Ana menemukan dirinya bersama pria asing di sebuah kamar hotel. Ia dijebak dan kesuciannya direbut oleh pria asing tersebut. Ana yang memiliki kekasih bernama Reza karena takut ditingalkan Ana pun memilih merahasiakan hal tersebut. Namun dimalam pertama mereka hal yang Ana takutkan terjadi. Dia ditalak di malam pertama pernikahannya!
Ana merasa berat saat kelopak matanya mulai terbuka. Kepalanya berdenyut seakan-akan ribuan jarum kecil menusuk saraf-sarafnya dan menimbulkan rasa pusing yang tak tertahankan.
Ana mengerang pelan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dan menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
Namun ada sesuatu yang terasa berbeda. Hidungnya mencium aroma asing-campuran cologne yang tak dikenalnya dan bau keringat yang menguar samar.
"Si-siapa?!" Tubuh Ana seketika menegang. Jantungnya berdetak kencang seolah-olah sedang berkejaran dengan waktu saat merasakan sentuhan kulit yang kasar dan hangat di lengannya yang menyadarkannya akan fakta: ada seseorang di sebelahnya.
Ana terperangah dan dalam sekejap rasa kantuknya lenyap. Dia memalingkan wajahnya dengan cepat hingga matanya membelalak saat melihat pria asing yang terbaring di sampingnya.
Pria itu berbaring telanjang dada dengan rambut hitam yang acak-acakan. Tubuhnya berotot dengan tato yang melingkari lengan atasnya. Tanda yang jelas bahwa pria ini bukan orang biasa.
"Siapa dia?" pikir Ana. Panik mulai merayapi pikirannya. Dia berusaha mengingat kembali apa yang terjadi tetapi kepalanya terasa kosong.
Ana melihat tubuhnya dan air matanya nyaris jatuh melihat tubuhnya dalam kondisi polos. Ana tak mampu menahan tangisnya. Ia merasa hancur dan kecewa pada dirinya.
Ana mencoba menggerakkan tubuhnya pelan-pelan berharap bisa pergi tanpa membangunkan pria asing itu. Namun begitu dia mulai bergerak pria itu bergeser dan menggumamkan sesuatu dalam tidurnya, membuat Ana terdiam kaku.
Ana menahan nafasnya. Takut membuat suara sedikit pun yang bisa membangunkan orang itu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya pria itu akhirnya tenang kembali dan terlelap dalam tidur yang tampaknya sangat nyenyak.
Perlahan Ana melepaskan lengannya dari cengkeraman pria itu dan merangkak keluar dari tempat tidur. Kakinya mendarat di lantai kayu yang dingin. Ketika dia menoleh ke sekeliling ruangan Ana baru menyadari bahwa ini bukan kamar tidur yang biasa ia tempati.
Ruangan itu besar dan mewah dengan dekorasi minimalis yang elegan tetapi asing baginya.
Ana berusaha keras mengingat bagaimana dia bisa berakhir di tempat ini. Yang dia ingat hanyalah dirinya bersama teman-temannya di pesta lajang semalam. Mereka bersenang-senang, menari, minum, dan tertawa-semuanya tampak normal. Tetapi setelah itu ingatannya seakan kabur.
Ana membuka pesan lain dan tubuhnya seketika kaku saat melihat beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab dari Reza. Jantungnya berdegup kencang, bayangan wajah tunangannya langsung terlintas di benaknya. Bagaimana dia akan menjelaskan semua ini kepada Reza? Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya? Ataukah lebih baik dia menyembunyikan semuanya dan berharap tidak ada yang akan pernah tahu?
Dengan tubuh yang gemetar Ana meraih pakaian yang tercecer di lantai. Ia mengenakan bajunya dengan tangan yang gemetar. Sungguh dia merasa mual seolah-olah tubuhnya menolak kenyataan yang sedang ia hadapi.
Setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa cemas yang menggerogoti dirinya.
"Bagaimana bisa aku berada di sini? Apa yang terjadi semalam?"
Setelah berpakaian dengan tergesa-gesa Ana mencari tasnya. Dia menemukannya di dekat pintu kamar yang tergeletak dengan posisi yang acak-acakan. Dompet dan ponselnya masih ada.
Sambil menahan napas Ana menghidupkan ponsel dan melihat pesan-pesan yang masuk. Ada beberapa pesan dari teman-temannya yang menanyakan keberadaannya tetapi tak ada satu pun yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Ana menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan dirinya. Dia harus keluar dari sini sebelum pria itu bangun. Namun langkahnya terhenti ketika dia melihat sebuah cermin besar di sudut ruangan. Ana tersentak. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah.
Ada rasa sakit yang menusuk di dalam dada, perasaan bersalah yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Ana menatap bayangan dirinya sendiri, mencoba mencari jawaban di dalam sorot matanya yang sayu.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" bisiknya pada diri sendiri. Tetapi pertanyaan itu hanya terpantul kembali tanpa jawaban membuatnya merasa semakin hampa.
Saat Ana melangkah menuju pintu ada perasaan aneh yelinap masuk-kesuciannya direnggut oleh pria asing itu. Dia harus pergi menjauh dari tempat ini dan dari pria asing yang entah siapa.
Dengan tangan gemetar Ana membuka pintu dan melangkah keluar. Lorong hotel yang sepi dan sunyi menyambutnya. Setiap detiknya terasa begitu lambat. Ketika sampai di lift Ana menekan tombol berharap pintu lift akan terbuka lebih cepat.
Saat pintu lift terbuka Ana melangkah masuk dan menekan tombol untuk lantai dasar.
Dalam lift Ana merasa sesak tubuhnya angsur ke lantai. Dia ingin berteriak, menangis, dan melampiaskan segala kekalutan yang melanda hatinya tetapi tak ada suara yang keluar.
Dia butuh waktu untuk berpikir, untuk mencerna semua yang baru saja terjadi.
Langkah demi langkah, pikirannya terus berputar mencari jawaban yang mungkin tidak akan pernah dia temukan.
"Bagaimana aku bisa menghadapi Reza?" pikir Ana. Rasa bersalah dan ketakutan mulai menyelimuti dirinya. Reza adalah kekasihnya dan mereka akan segera menikah.
Ana sangt takut. Bagaimana jika Reza tahu? Bagaimana jika rahasia ini terbongkar? Pikiran-pikiran itu terus menghantui Ana, membuatnya semakin terperosok dalam perasaan tidak berdaya.
Tiba-tiba panggilan masuk dari Reza muncul di layar ponselnya. Ana menelan ludah merasa ragu mengangkatbya.
Dengan napas tertahan Ana menjawab panggilan itu.
"Halo?" Suara Reza terdengar lembut di ujung telepon, suara yang selama ini selalu membuat Ana merasa tenang dan dicintai namun kali ini suara itu membawa beban berat yang sulit dijelaskan.
"Hai,... "
"Sayang, kamu baik-baik saja? Dari tadi aku coba hubungi kamu tapi tidak ada jawaban. Aku khawatir," kata Reza. Ana bisa merasakan cinta yang begitu besar dari setiap kata yang diucapkan Reza dan itu membuat hatinya semakin sakit.
Ana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Maaf, mas... Ponselku mati. Aku baru bisa menyalakannya sekarang."
"Tidak apa-apa yang penting kamu baik-baik saja. Kamu di mana sekarang? Tadi malam kamu menginap di mana? Aku bisa jemput kamu kalau kamu butuh," tawar Reza.
Ana menatap ke sekelilingnya. Bagaimana dia bisa menjawab dan berbohong kepada Reza?
"Aku... aku di luar habis sedang berjalan-jalan. Aku butuh udara segar. Semalam aku nginap di rumah Tania."
"Tapi kamu yakin baik-baik saja? Suaramu terdengar lelah."
"I-iya. A-aku hanya sedikit lelah. Tadi malam kami banyak bersenang-senang. Aku akan pulang sebentar lagi," jawab Ana, mencoba terdengar ceria, meskipun di dalam hatinya dia merasa sangat hancur.
"Kalau begitu aku tunggu di apartemenmu ya? Aku ingin sarapan bareng lamu.
Ana menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir mengalir. "Oke, yang. Aku akan segera pulang."
"Iya. Jangan terlalu lama ya. Miss you my honey..."
"Iya..." Ana menjawab dengan suara serak sebelum menutup telepon.
Saat suara panggilan terputus air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah dan mengalir deras di pipinya.
**
Ana tiba di depan pintu apartemennya jantungnya berdetak kencang. Pintu itu terbuka dengan suara berderit yang kecil dan Ana tidak melihat Reza berdiri di dalam.
Reza yang bersembunyi di belakang pintu tersenyum menatap Ana. Dia berjalan mendekat dan langsung memeluknya erat.
"Kenapa lama sekali?" bisiknya semakin mengeratkan pelukannya.
"Ma-Mas Reza..." seru Ana saat kekasihnya itu mencium lehernya yang tertutup syal.
"Kamu ganti parfum?" Reza mendadak berhenti.
Ana merasa tubuhnya melemas dalam pelukan Reza seolah-olah semua kekuatan yang ia coba kumpulkan lenyap dalam sekejap.
"Ah, kau menciumnya ternyata," jawab Ana dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir kembali mengalir.
Ana merasakan hangatnya pelukan Reza tetapi di saat yang sama dia juga merasa betapa besar beban yang ia bawa karena membohongi kekasihnya itu.
"Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi?" tanya Reza tiba-tiba, suaranya penuh kekhawatiran saat dia melihat wajah Ana yang mulai basah oleh air mata.
Reza mengangkat dagu Ana, mencoba mencari jawaban di mata tunangannya itu.
"Maaf. Aku kelepasan. Aku hanya lelah," Ana berusaha untuk tersenyum, tetapi itu hanya membuat air matanya semakin deras. Dia mencoba berpaling, tetapi Reza menahannya, memaksa Ana untuk tetap menatapnya.
"Sayang, ada apa? Apa yang membuatmu seperti ini? Kamu tahu aku selalu ada untukmu, kan?" Reza mengusap pipi Ana dengan ibu jarinya. Ada cinta yang begitu besar dalam sorot matanya dan itu membuat hati Ana semakin remuk.
"Aku..." Ana ingin sekali menceritakan semuanya, mengungkapkan semua kekhawatirannya, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.
Dia tahu bahwa jika dia mengatakan yang sebenarnya dia mungkin akan kehilangan Reza selamanya. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dia tanggung.
"Aku hanya... terlalu banyak pikiran. Aku minta maaf ya, Mas. Aku gak bermaksud membuatmu khawatir."
Reza menatap Ana dengan cermat, seolah-olah mencoba membaca apa yang sebenarnya terjadi. Namun dia akhirnya menghela napas dan memeluk Ana lagi. "Tak apa, Ana. Aku di sini untukmu. Selalu."
"Malam ini Aku mau pulang ke rumah orang-orangtuaku dulu," ujar Ana.
Reza tersenyum dan mengelus kepala Ana lembut. "Tentu saja. Mereka orangtuamu," ujarnya.
Ana menutup matanya dan menikmati rasa aman yang diberikan Reza. Tetapi di dalam hatinya rasa takut yang terus tumbuh. Bagaimana dia bisa menyembunyikan rahasia sebesar ini dari Reza? Bagaimana dia bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja sementara hatinya hancur berkeping-keping?
Buku lain oleh Anthi-anthi
Selebihnya