Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Lylia POV
"Harusnya kau memilih jurusan manajemen bisnis, Adikku sayang!" Ucap Kakaku, Taylor. Sembari menunjukku dengan sendok makannya.
"Aku tau yang aku lakukan kak, aku memilih jurusan tata boga karena aku ingin pintar masak seperti Ibu, ya kan Bu?" Ucapku sembari menatap Ibuku dengan tatapan manis mengharap pembelaannya.
"Taylor, sudahlah berhenti mengganggu Adikmu. Apapun pilihannya nanti itu haknya, dia juga tidak begitu tertarik dengan dunia bisnis. Jadi sudahlah." Bela Ibu.
"Tolong setidaknya Ibu bela aku sedikit saja." Rajuk Taylor.
"Alangkah mudahnya kalau suatu saat nanti aku meneruskan bisnis Ayah dengan bantuan adikku yang juga ada di dunia bisnis." Tambahnya.
"Nggak mau! Dunia bisnis itu membosankan, Kak!" Ucapku menghentikan lamunan Kakakku.
"Ck! Adik tidak pengertian." Kata Taylor sembari menggelengkan kepalanya.
Aku menertawakannya lalu menjulurkan lidah begitu dia melihatku. Kami kemudian melanjutkan makan malam kami yang seru, sama seperti makan malam sebelumnya.
.
.
.
Setelah acara makan malam selesai aku segera berlari menuju kamarku yang berada di lantai dua. Iya. Rumah kami memang sedikit agak luas, jadi aku harus berlari kalau tidak mau terlambat menonton film kesukaanku. Ayah memang memiliki perusahaan yang bisa di katakan lumayan besar. Jadi aku sudah terbiasa hidup dengan berkecukupan sedari lahir. Tak masalah, aku juga tidak pernah memanfaatkannya secara berlebihan karena aku sadar harta ini bukan milikku, tapi hasil kerja keras Ayah.
Tok.
Tok.
"Masuk!" Ucapku setelah mendengar suara pintuku di ketuk oleh seseorang.
"Lagi ngapain?" Tanya Taylor di ujung pintu.
"Nonton film Korea kak, mau nobar?" Tanyaku sekilas menatapnya, ia kemudian berjalan mendekatiku yang sedang asik nenonton sambil duduk bersandar di headboard kasurku.
"Nggak!" Jawabnya singkat.
Kini Taylor duduk di sebelahku. Ia mengangkat lengan kanannya dan mencoba untuk merangkulku. Aku lalu mendorong badanku sedikit kedepan dan mengizinkan lengannya merengkuh bahuku. Ada keheningan yang aneh setelah dia berhasil merangkulku. Saat aku mencoba menoleh kearahnya. Taylor segera memiringkan kepalanya hingga bersandar di atas kepalaku. Aku bisa mencium dengan jelas aroma collogne Taylor. Tak lama tangan yang tadinya merangkul bahuku kini sudah mengelus rambutku. Aku terdiam kebingungan saat Taylor melakukannya.
'Hm, ada masalah apa di kantor Ayah sampai kakak seperti ini?' Batinku.
Kubiarkan Taylor melakukan apa yang bisa menenangkannya. Sudah kebiasaannya memang setiap ada masalah, akulah yg akan menjadi tempatnya pelampiasan emosinya. Kuhentikan filmku, lalu menutup dan meletakkan laptopku menjauh dari kami. Aku bergerak keatas pangkuan Taylor. Posisi kami sekarang saling berhadapan sekarang. Aku menatapnya sekilas, lalu memeluk lehernya. Taylor hanya terdiam membiarkanku melakukannya. Aku menepuk punggungnya hingga Taylor mulai merasa tenang dan membalas pelukanku sambil ikut menepuk nepuk punggungku dengan lembut.
"Maafkan Kakakmu ini ya." Ucapnya tiba tiba.
"Iya, Kak. Aku tidak pernah sepenuhnya marah sama Kakak. Yah, meskipun Kakak menyebalkan sih." Kataku dengan suara kecil.
Taylor mendengus dan tertawa kecil di pelukanku. Ia menghirup udara di ceruk leherku dan kemudian menyandarkan dagunya di bahuku denga manja.
"Aku tidak tau kenapa kamu selalu baik." Ucap Taylor.
"Maafkan Kakakmu ini." Taylor mengeratkan pelukannya padaku.
'Hm? Perkataan yang sama. Kan sudah kubilang aku memafkanmu Kak.' Kekehku sembari menganggukkan kepala dan tetap mengelus punggung kakakku.
"Ya sudah lanjut gih! Makasih ya, sudah nemenin Kakakmu yang tidak bisa di andalkan ini." Ucapnya setelah dia melepaskan pelukannya dan mengangkatku lalu mendudukkanku kembali keposisi awal.
"Hah? I-iya Kak. Kalau ada apa apa nanti datang aja lagi." Ucapku kikuk.
Taylor mengeluarkan senyuman aneh yang tidak bisa ku artikan, lalu mengacak rambutku sekilas sebelum pergi menjauh.
"Apa sih! Selamat malam, Kak." Kataku dengan penuh rasa riang.
Aku berharap kakakku juga ikut bahagia melihat senyumanku.
"Selamat malam." Balasnya masih dengan senyuman yang tidak bisa diartikan itu, sebelum menutup pintu.
'Kenapa dia sunyum menakutkan seperti itu sih?' Takutku yang membayangkan kembali senyuman Taylor yang terlihat menyedihkan itu.
.
.
.