Pudarnya Pesona Janji
lah aktifitas Intan sekarang. Setelah selesai menyapu lantai
n berjalan kaki, termasuk ketika pergi ke sawah, pasar, dan sekolah. Karena itu, setiap pagi jalanan depan rumah tak pernah sepi. Sela
ka matahari masih gelap, sekitar menjelang subuh hingga matahari mulai meninggi adalah waktu pas untuk menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Tidak perlu keluar r
orang yang ingin menghirup udara segar dengan membeli alat. Bahkan gilan
a salah seorang ibu yang me
bisa melihat rumah dan halaman Intan dengan jelas. Kalau gerbang ditutup tak ada yang akan menegur meski t
da siapa pun. Untuk kesopanan, perilaku Intan agak berbeda dengan Ibu dan Bapak yang ser
ar," katanya sambil te
m membersihkan. Maka, tanpa basa-basi lagi, Intan jongkok dan mulai mencabuti rumput-rumput kering itu satu per satu. Cuaca akhir
h kapan datangnya tiba-tiba memanggil
dengan sigap kepalanya menoleh ke ara
in
nya sambil mendek
gungnya. Siapa namanya Intan tidak tahu, yang pasti laki-laki itu berkumis, giginya ber
Iman anakn
i Intan berd
ketar-ketir. Iman yang mana yang dimaksud Bap
arung itu
a jauh s
au dekat, sih, enggak. Cuma ini saya mau ke arah
g sama Iman nanti malam datang ke sini. Saya mengundangn
a sudah gatal ingin menanyakan langsung. Duh,
todong Intan tanpa basa-basi setela
anya! Lebih baik siap-s
ke pasar dan berniat membeli sesuatu, tapi ia penasaran kenapa Bapak me
*
g ..." Bapak mencebikkan bibirnya, "cukup mencengangkan bagi Bapak khususnya." Begitu kata Bapak tak lama setelah Iman datang kurang lebih lima menit yang lalu. Sesuai undangan Haji Junaed
bu dan Intan dari arah dapur yang membawa
jar Ibu Haji. Iman hanya m
untuk tidur, melainkan menguping. Intan penasaran apa yang Ibu dan Bapak akan sampaikan. Sepanjang perjalanan tadi siang ke pasar, Ibu mengunci mulut rapat-r
a menolak dengan alasan sudah punya calon. Bapak penasaran dan menanyakan siapa. Jawabannya nama kamu. Katanya, Intan menyukai kamu dari umrnya yang masih ... ya ... remaja," ucap
juga agak terbuka. Lalu detik berikutnya Iman menunduk meski dengan dada bergemuruh. Berpacu c
pe
n telinganya pada pintu. Tak ingi
pun suara akan jelas terdengar. Suara Bapak keras. Bahkan
pun kocar-kacir. Dia pikir Bapak akan membuar kekacauan dengan mengancam Iman supaya jang
inta kamu pikirkan ini baik-baik," kata Bapak lagi dan l
yang layak dan mapan. Kalau pun saya nekad menerima pinangan Pak Haji, mau dikasih makan apa Putri Bapak yang terhormat itu? Dia sudah terbiasa hidup enak. Sementara jika hidup dengan saya belum ada jaminan hidup nyaman. La
ak Haji akan manggut-manggut dan be