.

Masih jelas dalam ingatan kebahagiaan itu. Intan yang dalam hati tak henti bersyukur karena penantiannya selama ini terwujud. Ia menjadi istri Iman. Lelaki yang selama ini ia cintai dalam diam.

Sayangnya euforia kebahagiaan itu kini memudar. Faktanya Intan malah memilih lelaki lain sekadar untuk melampiaskan kesepiannya. Dengan kesadaran penuh Intan mengakui dosa ini. Seharusnya memang tak boleh. Bagaimana pun, di mata hukum Intan masih sah istri Iman.

***

Pintu rumah akan selalu terbuka untuk seorang lelaki bernama Dodi. Menantu idaman Ibu Bapak itu bebas keluar masuk kapan pun ia mau. Menemui Intan hingga membiarkannya berlama-lama berduaan. Bahkan tak jarang sampai menginap.

Namun, rupanya kejadian malam itu akan menjadi sejarah yang tidak akan dilupakan semua orang. Ibu tiba-tiba membuka pintu kamar Intan, entah untuk keperluan apa. Intan spontan menggulingkan Dodi dari atas tubuhnya. Ibu, Intan, dan Dodi kaget. Untuk beberapa detik suasana hening. Tiga manusia itu hanya terpaku dan saling menatap. Lalu di detik berikutnya Ibu menjerit hingga bapak datang dengan terburu. Bapak yang menyaksikan kelakuan anaknya tak kalah kaget. Diumpatnya berkali-kali dengan kalimat pedas dan berbisa.

"Pergi, bedebah! Rumahku bukan untuk tempat manusia menjijikkan seperti kalian!" Bapak bersungut-sungut, sementara Ibu tertunduk lesu sambil menangis.

"Untuk kamu lelaki keparat! Aku tak sudi punya menantu macam kamu! Benar kata orang, Iman lebih baik. Biar pun dia miskin, harga dirinya lebih mahal. Dia bermartabat."

"Bapak aneh!" ucap Intan sambil membenarkan bajunya yang berantakan. Digulungnya rambut yang acak-acakan. Lalu dengan santai meneruskan, "Dulu Bapak remehkan Iman. Sekarang memojokkan Dodi. Apa sebenarnya yang Bapak mau? Bukankah Bapak sendiri yang bilang harus pilih lelaki kaya?"

"Tapi tidak untuk yang tak bermartabat! Dia lelaki keparat! Tak bermoral!"

"Salahkan Intan untuk kejadian ini, Pak! Intan yang tak tahu diri. Intan sudah bersuami tapi malah selingkuh. Intan anak Bapak yang mengkhianati Iman."

"Oh, tentu saja Bapak salahkan kamu. Tidak Bapak sangka kamu tega melemparkan kotoran ke muka kami. Sekarang, pergilah! Enyah dari sini! Kami tak punya anak yang berperilaku menjijikkan seperti ini!"

Merasa sakit hati, Intan menyerang Bapak ketika berbalik akan menuju kamarnya. Dipukulnya Bapak yang sedang memunggungi Intan dan Dodi.

Buk!

Dari belakang, benda tumpul mengenai punggung Bapak. Bapak tersungkur. Lalu sebuah bantal ditekan ke lubang pernapasannya. Ah, padahal kalau Intan sadar akan kasih sayang orang tuanya, mungkin hal ini akan dipikir ribuan kali.

Dalam situasi seperti ini, Bapak lupa. Nada-nada tinggi menjadi irama keramat yang hukumnya wajib dijauhi lisan Bapak dan Ibu. Sekarang, apa yang terjadi? Nada itu muncul. Keluar. Bahkan bukan hanya itu. Diiringi kalimat-kalimat pedas dan menusuk jantung. Jika dulu Bapak membentaknya gara-gara uang belanja dan Intan biasa saja, itu karena dia tak merasa bersalah. Iman sasarannya. Kali ini, dia memang bersalah. Sudah bersalah, disalahkan pula. Sudah jatuh, makin terperosok. Intan bukan ingin itu. Ia ingin ditanya baik-baik, bukan dimarahi dan dibentak. Tanyakan dulu pokok masalahnya.

"Apa-apaan kamu, Intan? Sadar!" ucap Ibu sambil menggulingkan Intan yang masih menekan bantal di wajah Bapak. Tapi, Bapak tak lagi bisa bicara. Ia sudah kehilangan nyawa.

"Biadab, kamu, Intan! Tega membunuh Bapakmu sendiri. Kurang apalagi Bapak menyayangimu?" Emosi Ibu ikut-ikutan tak terkontrol.

Sekarang malah Ibu yang jadi sasaran. Intan kalap. Kenapa bisa anak yang selama ini dimanja diusir hanya gara-gara satu kekhilafan? Bukankah Dodi lelaki yang mereka inginkan? Soal Iman, bukankah Bapak dan Ibu sendiri yang mengusir Iman? Jangan salahkan Intan akan perubahan itu! Toh, Bapak dan Ibu turut andil dalam kesalahannya.

Ibu melawan. Sekuat tenaga ia singkirkan tubuh Intan yang mencoba menindihnya. Intan tersungkur. Namun, Intan tak berhenti. Ia lebih brutal melawan. Syukurlah Dodi melerai hingga Intan tersungkur untuk kedua kalinya lalu pergi.

Ibu menangis sejadi-jadinya. Tak habis pikir, kenapa bisa anaknya bersikap seperti ini? Setan apa yang merasuki?

Dari luar, Intan tiba-tiba masuk sambil menodongkan pisau. Nahasnya Ibu tak siap melawan. Ibu ditusuk berkali-kali. Lantai berkeramik putih itu kini menjadi lantai darah. Ibu tak lagi bisa menahan rasa sakit. Akhirnya ia meregang nyawa saat itu juga, menyusul Bapak.

"Biadab!" Dodi mengutuk. "Aku tak sudi punya calon istri penjahat!" Lelaki itu berusaha pergi. Intan ketakutan. Lelaki itu satu-satunya saksi yang sudah pasti menjebloskannya ke jeruji besi.

Tanpa pikir panjang, berkali-kali ia menusukkan pisau ke punggung Dodi yang sudah berbalik dan pergi meninggalkannya.

Mau tak mau nasib sial menimpa lelaki berambut sebahu itu. Meski kekuatannya lebih besar dari Intan, ia tak bisa melawan. Ia pikir Intan tak akan nekad. Akhirnya kekasih gelapnya mati di tangannya sendiri. Mengenaskan.

Melihat pisau menancap di punggung dengan darah bercucuran, tubuh Intan ambruk. Tidak ada air mata. Dia hanya terpaku melihat tiga mayat tergeletak tak berdaya.

"Ini salah!" ucapnya sambil menggeleng-geleng kepala.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku