Pudarnya Pesona Janji
ki itu memang pintar. Rasa bersalah yang mengungkung Intan akhir-akhir ini dilenyapkannya dengan mu
lupakan
apkan yang jauh ka
yang belum tentu! Sekarang
ingga lama-lama mereka jalin pertemanan dan tak canggun
a Dodi, orang tuanya pasti senang. Setidaknya pilihan anak perempuannya kali ini benar dan tidak mengecewakan. Toh, mereka sendiri yan
Dodi adalah pengusaha sepatu yang memiliki cabang di beberapa ko
*
ta ketika Intan baru saja pulang main
saja suara mobil berlalu. Sudah menjadi rahasia umum penduduk sini
tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka butuh kepastian. Kalau d
. Dia hanya melabuhk
ntung mendapatkannya. Di luar sana mungkin
ya mencerocos. Malah hingga ibu
angit yang berwarna putih. Diam-diam hatinya menyuarakan kejujuran
at, cantik. Semo
ntan tengah dirundung bimbang. Benarkah ini jalannya? Benarkah hadirnya orang baru bisa melupaka
impiin aku. Ak
dan love, untuk kali ke
tanpa sengaja melihat poto pernikahan. Senyum merekah sepasang pengantin itu
tak henti bersyukur karena penantiannya selama ini terwujud. Ia
n sekadar untuk melampiaskan kesepiannya. Dengan kesadaran penuh Intan mengakui dosa in
*
idaman Ibu Bapak itu bebas keluar masuk kapan pun ia mau. Menemui Intan hin
an menggulingkan Dodi dari atas tubuhnya. Ibu, Intan, dan Dodi kaget. Untuk beberapa detik suasana hening. Tiga manusia itu hanya terpaku dan saling menatap. Lalu di detik b
a menjijikkan seperti kalian!" Bapak bersungut-sun
macam kamu! Benar kata orang, Iman lebih baik. Biar pun
acak-acakan. Lalu dengan santai meneruskan, "Dulu Bapak remehkan Iman. Sekarang memojokkan Do
ak bermartabat! Dia lela
g tak tahu diri. Intan sudah bersuami tapi malah s
melemparkan kotoran ke muka kami. Sekarang, pergilah! Enyah dari s
ka berbalik akan menuju kamarnya. Dipukulnya
u
sebuah bantal ditekan ke lubang pernapasannya. Ah, padahal kalau Intan sad
ya itu. Diiringi kalimat-kalimat pedas dan menusuk jantung. Jika dulu Bapak membentaknya gara-gara uang belanja dan Intan biasa saja, itu karena dia tak merasa bersalah. Iman sasarannya. Kali ini,
gkan Intan yang masih menekan bantal di wajah Bapak. Tapi
u sendiri. Kurang apalagi Bapak menyayangi
-gara satu kekhilafan? Bukankah Dodi lelaki yang mereka inginkan? Soal Iman, bukankah Bapak dan Ibu sendiri y
a. Intan tersungkur. Namun, Intan tak berhenti. Ia lebih brutal melawan. Syu
s pikir, kenapa bisa anaknya bersikap
. Ibu ditusuk berkali-kali. Lantai berkeramik putih itu kini menjadi lantai darah. Ibu t
at!" Lelaki itu berusaha pergi. Intan ketakutan. Lelaki itu sat
nusukkan pisau ke punggung Dodi yang su
nnya lebih besar dari Intan, ia tak bisa melawan. Ia pikir Intan tak aka
curan, tubuh Intan ambruk. Tidak ada air mata. Dia ha
nya sambil mengge